Tersandung Stigma dan Birokrasi: Jalan Terjal Anak Korban Kekerasan Seksual di Solo Mendapatkan Keadilan
Disclaimer trigger: Berita ini membahas tentang kekerasan seksual terhadap anak dan mungkin memicu reaksi negatif bagi beberapa orang. Pembaca yang memiliki pengalaman traumatis atau sensitif disarankan untuk berhati-hati saat membaca.
“Bagi Korban, hukum bukan kepastian. Segalanya dipertaruhkan: uang, nama baik, keberpihakan aparat, bahkan kepercayaan diri sesuatu yang seharusnya tak pernah diminta dari seorang anak.”
Mata M memerah dan tangannya gemetar ketika bercerita kepada LPM Apresiasi Unisri Solo pada Rabu, 20 Agustus 2025. Sebab adik M yang belum berusia kurang dari tujuh tahun menjadi korban kekerasan seksual pada 2025, oleh tetangganya yang berinisial AO.
“Harusnya aku aja yang jadi korban, jangan adikku dia masih kecil,” ucap M.
AO pelaku kekerasan seksual berusia 57 tahun bekerja sebagai penjahit. Total ada 8 anak di bawah umur yang menjadi korban AO sepanjang 2025. Alat kelamin dua anak korban mengalami kerusakan akibat kekerasan tersebut. Satu di antaranya yaitu adik M. Sementara lainnya mengalami trauma.
Selama ini, AO dikenal sebagai sosok yang pendiam dan tertutup. Ia jarang ikut berkumpul di pos ronda atau berbincang lama di warung kopi seperti kebanyakan warga. Jika pun berbicara, nadanya pelan, sesekali disertai senyum tipis yang membuat orang lain menganggapnya ramah, meski agak canggung. Tak ada yang benar-benar tahu banyak tentang kesehariannya, selain bahwa ia bekerja di rumah dan sesekali menerima pesanan jahitan. Di lingkungan itu, AO justru dikenal dekat dengan anak-anak. Ia sering menyapa mereka di gang sempit depan rumah, menawarkan permen atau makanan ringan. Di rumahnya, terdapat sejumlah mainan boneka, mobil-mobilan, dan beberapa alat permainan kecil yang menjadi daya tarik bagi anak-anak sekitar. Dari luar, pemandangan itu terlihat biasa saja; seorang pria yang tampak menyenangkan, memperlakukan anak-anak dengan perhatian.
Namun dibalik kesan itu, tersimpan niat jahat. AO memanfaatkan sifat pendiamnya sebagai tameng. Ia tidak menimbulkan kecurigaan karena jarang menampakkan emosi tidak meledak-ledak, tidak banyak bicara, hanya diam dan tersenyum. Ketika anak-anak datang bermain, ia menyambut mereka dengan ramah, menawarkan makanan kecil sebagai bentuk kebaikan yang tampak tulus. Setelah beberapa kali datang, sebagian anak mulai terbiasa berada di rumah AO. Mereka percaya, apalagi melihat banyak mainan yang seolah disediakan untuk mereka. Dalam suasana yang dibuat nyaman itulah, AO mulai menjalankan niatnya. Dengan alasan bermain atau membantu mengambil sesuatu, ia mengajak korban masuk ke ruang jahit yang jarang dimasuki orang lain.
Ruangan itu kecil, dipenuhi kain, mesin jahit, dan cahaya redup dari jendela kecil di atas meja. Di sanalah AO memanfaatkan situasi sepi untuk melakukan kekerasan seksual. Tindakan pencabulan dilakukan dengan tenang, nyaris tanpa suara, seperti cara hidupnya sehari-hari: tertutup dan tersembunyi. Tak ada yang mendengar, tak ada yang curiga. Dari luar, rumah itu tetap tampak sunyi dan biasa saja seolah tidak ada apa-apa yang terjadi di dalamnya. Baru kemudian, ketika cerita mulai terungkap warga menyadari bahwa dibalik sosok pendiam itu ternyata bersembunyi kejahatan yang selama ini tak pernah mereka bayangkan.
Peristiwa itu terjadi pada 25 Mei 2025, di sebuah lingkungan padat warga di Solo. Hari itu, tak ada yang menyangka bahwa tawa kecil yang terdengar dari sebuah rumah di ujung gang akan menjadi awal dari luka panjang bagi seorang anak dan keluarganya. Pelaku, AO pria yang jarang bersosialisasi melakukan perbuatan keji terhadap anak tetangganya sendiri di ruang jahit kecil di rumahnya. Namun, kisah ini tidak langsung terungkap. Tiga bulan lamanya, kebisuan menutup luka itu rapat-rapat. Anak korban hidup dalam ketakutan dan tekanan. Ia diintimidasi oleh pelaku agar tidak menceritakan apapun kepada siapapun. Setiap kali ingin bicara, bayangan wajah AO muncul, membuatnya kembali bungkam.
Hingga akhirnya, dengan tubuh gemetar dan suara bergetar, ia mulai berani bercerita. Sedikit demi sedikit, ia mengungkapkan apa yang dialaminya kepada keluarganya. Keberanian kecil itu menjadi titik balik segalanya. Sang ibu, R, menuturkan bahwa butuh waktu dan tenaga luar biasa untuk bisa melangkah menuju proses hukum.
“Saya kumpulkan sambil sama ndredeg, takut, namanya baru pertama kali,” katanya pelan.
“Tanggal 6 Juni, pas Idul Adha, saya lapor ke PPA Polresta Surakarta.”
Sejak hari itu, perjalanan mencari keadilan dimulai. Bukan jalan yang mudah. Selama tiga bulan, R harus menjalani hari-hari yang berat, berpura-pura kuat di hadapan pelaku, menahan marah dan trauma, sambil mengumpulkan bukti dan saksi satu per satu.
“Polisi minta selama itu kami tetap tenang, jangan menunjukkan sikap bermusuhan. Katanya harus ‘main cantik’, biar bukti nggak lepas,” ujarnya.
“Padahal di hati rasanya sakit sekali. Tapi saya tahan, demi anak saya.”
“Rasanya berat sekali,” ujar R dengan mata berkaca.
“Saya harus bersikap baik di depan pelaku, padahal di dalam hati saya sakit. Semua itu demi laporan bisa kuat.”
Selama proses itu, BAP dilakukan sampai tiga kali. R mengaku sempat bingung dan heran, mengapa pemeriksaan harus diulang begitu sering.
“Saya sendiri nggak ngerti, kok bisa sampai tiga kali,” katanya pelan.
“Tiap kali dipanggil, rasanya campur aduk takut, lelah, tapi juga pengen cepat selesai. Saya cuma berharap anak saya dapat keadilan.”
Proses hukum akhirnya bergerak. Setelah bukti dan keterangan dinyatakan lengkap, pada 14 Agustus 2025, petugas mendatangi rumah AO di kawasan Solo. Penangkapan berlangsung tenang namun penuh ketegangan.
“Terakhir penandatanganan penangkapan hari Rabu,” ujar R.
“Kamis jam 11 pelaku dibawa.”
Di awal pemeriksaan, AO masih berusaha mengelak. Namun seiring proses berjalan, fakta-fakta yang terkumpul tak bisa lagi disangkal. Ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka, dengan ancaman hukuman penjara hingga 15 tahun. Kini, kasus itu menjadi pelajaran pahit bagi warga sekitar. Bahwa dibalik sikap pendiam dan wajah tenang, bisa tersembunyi sesuatu yang tak terbayangkan. Dan bagi R, perjuangan panjang itu adalah bukti bahwa keberanian seorang anak kecil mampu menembus tembok ketakutan meski harus melalui jalan yang panjang, melelahkan, dan penuh air mata.
Namun, derita keluarga korban ternyata tidak berhenti di situ meski keluarga telah didampingi seorang pengacara, proses hukum tetap berbelit. Orang tua korban diminta melengkapi bukti tambahan, mulai dari visum hingga kesaksian rinci, seolah-olah beban pembuktian ada di tangan mereka bukan aparat penegak hukum. Pencarian bukti itu membuat proses berjalan lambat, bahkan berlarut-larut. Bagi keluarga yang tengah sibuk memulihkan anak-anak dari trauma, keharusan mengumpulkan bukti sendiri terasa seperti luka baru.
Mereka harus berhadapan lagi dengan detail peristiwa yang menyakitkan, padahal yang diinginkan hanya satu: keadilan.
Kiki Nur F dari Yayasan Kepedulian untuk Anak (KAKAK) menegaskan keberanian anak untuk melapor seringkali justru berhenti di meja aparat. “Ketika anak-anak sudah berani bicara, proses hukumnya justru sering terhenti di tengah jalan,” ujarnya dengan nada getir saat wawancara secara langsung di kantor Yayasan Kakak pada tanggal 17 September 2025.
Ia juga menyinggung hambatan lain yang kerap muncul. Anak korban tidak jujur sejak awal karena takut, malu, atau mendapat tekanan dari keluarga. Kondisi ini sering dijadikan alasan aparat untuk memperlambat atau bahkan menghentikan penyelidikan.
“Padahal, justru di situlah aparat harus lebih proaktif. Kalau hanya mengandalkan keberanian korban, banyak kasus akan hilang begitu saja,” tegas Kiki Nur F.
Dari pengalamannya, pola ini menunjukkan sebuah kenyataan pahit. Keadilan bagi anak korban kekerasan seksual sering kali lebih ditentukan oleh siapa penyidiknya, seberapa peduli aparat yang menangani, dan seberapa kuat dorongan dari pihak luar seperti yayasan atau pendamping. Tanpa itu semua, laporan rentan berhenti di tengah jalan, dan korban kembali terjebak dalam lingkaran sunyi.
LPM Apresiasi berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, Direktur LBH APIK Semarang sekaligus Koordinator Divisi Pelayanan Hukum pada 29 September 2025 melalui zoom meeting. Ia menegaskan, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jawa Tengah terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan LBH APIK sejak 2016 hingga September 2025, kekerasan dalam rumah tangga menempati urutan pertama, disusul dengan kekerasan seksual. Menurut data layanan hukum, tercatat 101 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan, di mana 35 kasus di antaranya telah mencapai putusan pengadilan, sementara sisanya masih berada pada tahap pengaduan dan konsultasi hukum
“Modus yang paling sering kami temui adalah intimidasi, bujuk rayu, serta relasi kuasa yang dimanfaatkan pelaku. Faktor-faktor inilah yang membuat korban sulit untuk melawan,” jelas Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko dalam wawancara secara daring melalui zoom pada 29 September 2025.
Meski Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah disahkan, praktiknya aparat hukum di Jawa Tengah dinilai belum progresif. Menurut LBH APIK Semarang, praktik mediasi atau bahkan menikahkan korban dengan pelaku masih terjadi di lapangan dan hal itu dianggap sebagai bentuk kemunduran
“Langkah tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang TPKS. Itu bukan solusi, melainkan justru menjerumuskan korban pada lingkaran kekerasan baru,” tegas Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko.
Lebih jauh, ia juga menyoroti banyak aparat penegak hukum (APH) yang belum memahami hak-hak korban, termasuk hak atas restitusi dan kompensasi.
“Hukum kita sebenarnya sudah memberi ruang itu, tapi implementasinya belum dijalankan,” tambahnya.
LBH APIK Semarang menangani pengaduan dengan berbagai mekanisme. Antara lain langsung dari korban atau keluarga yang datang ke kantor, maupun melalui hotline dan lembaga rujukan. Dari situ dilakukan pemetaan kebutuhan seperti pendampingan hukum hingga pemulihan psikologis.
Namun, pekerjaan ini bukan tanpa risiko. Ancaman kerap datang dari pelaku yang memiliki jabatan atau relasi kekuasaan. Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko mengungkap sebuah pernyataan, “Kami pernah diteror lewat telepon, media sosial diretas, bahkan ada paralegal kami yang dipukul saat melindungi korban. Ada juga teror nonfisik seperti santet.”
Kisah lain yang menggambarkan beratnya pendampingan, antara lain seorang anak usia 2–3 tahun korban inses membutuhkan tiga tahun pendampingan psikologis sebelum berani kembali bersosialisasi. “Pemulihan trauma itu panjang, tidak bisa setengah-setengah,” tambahnya
Meski sistem layanan sudah berjalan, hambatan tetap menghadang. Minimnya bukti atau saksi sering membuat kasus sulit naik perkara. Tak jarang pula korban mencabut laporan, sementara keluarga memilih ‘jalan damai’ dengan menikahkan anak dengan pelaku. Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan (SPEK) HAM sendiri mengakui tidak bisa berbuat banyak dalam situasi seperti itu.
“Padahal korban harus dilindungi, bukan dinikahkan dengan pelaku,” kata Fitri Haryani Manager divisi penanganan kekerasan pada wawancara secara daring melalui zoom 18 September 2025
“Pernikahan anak di bawah umur justru memicu masalah baru seperti kekerasan dalam rumah tangga, yang menjalani kehidupan adalah anak, bukan orang tuanya,” tegas Saprastika konselor Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3AP2KB) Surakarta, dalam wawancara secara langsung pada 2 Oktober 2025 di ruang konseling kantor DP3A Surakarta.
Namun, dibalik gencarnya kampanye perlindungan, ironi justru muncul. SPEK HAM, sebuah yayasan yang selama ini bergerak pada isu kekerasan di Solo Raya, mengaku fokus pada edukasi dan kampanye agar kasus serupa tidak lagi terjadi. Tetapi data yang mereka catat berbicara lain. Dalam setahun, SPEK HAM menerima sekitar 70–80 kasus, dengan 10–15 persen di antaranya adalah kekerasan seksual. Angka ini menunjukkan bahwa meski kampanye terus digaungkan, kasus tidak berkurang, bahkan cenderung tetap tinggi.
Ironisnya, pendampingan yang diberikan pun tidak berkelanjutan. Narasumber menyebut bahwa SPEK HAM kerap hanya mendampingi di awal proses, lalu menyerahkan korban kembali ke keluarga tanpa memastikan trauma mereka benar-benar pulih.
“Semua akhirnya balik ke keluarga. Tidak ada pendampingan sampai trauma sembuh,” ujarnya datar.
Faktor lain yang membuat kasus jarang sampai ke ranah hukum adalah keputusan keluarga sendiri. Fitri Haryani selaku manager divisi penanganan kekerasan SPEK HAM Solo mencatat ada beberapa alasan seperti kurangnya informasi yang benar. Misalnya anggapan bahwa pelaporan membutuhkan biaya besar dan ketidaktahuan bahwa peristiwa yang dialami anak sudah termasuk kekerasan seksual sehingga panjangnya proses hukum serta aparat yang tidak berpihak yang pada akhirnya membuat hukuman pelaku seringkali ringan.
Fitri Haryani selaku manager divisi penanganan kekerasan SPEK HAM Solo juga menyoroti bagaimana perspektif aparat menentukan jalannya kasus. “Kalau aparat punya perspektif positif, korban akan didukung. Tapi kalau negatif, korban malah disalahkan, semua dilihat dari relasi hubungan misal saat pacaran atau relasi kuasa,” jelasnya.
Dalam praktiknya, korban seringkali diminta mencari bukti tambahan sendiri, padahal itu seharusnya tugas aparat. Tidak heran, banyak kasus yang akhirnya berhenti di kepolisian, meski korban sudah dalam kondisi rapuh, histeris, bahkan halusinasi.
Contoh lain yang disorot SPEK HAM adalah kasus pelecehan seksual anak di Solo yang memakan korban 8 anak, pelaku merupakan tetangga korban (AO berusia 57 tahun) . Dimana jumlah korban lebih dari satu, tetapi pelaku hanya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Vonis itu dinilai ringan, sebab Undang-Undang TPKS sebenarnya memberi ruang hukuman hingga 20 tahun, ditambah restitusi dan kompensasi bagi korban
LBH APIK Semarang menyoroti satu persoalan mendasar yang terus berulang dalam penanganan kasus kekerasan seksual: lemahnya penegakan hukum, banyak kasus kekerasan seksual yang berakhir tanpa kejelasan, meskipun alat bukti yang dimiliki korban telah memenuhi syarat hukum.
“Banyak kasus yang mandek meski alat bukti sudah cukup. Kami pernah menangani satu kasus yang terhenti selama empat tahun hanya karena pelaku melarikan diri,” ujar Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko dalam wawancara secara daring melalui zoom meeting 29 September 2025.
Salah satu kasus yang ditangani UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3AP2KB) Surakarta menggambarkan betapa rumitnya jalur hukum bagi korban kekerasan seksual, terutama bagi penyandang disabilitas. Proses hukum tidak berjalan mudah. Awalnya, pelaku mengelak tuduhan, sementara pihak keluarga pelaku justru menolak bertanggung jawab. Mereka berdalih bahwa hubungan tersebut terjadi atas dasar “suka sama suka” — sebuah argumen yang kerap digunakan untuk menutupi tindak kekerasan terhadap korban penyandang disabilitas.
“Untuk kasus seperti ini, proses ke kejaksaan memang cukup rumit, apalagi jika korbannya difabel. Kadang alat bukti yang diajukan belum dianggap cukup sehingga berkas harus dikembalikan,” ujar Saprastika, konselor UPTD PPA DP3AP2KB dalam wawancara langsung pada 2 Oktober 2025 di ruang konseling kantor DP3A Surakarta.
Hambatan itu membuat pihak UPTD harus mencari dukungan ahli agar kasus dapat diteruskan. Akhirnya, saksi ahli pidana dari UIN Walisongo Salatiga dilibatkan untuk memberikan keterangan khusus terkait kondisi psikologis dan kapasitas hukum korban difabel. Pendapat ahli tersebut menjadi kunci penting agar berkas perkara memenuhi syarat dan dapat diterima oleh kejaksaan (P21).
“Alhamdulillah, prosesnya bisa berjalan meski penuh tantangan,” kata Saprastika menambahkan.
Kasus ini akhirnya berlanjut ke pengadilan. Namun perjalanan panjang tersebut menunjukkan betapa besar hambatan yang masih dihadapi korban, terutama dari penyandang disabilitas. Dalam banyak situasi, difabel masih harus membuktikan bahwa dirinya benar-benar korban, sebuah kenyataan yang menyoroti lemahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap konsep consent adalah persetujuan yang bebas, sadar, eksplisit, dapat dicabut, dan spesifik untuk melakukan aktivitas seksual, dan merupakan dasar penentuan terjadinya kekerasan seksual. dan kapasitas korban dalam konteks disabilitas
Dalam penelusuran lapangan, LPM Apresiasi menemukan bahwa tidak semua kasus kekerasan seksual terhadap anak di Solo berakhir di meja hijau. Beberapa justru berhenti di tengah jalan, tersandera oleh prosedur, keterbatasan bukti, dan kelelahan korban menjalani proses hukum yang panjang.
Salah satu reporter LPM Apresiasi sempat menanyakan hal tersebut kepada Saprastika, konselor UPTD PPA DP3AP2KB Surakarta, saat wawancara langsung pada 2 Oktober 2025. Ketika ditanya mengenai adanya kasus yang mandek di kepolisian, ia membenarkan bahwa hal itu memang terjadi.
“Ya, ada. Tapi Kapolres-nya bukan di Solo itu kerja sama dengan kami juga. Maaf, saya tidak bisa menyebutkan detailnya. Intinya, kasus berhenti sementara karena korban sudah lelah dengan proses, dan pelaku kabur. Sudah hampir dua tahun,” ujar Saprastika saat ditemui di ruang konseling kantor DP3AP2KB Surakarta pada 2 Oktober 2025.
“Pernyataan itu memperlihatkan bahwa keadilan tidak hanya ditentukan oleh aturan hukum, tetapi juga oleh daya tahan korban menghadapi sistem yang lamban. Di banyak kasus, pelaku bisa menghilang tanpa jejak, sementara korban menanggung beban emosional dan sosial sendirian.
Stigma Masyarakat dan Peran Media
Di tengah upaya mencari keadilan, korban kekerasan seksual kerap harus menanggung luka lain yang tak kalah menyakitkan: stigma masyarakat dan peran media.
Bagi sebagian orang, kekerasan seksual masih dianggap sebagai akibat dari perilaku korban seperti cara berpakaian, waktu pulang malam, atau gaya bergaul. Padahal, sebagaimana ditekankan Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko, pandangan itu tidak hanya keliru tetapi juga berbahaya karena menormalisasi kekerasan seksual serta membuat korban merasa bersalah atas peristiwa yang menimpanya.
“Kasus kekerasan seksual bukan salah korban, bukan aib korban, tetapi salah dari pelaku,” tegas Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko.
Pandangan masyarakat yang masih menyalahkan korban inilah yang seringkali mendorong solusi keliru, seperti menikahkan korban dengan pelaku demi menjaga nama baik keluarga. Dalam praktiknya, langkah itu justru memperpanjang penderitaan korban dan menjerumuskannya kembali dalam lingkar kekerasan yang baru.
Sumber lain dari bias yang tidak kalah berpengaruh datang dari media. Alih-alih membantu memulihkan citra korban, pemberitaan media seringkali justru memperparah luka dengan menyebut identitas korban atau menggunakan diksi yang menyalahkan. Dalam beberapa kasus, narasi seperti “korban termakan rayuan” atau “berpakaian terbuka” masih sering muncul di berita daring.
Sebagai respons, Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko mengatakan dalam wawancara secara daring melalui zoom, “LBH APIK Semarang aktif mengirim surat keberatan kepada redaksi medi
a yang memberitakan secara bias.”
Mereka juga melakukan kampanye edukatif, baik secara daring maupun luring, untuk membangun perspektif pemberitaan yang berpihak kepada korban. Upaya ini juga melibatkan pelatihan jurnalis agar memahami etika peliputan kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak dan kelompok rentan.
Sudut Pandang Pendamping Korban
Di kantor Yayasan Kepedulian untuk Anak (KAKAK) Surakarta pada Rabu, 17 September 2025. Pendamping korban dari KAKAK Surakarta masih tak bisa melupakan hari itu. Seorang anak perempuan yang usianya belum menginjak remaja tiba-tiba datang ke kantor mereka. Tubuhnya gemetar, matanya sembab dan air matanya tak berhenti mengalir,
“Dia hanya menangis, sama sekali tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun, butuh waktu lama untuk membuatnya tenang” ucap Kiki Nur F sambil menghela napas berat, di kantor Yayasan Kepedulian untuk Anak (KAKAK) Surakarta pada Rabu, 17 September 2025.
Yayasan memahami, untuk membuatnya bercerita hal pertama yang harus dilakukan adalah memberi rasa aman. Ia diajak duduk di ruang khusus ditemani psikolog yang dengan sabar menenangkannya, hari demi hari ia diberi pendampingan intensif dari sesi konseling, motivasi hingga sekadar pelukan hangat yang membuatnya tahu bahwa ia tidak sendirian.
“Yang terpenting adalah membuatnya percaya dulu. Percaya di sini dia bukan disalahkan, tidak akan dihakimi. Ada orang yang benar-benar dipihaknya,” ujarnya.
Pelan-pelan tembok yang selama ini ia bangun runtuh juga, dari hanya tangis menjadi sepatah kata. Dari sepatah kata akhirnya mengalir cerita yang selama ini ia pendam rapat-rapat. Korban itu berasal dari orang tua yang memutuskan untuk bercerai dan pernah tinggal di panti asuhan. Lalu pada suatu hari orang tua yang sangat ia rindukan datang menjemputnya. Kehidupan yang semula ia bayangkan akan lebih baik dengan anggota keluarga baru justru berbanding terbalik seperti neraka. Ayah tiri yang seharusnya memberikan kasih sayang dan rasa aman justru memberikan luka terdalam dan menjadi pelaku kekerasan seksual.
Trauma itu membuatnya menolak sekolah, menutup diri, dan kehilangan kepercayaan pada siapapun. Dengan suara rendah, Kiki Nur F berkata, “Bayangkan, seorang anak yang seharusnya mendapat kasih sayang dan perlindungan dari orang tua nya malah menjadi korban kekerasan seksual.”
Luka Psikologis yang Membekas Seumur Hidup
Selain persoalan hukum, kekerasan seksual terhadap anak meninggalkan jejak yang jauh lebih panjang: trauma psikologis. Menurut seorang psikolog dan akademisi PAUD di Solo, dampak itu bisa mempengaruhi kepribadian anak hingga dewasa.
“Anak kecil sering merasa dirinya lemah dan harus mengikuti apa yang diinginkan pelaku karena ada perbedaan kuasa. Mereka tidak paham, tapi rasa sakit itu tertanam menjadi memori berkepanjangan,” jelas Wakil Dekan FKIP UNISRI Surakarta Feri Faila Sufa dalam wawancara langsung bersama tim LPM Apresiasi pada 3 September 2025.
Feri menambahkan bahwa trauma tidak hanya berhenti pada korban, melainkan turut dirasakan oleh keluarga. Orang tua sering kali diliputi perasaan bersalah karena gagal melindungi anak. Beberapa menjadi sangat protektif hingga membatasi ruang gerak anak, sementara yang lain justru menarik diri dari lingkungan sosial karena takut stigma.
“Reaksi berlebihan dari orang tua adalah bentuk trauma sekunder, mereka terluka secara emosional sehingga pola asuh dan dinamika keluarga ikut terganggu,” jelasnya.
Dampak lain yang kerap muncul adalah penurunan fungsi sosial anak. Banyak korban menolak kembali ke sekolah, kesulitan membangun kepercayaan dengan orang lain. Bahkan menunjukkan gejala depresi dan kecemasan.
Dalam jangka panjang, hal ini bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk berinteraksi, bekerja sama, dan membangun hubungan yang sehat.
Feri menekankan pentingnya dukungan psikologis yang berkelanjutan, bukan hanya di awal proses pendampingan. Pemulihan trauma, menurutnya, membutuhkan waktu panjang dan keterlibatan keluarga yang konsisten.
“Anak harus dibantu untuk kembali merasa aman. Sementara orang tua perlu diberi pemahaman agar tidak menyalahkan anak dan belajar mengelola rasa bersalahnya, jika dukungan tidak hadir secara penuh, korban berisiko menginternalisasi luka tersebut hingga dewasa bahkan berpotensi meniru pola kekerasan yang pernah dialaminya.” ujarnya.
Selain fokus pada korban dan keluarga, Feri juga menyinggung pentingnya terapi bagi pelaku.
“Pelaku perlu diarahkan pada kegiatan positif untuk menyalurkan energi biologisnya. Jika tidak, ia akan terus mencari jalan yang salah,” ujarnya.
Ia menekankan perlunya terapi kognitif untuk memperbaiki cara berpikir pelaku. Namun, jika kondisinya sudah parah, harus ada intervensi lebih lanjut, dimulai dengan tes psikologi untuk mengetahui tingkat ketergantungan pada perilaku menyimpang.
Feri juga menilai bahwa Undang-Undang TPKS dan lembaga perlindungan anak masih jauh dari sempurna.
“Perlu ada langkah radikal melalui pendidikan dan diskusi berkelanjutan. Pemerintah harus lebih agresif, jangan hanya formalitas. Gerakan moral itu penting, apalagi sekarang bisa lebih mudah dengan digitalisasi,” tegasnya.
Ia menutup dengan peringatan keras, “Harus ada propaganda sederhana: awasi anakmu, awasi dirimu. Karena predator bisa datang dari mana saja.”
Respons Aparat Penegakan Hukum ( APH ) dan Pemerintah
Menurut Kiki Nur F pendamping Yayasan Kakak, di Solo bukan sekali dua kali kasus kekerasan seksual anak tidak berlanjut bahkan ada 1 kasus yang hingga kini masih berhenti di kepolisian meski korban sudah histeris, mengalami halusinasi, dan kondisi psikologisnya kian memburuk. Bagi pendamping hambatan itu berlapis-lapis, bukan hanya soal birokrasi yang berliku tapi soal kompetensi aparat.
“SDM ada banyak, tapi tidak berkompeten di bidang penanganan anak, penyidik polisi yang seharusnya punya perspektif perlindungan justru memperlakukan korban seperti kasus kriminal biasa. Akhirnya alih-alih dipercepat, kasus malah menumpuk di meja penyidik,” terang Kiki Nur F saat wawancara secara langsung di kantor Yayasan Kakak pada tanggal 17 September 2025.
Di lapangan, penyidik polisi juga kerap menuntut berkas dan bukti yang lengkap. “Kalau laporan BAP tidak lengkap, ya ditunda. Padahal korban dan keluarganya jelas tidak mungkin mampu menyediakan bukti seperti seorang penyidik, tapi seringkali tanggung jawab justru dialihkan ke korban,” ujar Kiki Nur F
Yang lebih menyakitkan, ada penyidik polisi yang memilih memprioritaskan kasus tertentu karena banyaknya laporan yang masuk. Dampaknya, kasus kekerasan seksual anak sering kalah dalam prioritas, bahkan berhenti. “Bahkan ketika korban sudah dalam kondisi rapuh, aparat bisa menunda dengan alasan administrasi,” tambahnya.
Menurut Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko dalam wawancara secara daring via zoom meeting pada 29 September 2025, ia mengatakan “Berdasarkan catatan LBH APIK, banyak aparat baik polisi, jaksa, maupun hakim yang belum sepenuhnya memahami perspektif gender dan perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).”
Dalam praktiknya, masih ditemukan tawaran mediasi atau bahkan pernikahan antara pelaku dan korban. Tindakan ini bukan hanya bertentangan dengan hukum, tetapi juga melemahkan posisi korban di hadapan pelaku.
Selain itu, masih ada bentuk diskriminasi lain: korban perempuan dan disabilitas kerap tidak mendapatkan hak restitusi, kompensasi, atau layanan psikologis yang memadai. Dalam beberapa kasus, korban transpuan bahkan menghadapi perlakuan bias dan tidak memperoleh perlindungan hukum yang setara.
Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko mengungkapkan, “Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian aparat masih memandang kekerasan seksual dari kacamata moral, bukan hukum. Perspektif yang bias gender ini justru memperkuat kekerasan terhadap korban dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.”
Rara menjelaskan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya sudah mengatur bahwa dua alat bukti yang sah seharusnya cukup untuk melanjutkan perkara ke tahap persidangan. Namun, implementasi di lapangan jauh dari harapan. Beberapa aparat penegak hukum masih menunda proses dengan alasan teknis administratif, sementara pelaku memiliki ruang untuk menghindar dari jerat hukum.
“Padahal KUHAP menyebutkan dua alat bukti sudah cukup. Sayangnya, implementasi di lapangan berbeda. Bahkan ada korban yang kita tangani sampai meninggal sebelum putusan pengadilan keluar karena pelaku kabur dan menjadi DPO,” tutur Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko.
Kisah itu mencerminkan ironi pelaksana sistem hukum yang seharusnya memberikan perlindungan, tetapi justru menjadi tembok baru bagi korban. Negara mengklaim hadir untuk melindungi, namun di lapangan, korban seringkali kembali menjadi pihak yang dikorbankan—bukan hanya oleh pelaku, tetapi juga oleh lambannya birokrasi dan aparat yang tidak sensitif terhadap trauma korban.
Kasus-kasus yang tertunda selama bertahun-tahun tanpa kepastian hukum menunjukkan bahwa persoalan kekerasan seksual tidak berhenti pada aspek moral atau sosial, melainkan telah menembus jantung sistem peradilan yang belum berpihak sepenuhnya pada korban.
Setelah mendengar suara korban, keluarga, pendamping, SPEK HAM, LBH APIK Semarang hingga analisis psikolog, pertanyaan besar pun muncul: apa yang sudah dilakukan negara? Sebab, di atas kertas, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab penuh untuk memastikan perlindungan anak berjalan, mulai dari pencegahan hingga pemulihan trauma.
Di Solo, peran itu berada di tangan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3AP2KB). Lembaga ini kerap disebut sebagai garda terdepan pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual anak. Mereka memiliki Unit Pelaksana Teknis (UPT), rumah aman, serta sejumlah program perlindungan anak.
Namun, efektivitas program itu kerap dipertanyakan. Di lapangan, masih banyak korban yang harus berjuang sendiri, bahkan ada yang tidak mendapatkan pendampingan berkelanjutan. Lalu, sejauh mana DP3AP2KB benar-benar hadir bagi korban? Apa langkah yang sudah dijalankan, dan apa hambatan terbesar dalam memastikan perlindungan anak di Solo?. Untuk menjawab itu, LPM Apresiasi berkesempatan mewawancarai pihak DP3AP2KB Kota Surakarta terkait strategi mereka menghadapi maraknya kasus kekerasan seksual pada anak.
Unit ini berada di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3AP2KB) dan sejak berdiri pada 2017, jumlah laporan terus meningkat. Peningkatan terjadi di tahun 2017-2025 pada bulan Juli - Agustus (2025) kasus mengalami peningkatan drastis, jika sebelumnya kasus didominasi KDRT kini justru kekerasan seksual terhadap anak menempati posisi tertinggi jumlah kekerasan terhadap anak mencapai 101 kasus. Sedangkan sepanjang Januari hingga Juni 2025, sudah sebanyak 34 kasus yang dilaporkan. “Laporan bisa masuk lewat banyak jalur: langsung ke UPT, melalui satgas kelurahan, website, bahkan langsung ke wali kota. Begitu laporan diterima, kami asesmen dulu kebutuhan klien—apakah butuh pendampingan psikologis, rumah aman, atau langsung rujukan hukum,” jelas Saprastika
UPTD PPA menegaskan setiap kasus dengan bukti dan saksi yang cukup harus didorong ke jalur hukum. Mereka bekerja sama dengan RSJD Surakarta, psikolog independen, hingga lembaga bantuan hukum untuk memastikan korban mendapat layanan komprehensif.
“Semua gratis, termasuk pemeriksaan psikiatri. Padahal kalau mandiri, biayanya besar,” ujar Saprastika dalam wawancara langsung pada 2 Oktober 2025 di ruang konseling kantor DP3AP2KB Surakarta.
Sebagai bentuk perlindungan awal, UPTD PPA menyediakan rumah aman. Korban bisa tinggal sementara, mendapat konseling psikologis, serta pendampingan medis. Namun, fasilitas ini hanya bisa digunakan maksimal 14 hari. Jika butuh lebih lama, koordinasi harus dilakukan ke provinsi. Bagi anak-anak dengan trauma berat, batas waktu ini jelas terlalu singkat. Sebab, proses pemulihan psikologis seringkali membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Ketika ditanya mengenai efektivitas sistem hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, pihak UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Surakarta memberikan jawaban yang tegas namun realistis.
“Kalau sistemnya sudah bagus, tinggal bagaimana yang menjalankan. Itu yang sering jadi persoalan,” ungkap Saprastika, dalam wawancara langsung pada 2 Oktober 2025 di ruang konseling kantor DP3AP2KB Surakarta.
Pernyataan tersebut menggambarkan situasi di lapangan: aturan hukum sebenarnya sudah memadai, termasuk keberadaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan berbagai peraturan turunannya. Namun, persoalan muncul di tingkat implementasi. Masih banyak aparat yang belum memiliki perspektif korban, sementara pembuktian sering kali dibebankan pada pihak korban—bukan pada pelaku. Tak jarang, keluarga juga memilih diam karena menganggap kasus kekerasan seksual sebagai aib yang harus ditutupi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan regulasi saja tidak cukup tanpa pemahaman, empati, dan keberpihakan dari mereka yang menjalankan sistem. Dalam konteks perlindungan anak, celah ini bisa berakibat fatal: keadilan berhenti di meja penyidikan, sementara korban terus berhadapan dengan trauma yang tidak pernah selesai.
Di tengah kompleksitas tersebut, UPTD PPA Surakarta terus menggaungkan pesan pencegahan sederhana namun penting: peran orang tua adalah kunci utama. Anak perlu diajarkan sejak dini untuk memahami batasan tubuh dan berani menolak ketika mengalami tindakan yang tidak pantas.
“Jangan mudah percaya orang asing di media sosial. Jangan pernah mengirim foto atau video pribadi, bahkan kepada pacar. Orang tua harus aktif bertanya, mendampingi, dan mengawasi, karena predator bisa datang dari mana saja,” pungkas Saprastika.
Pesan itu menegaskan bahwa pencegahan bukan hanya urusan lembaga, melainkan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan aparat. Di saat pelaksana hukum berjalan lambat, kewaspadaan menjadi bentuk perlindungan pertama bagi anak-anak di tengah ancaman yang terus mengintai.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa jalan menuju keadilan bagi anak korban kekerasan seksual di Solo bukan sekadar soal keberanian melapor. Ada stigma yang membungkam, birokrasi yang melambatkan, aparat yang bias, lembaga yang belum tuntas mendampingi, hingga keluarga yang terkadang memilih diam.
Di tengah semua keterbatasan itu, anak-anak tetap dipaksa menanggung beban paling berat. Mereka yang seharusnya dilindungi, justru harus berjuang sendiri untuk pulih.
Modus Baru: Kekerasan Seksual di Dunia Maya
Perkembangan teknologi yang seharusnya membuka ruang belajar dan bermain bagi anak-anak, kini berubah menjadi celah baru bagi predator seksual. UPTD PPA Surakarta mencatat, dalam dua tahun terakhir ( 2023 dan 2024 ), kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online (KBGO) meningkat tajam sebanyak 78% korban pernah dilecehkan di dua sampai tujuh teknologi komunikasi .
Anak-anak dijebak melalui media sosial atau gim daring. Polanya tampak sederhana: pelaku berpura-pura menjadi teman sebaya, membangun kepercayaan, lalu mengajak korban bertukar foto pribadi. Perlahan, korban diarahkan ke percakapan yang lebih intim hingga diminta melakukan Video Call Seksual (VCS).
“Tahun 2025 ini banyak kasus kekerasan berbasis gender online. Harus ekstra hati-hati,” ujar Saprastika, konselor UPTD PPA DP3AP2KB Surakarta, dalam wawancara langsung pada 2 Oktober 2025 di ruang konseling kantor DP3AP2KB Surakarta.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang aman anak kini terancam, bahkan dari gawai yang mereka genggam setiap hari. Ironisnya, dalam praktik VCS, pelaku sering kali tidak menampakkan diri, hanya korban yang terlihat di layar. Rekaman video itu kemudian disimpan dan dijadikan alat ancaman pelaku mengancam akan menyebarkan video jika korban menolak permintaan berikutnya.
Kondisi ini membuat penegakan hukum menjadi semakin sulit. Ketika video akhirnya tersebar kadang bertahun-tahun setelah kejadian, seperti kasus yang direkam pada 2023 namun baru beredar di 2025 jejak pelaku nyaris tak terdeteksi. Identitasnya samar, akun sudah dihapus, dan perangkat digital tidak bisa dilacak tanpa kerjasama lintas lembaga. Bagi lembaga seperti UPTD PPA, kasus semacam ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga tentang menyelamatkan kembali rasa aman anak-anak yang menjadi korban. Mereka harus didampingi agar tidak terjebak dalam rasa bersalah, karena pelaku kerap memanipulasi korban dengan bujuk rayu dan ancaman.
“Banyak anak yang akhirnya takut membuka diri bahkan pada orang tuanya sendiri,” tutur Saprastika. Ia menekankan pentingnya edukasi literasi digital di keluarga: anak harus tahu bahwa privasi digital adalah bagian dari keselamatan diri, dan orang tua perlu memahami bagaimana predator bekerja di ruang maya.
Di era digital, kekerasan seksual tidak lagi hanya terjadi di ruang fisik. Ia bisa berawal dari percakapan, dari layar kecil yang tampak aman, tapi mampu menimbulkan lingkaran hitam.
Lingkungan, Pendidikan, dan Peran Orang Tua
Feri Faila Sufa menegaskan ketidakpahaman orang tua sering menjadi faktor yang membuat anak semakin rentan. Kini banyak orang tua yang justru overprotektif, sehingga mengurangi ruang eksplorasi anak. Padahal pengawasan yang sehat sangat penting, terutama di tengah derasnya pengaruh lingkungan dan media digital.
Ia menambahkan, dalam konteks perkembangan psikologis, anak membutuhkan keseimbangan antara pengawasan dan kepercayaan diri untuk bereksplorasi. Ketika anak tumbuh dalam ketakutan atau terlalu dikontrol, mereka cenderung tidak berani menolak atau bercerita ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman.
Kondisi ini, menurut Feri Faila Sufa sering dimanfaatkan oleh pelaku kekerasan seksual. “Pelaku biasanya memanfaatkan ketidaktahuan dan ketakutan anak. Mereka tahu anak tidak berani bicara,” ujarnya ketika ditemui secara langsung di ruang wakil dekan FKIP UNISRI pada 3 September 2025
Ia mencontohkan teori Freud: sebagian kebutuhan manusia berasal dari kebutuhan biologis. Saat otak pelaku terus-menerus terpapar film porno, area prefrontal bagian dari otak yang terletak di bagian paling depan dari Lobus Frontal, tepatnya di belakang dahi. bisa terganggu sehingga memunculkan disorder dan membuat pelaku merasa nyaman dengan hal-hal yang merusak. “Itulah mengapa sejak dini anak harus mendapat edukasi seks, supaya paham mana yang sehat dan mana yang berbahaya,” jelas Feri Faila Sufa, wakil Dekan FKIP UNISRI Surakarta, dalam wawancara langsung bersama tim LPM Apresiasi pada 3 September 2025.
Menurut Feri Faila Sufa, pendidikan seks seharusnya diberikan sejak usia dini. Anak-anak SMP mungkin sudah diajarkan tentang reproduksi dan berani melapor sendiri, tetapi anak usia dini sama sekali tidak tahu apa yang mereka alami. “Itu sebabnya, sejak kecil mereka harus dibekali pemahaman agar berani bicara. Orang tua juga perlu aktif bertanya dan berdiskusi dengan anak tentang pengalaman sehari-hari,” ungkapnya.
Sekolah pun punya peran penting. Melalui parenting class, sekolah bisa memberikan safety talk bagi anak dan orang tua. Sementara di masyarakat, forum seperti PKK atau dasawisma perlu dihidupkan kembali untuk edukasi pengasuhan dan seksualitas anak.
Lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak kembali menjadi sorotan tajam sepanjang tahun 2024 hingga pertengahan 2025. Data yang dirilis Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU 2024) mencatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Angka ini meningkat sekitar 9,77 persen dibandingkan tahun sebelumnya, menandai tren kenaikan yang konsisten dalam dua tahun terakhir. Dari jumlah itu, sebanyak 330.097 kasus dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) naik signifikan hingga 14,17 persen dibanding tahun 2023. Dibalik angka yang mencengangkan itu, kekerasan seksual tercatat sebagai bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan.
Komnas Perempuan mengungkapkan, hampir 27 persen dari seluruh laporan kekerasan terhadap perempuan yang diterima lembaga mitra sepanjang 2024 berkaitan langsung dengan kekerasan seksual, baik di ranah domestik, publik, maupun digital. Para korban didominasi kelompok anak dan remaja (46,38 persen), diikuti perempuan berusia produktif antara 18 hingga 40 tahun (41,10 persen). Sebagian besar korban berstatus pelajar, yang menunjukkan bahwa lingkungan rumah dan sekolah dua ruang yang seharusnya aman ,justru menjadi lokasi paling rawan bagi terjadinya kekerasan.
Memasuki tahun 2025, situasi belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Data Simfoni PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat hingga awal Juli 2025, telah terjadi 14.039 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, korban perempuan mendominasi dengan lebih dari 10 ribu laporan. Kekerasan seksual kembali muncul sebagai jenis kekerasan paling banyak terjadi, disusul kekerasan fisik dan psikis. Pola yang mengemuka, sebagian besar kasus terjadi di ranah domestik,rumah, lingkungan sekitar, atau oleh orang yang dikenal korban. Komnas Perempuan menilai peningkatan jumlah laporan bukan semata karena kekerasan makin sering terjadi, tetapi karena semakin banyak korban yang berani bersuara dan mengakses layanan pelaporan. Meski begitu, lembaga itu juga menegaskan, angka-angka tersebut hanyalah “puncak gunung es” dari kenyataan yang lebih gelap: banyak korban yang masih memilih diam, takut, dan tidak tahu harus ke mana mencari pertolongan.
Fakta ini memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia tidak hanya persoalan hukum, tetapi juga cerminan dari struktur sosial dan budaya yang masih timpang. Di satu sisi, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melapor menjadi tanda positif; namun di sisi lain, maraknya kasus dengan korban anak menegaskan masih lemahnya pengawasan dan edukasi di tingkat keluarga serta komunitas. Dalam situasi seperti ini, kerja penegakan hukum yang sensitif gender, pemulihan psikologis korban, dan dukungan sosial masyarakat menjadi kunci yang menentukan: apakah angka kekerasan ini akan terus meningkat, atau akhirnya bisa benar-benar ditekan di tahun-tahun mendatang.
Harapan dan Rekomendasi
Menjelang akhir wawancara daring pada 29 September 2025, suara Raden Rara Ayu Hitmawati Sasongko Direktur LBH APIK Semarang, terdengar mantap meskipun wajahnya tak terlihat di layar Zoom. Setelah hampir satu jam berbicara tentang kasus kekerasan seksual yang tak kunjung surut, ia menghela napas panjang.
“Masalahnya bukan lagi kurangnya aturan,” ujarnya pelan tapi tegas. “Kita sudah punya UU TPKS, ada mekanisme restitusi, bahkan ruang perlindungan. Tapi sistem ini tidak berjalan jika yang menjalankan belum berpihak pada korban.”
Reporter LPM Apresiasi kemudian bertanya, “apa langkah nyata yang LBH APIK Semarang lakukan untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak?”
Rara menjawab dengan terstruktur, seperti sudah lama memikirkan hal itu.
“Kami punya lima rekomendasi utama yang terus kami dorong,” katanya.
“Pertama,” ucapnya, “tolak normalisasi kekerasan seksual. Tidak boleh ada mediasi, apalagi menikahkan korban dengan pelaku. Itu bentuk kekerasan baru.”
“Kedua, bangun sistem pencegahan dan penanganan yang berkelanjutan—dari ruang pengaduan, konseling, sampai pelatihan berbasis gender. Harus ada mekanisme yang hidup, bukan seremonial.”
Ia lalu melanjutkan, “Ketiga, dorong setiap lembaga punya regulasi internal pencegahan kekerasan seksual. Sekolah, kampus, bahkan transportasi umum harus punya aturan yang jelas.”
“Keempat, wujudkan layanan yang benar-benar ramah dan aman bagi korban. Artinya, pendamping, advokat, dan aparat harus punya perspektif korban. Tidak boleh lagi ada yang menyalahkan korban karena pakaian atau perilaku.”
Dan terakhir, dengan nada sedikit lebih lembut, ia menutup, “Kelima, ciptakan ruang diskusi dan edukasi yang berkelanjutan. Kampanye, penyuluhan, sampai platform digital seperti carilayanan.com bisa jadi ruang aman untuk edukasi publik.”
“Kami berharap ke depan masyarakat, aparat hukum, dan pemerintah bisa lebih progresif, inklusif, dan benar-benar berpihak pada korban. Kasus kekerasan seksual adalah tindak pidana, bukan aib yang harus ditutupi,” pungkas Rara.
Reporter: Oliviana, Koko, Athorix, Titik , Nafa, Chintya, Qalby, Tanaya , Adit
Penulis: Oliviana dan Tanaya