Surakarta,
13 Desember 2025— Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta menggelar Seminar Nasional bertema
“Perampasan Aset dalam Perspektif Hukum dan Keadilan”, menghadirkan
sejumlah pakar dan praktisi penegakan hukum untuk membedah urgensi serta
hambatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Seminar
ini menghadirkan Dr. Thony Saut S, S.H., M.M., Wakil Ketua KPK periode
2015–2019; Prof. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.Hum., Guru Besar Hukum
Pidana Universitas Jenderal Soedirman; serta AKBP Eko Novian, S.I.K., M.Si.,
Kepala Subdirektorat 3 Direktorat Penelusuran dan Pengamanan Aset pada
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Polisi Republik Indonesia (Kasubdit 3
Direktorat P2A Kortas Tipidkor Polri). Diskusi dipandu oleh Dr. Rian Saputra,
S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Unisri.
RUU
Perampasan Aset dan “Pasal-Pasal Panas”.
Dalam pemaparannya, Dr. Thony Saut S menyoroti sejumlah pasal krusial yang
kerap memicu perdebatan dalam RUU Perampasan Aset. Salah satunya adalah konsep Non-Conviction
Based Asset Forfeiture, yakni perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana
terhadap pelaku.
Menurutnya,
mekanisme ini dipandang progresif karena fokus pada penyelamatan aset negara,
namun sekaligus menuai kritik karena berpotensi menggeser asas praduga tak
bersalah. Selain itu, isu pembuktian terbalik, perluasan lingkup aset
yang mencakup kejahatan di luar korupsi, serta persoalan pengelolaan aset
rampasan turut menjadi sorotan.
“Pertanyaannya
selalu sama: antara keadilan substantif dan keadilan prosedural, siapa yang
sebenarnya diuntungkan?” ujarnya.
Dr.
Thony juga mengulas perjalanan politik RUU Perampasan Aset yang dinilainya
berlarut-larut dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga kini. Ia
menyebut, teknologi pelacakan aset lintas negara sudah tersedia, kesadaran
publik meningkat, namun regulasi justru tertahan oleh tarik-menarik kepentingan
politik.
“Aset
koruptor menunggu dirampas, rakyat menunggu janji ditepati,” tegasnya.
Politik Hukum dan Keberanian Negara.
Sementara itu, Prof. Hibnu Nugroho menekankan bahwa penegakan hukum tidak
pernah lepas dari politik hukum negara. Ia mencontohkan revisi Undang-Undang
KPK sebagai bukti bahwa kuat atau lemahnya suatu instrumen hukum sangat
bergantung pada kemauan politik.
“Pertanyaannya
bukan bisa atau tidak, tetapi negara berani atau tidak,” ujarnya.
Menurut
Prof. Hibnu, orientasi pemberantasan korupsi seharusnya tidak lagi berfokus
pada penghukuman pelaku semata, melainkan pada pemulihan kerugian negara.
Dalam konteks tertentu, ia menilai pendekatan retroaktif dapat dibenarkan,
sebagaimana pernah diterapkan dalam penanganan terorisme.
“Roh
hukum korupsi hari ini adalah negara melawan aset, bukan semata orang melawan
negara,” jelasnya.
Ia
menambahkan, kebijakan perampasan aset tidak bertentangan dengan keadilan
selama dijalankan dalam koridor hukum dan diimbangi dengan mekanisme
perlindungan hak serta pengawasan yang ketat.
Profesionalisme Investigasi dan Penelusuran Aset.
Dari perspektif penegakan hukum, AKBP Eko Novian memaparkan praktik penelusuran
dan pengamanan aset oleh Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas
Tipidkor Polri). Ia menekankan pentingnya profesionalisme dan kerendahan ego
dalam kerja intelijen dan investigasi.
Menurutnya,
di era digital, aparat penegak hukum dituntut tidak hanya memahami norma hukum,
tetapi juga menguasai cara berpikir investigatif—deduktif, induktif, dan
abduktif—dalam mengungkap kejahatan korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
juga menegaskan bahwa penyalahgunaan
kewenangan oleh aparat, termasuk penggelapan alat bukti, merupakan tindak
pidana yang dapat diproses melalui berbagai saluran penindakan dan pengawasan.
Masalahnya Tinggal “Yes or No”.
Menutup seminar, moderator Dr. Rian Saputra menyimpulkan bahwa secara normatif,
RUU Perampasan Aset sebenarnya telah cukup jelas dan komprehensif. Namun,
persoalan utama terletak pada satu kata kunci: keberanian.
“Masalah
normanya sudah clear, pasal-pasalnya sudah clear. Tinggal keputusan
politik—terutama di Komisi III DPR—yes or no,” pungkasnya.
Seminar
ini menegaskan bahwa perampasan aset bukan sekadar isu hukum teknis, melainkan
arena pertarungan antara kemauan politik, kepentingan elite, dan tuntutan
keadilan publik.
Penulis : Koko Novianto Pribadi
Penyunting :
Fahra Nautisya Octavia Hany