“Lupakan Kolumbus karena Bush dan Nike telah menemukan Amerika", terdengar sayup-sayup lagu bertajuk Bombox Monger yang dilantunkan oleh grup hip-hop asal Bandung bernama Homicide. Setelah mendengarkan lagu tersebut, saya teringat akan neoliberalisme yang telah menduduki kehidupan di sebuah negara. Apabila ditelaah lebih lanjut penggalan lirik yang saya dengar cukup menohok ini, merupakan satir terhadap neoliberalisme di Amerika Serikat. Kristoforus Kolumbus adalah seorang penjelajah dengan sokongan dana dari Ratu Isabella, ia melakukan ekspedisi dan dikenal sebagai penemu benua Amerika. Sementara Bush adalah Presiden Amerika Serikat ke-43, ia dikenal karena di bawah rezimnya, Amerika menginvasi Irak dengan segala narasi heroisme terhadap kepemimpinan Saddam Hussein. Lalu Nike adalah perusahaan asal Amerika yang mempunyai banyak pabrik di negara dunia ketiga dikenal membayar buruh dengan upah murah. Nike kerap disebut sebagai simbol kapitalisme paling masyhur saat ini.
Lirik tersebut cukup kental akan nuansa sindiran kapitalisme dari zaman ke zaman. Kolumbus melakukan ekspedisi untuk mencari rempah, karena Turki Ustmani telah menguasai Konstantinopel. Ia menemukan benua Amerika sebagai lahan mencari rempah untuk dijual kembali ke pasar Eropa yang pada waktu itu rempah sebagai komoditas perdagangan. Bush dan Nike adalah kebesaran Amerika akan kedigdayaan negara adidaya. Oleh karena itu, Kolumbus harus dilupakan karena kebesaran kapitalisme atau sekarang dapat menjelma menjadi neoliberalisme telah menemukan kembali lahan yang sama, akan tetapi kekuasaan yang berbeda.
Apabila kita telusuri lebih lanjut istilah neoliberalisme, kita dapat menemukan definisi kebebasan ekonomi dan pasar bebas. Ihwal demikian terkait kebijakan liberalisasi ekonomi yang melakukan perdagangan bebas, penghematan, dan pengurangan pengeluaran pemerintah agar meningkatkan sektor swasta dalam ekonomi dan masyarakat.
Friedrich August von Hayek mengemukakan bahwa prinsip utama pada ajaran neoliberalisme adalah kehidupan ekonomi masyarakat tanpa campur tangan pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi akan berjalan optimal apabila barang dan jasa tak terkontrol oleh aturan apa pun.
Merujuk Ilusi Kampus Merdeka
Demi kemenangan pasar bebas, neoliberalisme mengarahkan pendidikan semata-mata untuk memuaskan industri. Pendidikan menjadi tumbal dari ulah kongkalikong pemerintah dengan pemodal. Kampus Merdeka sebagai manifestasi neoliberalisasi pendidikan semakin menguat karena para pemodal pun membutuhkan institusi negara untuk melegalkan prinsip pasar bebas ke dalam sebuah kebijakan yang membebaskan dirinya dari mekanisme pasar.
Neoliberalisme masuk ke Indonesia dapat kita tengok melalui Bank Dunia dan Internasional Monetary Found (IMF). Khususnya di negara berkembang terbentuk karena campur tangan pembuatan kebijakan sebagai imbalan dari pinjaman yang diberikan kepada negara yang sedang krisis. Intervensi tersebut dapat melalui pemangkasan pembiayaan yang tidak pro pertumbuhan.
Pengelolaan pada sektor publik diubah menjadi pengelolaan seperti perusahaan swasta demi kemajuan ekonomi dapat kita lihat sekarang. Pemangkasan subsidi pendidikan ditengarai sebagai dampak dari melambungnya lonjakan beban biaya kampus kepada mahasiswa. Efek domino ini akan kita lihat di sekitar kita, bahwa mahasiswa menjadi mementingkan diri sendiri terkungkung dalam dunia kompetitif yang diarahkan kepada kesuksesan, alih-alih demi kepentingan pengetahuan belaka. Kendati demikian, hal ini dapat menimbulkan ketimpangan berdasarkan kesempatan mendapat kerja.
Karakteristik neoliberal dalam perguruan tinggi di Indonesia tertuang melalui berbagai sikap pemerintah. Neoliberalisasi pun mempunyai pengertian yang cukup luas, Harvey (2005) menjelaskan prinsipnya dalam empat poin. Pertama, privatisasi layanan publik dari pemerintah, dialihkan kepada kepentingan kepemilikan swasta. Kedua, komodifikasi layana dan tenaga kerja sehingga keduanya menjadi komoditas yang diperdagangan dalam pasar. Ketiga, finalisasi dengan penekanan pada kebijakan moneter di atas kebijakan moneter di atas kebijakan fiskal. Keempat, kewaspadaan terhadap potensi krisis keuangan dan ekonomi.
Mekanisme tersebut justru tidak memerdekakan mahasiswa justru mereka makin terkungkung pikirannya, berputar pada ruang pikirannya, berputar pada ruang konsepsi bahwa memang ada hierarki dalam pendidikan tinggi ilmu yang patut dipelajari adalah ilmu yang bermanfaat pada roda perekonomian. Kendati demikian, pengertian seperti ini berpotensi membuka proyek yang memerlukan rasionalisasi ilmiah.
Beleid Menciptakan Ruang Industri
Pada saat ini, saya memang sedang menempuh studi di jenjang perguruan tinggi. Ihwal neoliberal saya temukan di depan mata tatkala seluruh panca indra ikut merasakan neoliberalisme hidup subur di dunia pendidikan. Kita bisa melihat Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencanangkan program Kampus Merdeka. Hasilnya tercetus kurikulum pendidikan melalui paket Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Nadiem Makarim menerbitkan beleid melalui Permendikbud-ristek Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi, dalam beleid tersebut merupakan upaya untuk menggerakan perguruan tinggi untuk mendekatkan diri pada ranah industri.
Dalam Permendikbud-ristek Nomor 3 Tahun 2020, mengatur perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk mengambil sejumlah Satuan Kredit Semester (SKS) di luar perguruan tinggi sebanyak 2 kali, pada masa dua semester tersebut akan dikonversi menjadi 40 SKS. Program yang dapat diambil mahasiswa, yaitu magang, kampus mengajar, studi independen, Indonesia Student Mobility Awadrs (IISMA), wirausaha, membangun desa, proyek kemanusiaan, dan riset atau penelitian.
Nadiem Makarim mengatakan Kampus Merdeka akan meningkatkan keterampilan para mahasiswa menjadi lebih adaptif dalam merespons kebutuhan dunia kerja. Perguruan tinggi dituntut bergerak paling cepat karena perguruan tinggi paling dekat dengan dunia pekerjaan. Sejalan dengan itu, ada kesempatan kerja di luar bidang ilmu yang biasa ditemui di bangku perkuliahan, kesempatan tersebut memberikan mahasiswa untuk dapat belajar langsung di kantor ia bekerja.
Apabila kita lihat lebih lanjut dari program yang digagas oleh Permendikbud-ristek, magang merupakan bentuk eksploitasi dari perusahaan tempat mereka bekerja. Dari intensifikasi magang mahasiswa tidak diberi upah penuh. Bahkan kita tengok lagi, peserta magang tak mempunyai serikat pekerja untuk mengadvokasi ketika ada yang tidak beres dengan perusahan. Pemenuhan tenaga kerja dengan dalih kesuksesan individu cenderung meleluasakan kebutuhan dunia industri.
Menilik banyaknya keluhan ihwal matinya kritisisme mahasiswa dapat disebabkan oleh faktor kebijakan yang membuat mahasiswa mempunyai pola berpikir instrumental. Meninjau dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan bukan lagi urusan berbentuk karakter dan menciptakan warga negara yang kritis semata-mata membentuk investasi individu. Sehingga nalar kritis bukan menjadi tujuan dari pendidikan, melainkan sekadar keterampilan yang akan dijual ke dunia kerja.
Penulis : Rynaldi Fajar
Penyunting : Hasan Ales Sandro