Di Antara Diam dan Janji: Nasib 7 ABK yang Tergadaikan di Lautan Myanmar - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Di Antara Diam dan Janji: Nasib 7 ABK yang Tergadaikan di Lautan Myanmar

 

Di atas kapal MT Shi Xing, tujuh anak buah kapal asal Indonesia menatap laut tanpa batas—bukan karena memilihnya, tapi karena terjebak oleh absurditas yang seharusnya tak pernah terjadi: bekerja tanpa kejelasan, tanpa gaji, dan bertahan hidup dari hari ke hari meski harapan kian menipis.

Riski, salah satu dari mereka, melalui sebuah pesan yang nyaris terdengar putus asa, berkata:

> “Bahan makanan di kapal sudah menipis dan kami kelaparan… tiga bulan kami tidak menerima gaji … kondisi fisik dan mental… sudah terganggu.” 

Mereka bukan hanya korban dari jarak dan laut. Mereka juga korban dari sistem yang membiarkan regulasi, proteksi, dan kepastian hukum menjadi slogan kosong, terutama ketika menyangkut warga negara di luar negeri. 

 Kritikan Publik dan Tuntutan Keadilan

Beberapa elemen penting mulai muncul ke permukaan:

1.    Janji tanpa fundamen

   Para pekerja dijanjikan gaji, perjanjian kerja laut (PKL), docking, penanganan administratif dan kepastian, tapi semua itu tak kunjung dipenuhi. Owner kapal menjanjikan PKL baru akan diberikan setelah kapal sampai di Malaysia, tapi malah dialihkan ke Myanmar. Janji pembayaran gaji juga tidak ditepati.

2.    Ketidakjelasan status hukum & diplomasi

   ABK-tersebut telah meminta perlindungan ke pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri dan KBRI Yangon, namun belum ada kepastian tindakan nyata seperti evakuasi atau penyelidikan yang transparan.  Komisi I DPR juga mendesak agar Kemenlu & Bakamla turun tangan.

3.    Krisis kehidupan sehari-hari

   Tanpa gaji selama tiga bulan. Persediaan makanan dan air yang menipis. Cuaca laut dan ketidakpastian status memperparah kondisi fisik dan mental. Satu kru sudah mengalami sakit mag akut.

4.    Moralitas negara & tanggung jawab sosial

   Seorang legislatif menyebut bahwa ini bukan hanya soal masalah ketenagakerjaan — tetapi soal *martabat bangsa* . Bila negara gagal melindungi satu warganya yang berada dalam situasi rentan, pertanyaan besar muncul: untuk siapa negara itu ada?

Meminta Lebih dari Sekadar Kata

Kritik yang harus digelorakan bukan hanya kritik terhadap owner kapal atau terhadap sistem perekrutan tenaga kerja migran yang kurang transparan, tapi terhadap kegagalan institusi negara untuk menghadirkan kepastian hukum, keselamatan, dan dignitas bagi warganya.

Beberapa tuntutan berikut terasa mendesak:

·       Aksi cepat dan konkret dari Kemenlu dan KBRI

  Tidak cukup hanya menerima laporan. Harus ada proses evakuasi, bahkan bila perlu melibatkan Bakamla dan kapal patroli jika diperlukan. Waktu adalah kehidupan.

·       Penegakan regulasi perlindungan ABK luar negeri

  Perjanjian kerja laut, gaji, pemenuhan kebutuhan dasar — semua harus disepakati sebelum keberangkatan dan diawasi. Bila perlu, ada sanksi terhadap pemilik kapal yang melanggar.

·       Transparansi & pertanggungjawaban

  Publik berhak tahu apa yang telah dilakukan negara sejauh ini: komunikasi diplomatik apa yang sudah dilakukan? Apakah ada tindakan dari otoritas Myanmar? Bagaimana status kerja sama bilateral dalam kasus seperti ini? 

·       Perlindungan hak dasar pekerja migran

  Mereka bukan hanya “anggota kru” atau “buruh laut” yang bos-kapal lalai. Mereka manusia, dengan keluarga, kebutuhan, harapan. Negara punya tugas moral dan legal untuk memastikan mereka tak jatuh ke dalam praktik eksploitasi atau penderitaan tak terpantau.

Lautan Tidak Boleh Menelan Martabat 

Suara Riski, yang berkata bahwa “keluarga sudah tidak bisa berbuat apa-apa, uang sudah habis dan hutang pun sudah banyak,” bukan sekadar rengekan — itu bisikan putus asa yang mencerminkan kegagalan kolektif. 

Kita, sebagai publik, media, dan terutama negara, tidak boleh terus diam. Bila lelah dengan jargon “perlindungan WNI”, jadikanlah kasus mereka bukti bahwa kata tersebut harus diisi dengan tindakan — nyata, kredibel, dan manusiawi. 

Tanpa itu, lautan Myanmar bukan hanya lautan geografis. Ia menjadi simbol dari diskursus kita yang berlalu tanpa penyelesaian — di mana janji sering terlupakan, dan warga negara hanyalah angka di laporan diplomatik. Harapan mereka sederhana: pulang, dibayar, dihormati. Bukankah itu pantas untuk ditagih? 

Penulis: Oliviana Angelicha Effendy

Penyunting: Lathifah An Najla

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done