Di sudut kafe kecil
Surakarta, dua anak muda tertawa pelan sambil menyeruput kopi. Sekilas seperti
pasangan biasa, tapi di balik tawa itu tersimpan dilema yang tak sederhana.
Mereka mencintai — tapi tidak menyembah Tuhan yang sama.
R dan M (nama disamarkan)
pertama kali bertemu di media sosial. Percakapan ringan tentang musik berujung
pada obrolan tentang hidup, dan seperti kebanyakan kisah modern, cinta datang
tanpa izin. “Awalnya cuma iseng, tapi kok klik banget,” kata M sambil tersenyum.
R menimpali, “Ya, kayak sinyal Wi-Fi — konek, tapi kadang putus kalau Tuhan
lagi ngecek jaringan.”
Awalnya, perbedaan agama
tak dianggap penting. Tapi waktu berjalan, dan realita mulai mengetuk pintu.
Hari ibadah yang berbeda, keluarga yang bertanya “Dia seiman, kan?”, hingga doa
yang tak lagi serempak — semua jadi batu kecil di jalan mereka.
“Kadang aku iri,” ujar R
pelan. “Bukan karena dia ke gereja, tapi karena aku nggak bisa ikut masuk ke
dunianya.”
M menanggapinya dengan nada
sarkas tapi jujur,
“Kita kayak main game
bareng tapi beda server. Mau login bareng, tapi sistem bilang ‘keyakinan
tidak kompatibel.’”
Lalu keduanya tertawa kecil
sambil meneriakkan candaan khas mereka:
“Tepuk Mangu! 👏
Beda server! Beda server!
Beda server!
Coba dulu! Coba dulu~”
Namun di balik humor itu,
ada resah yang nyata. Hubungan mereka ibarat tali karet — lentur, tapi semakin
diregang, semakin menyakitkan. M mencoba rasional, R mencoba pasrah, tapi
keduanya sama-sama tahu: restu tak selalu sejalan dengan rasa.
Menurut Psikolog Dr.
Feri Faila Sufa, S.Psi., S.Pd., M.Pd., fenomena cinta beda agama adalah
refleksi generasi yang tumbuh di era keterbukaan tapi masih hidup di lingkungan
nilai lama.
“Anak muda sekarang berani
mencintai lintas iman, tapi belum siap menanggung tekanan sosial dan
spiritualnya. Mereka bisa menyatukan playlist, tapi belum tentu bisa menyatukan
doa,” ujarnya.
Kini, hubungan mereka
menggantung di antara harapan dan kenyataan. Mereka tidak berpisah, tapi juga
tak bisa melangkah ke arah yang lebih jauh.
“Kami masih sayang,” kata R
lirih, “tapi mungkin cinta kami cuma punya tempat di ruang chat, bukan di
altar.”
Cinta beda agama memang tak
selalu berakhir dengan pernikahan atau restu. Tapi di tengah benturan nilai dan
keyakinan, R dan M membuktikan satu hal sederhana: cinta bisa tetap ada — meski
server-nya berbeda.
Penulis: Oliviana Angelica
Effendy
Penyunting: Lathifah An
Najla