Photo by Mikhail Nilov from Pexels
Gemercik air membasahi jalan raya. Orang-orang berhamburan mencari tempat teduh. Riuh jalanan beralih gelegar guntur, siap menghantar bumi, menyabet seperti pecut penari Jathilan. Bau anyir hujan mulai tercium. Badan menggigil, kaus kaki yang basah, diri mulai kantuk. Sementara perjalanan masih jauh. Nun jauh tujuan dari perjalanan ini, tak ada mantel, tubuh sudah kuyup. Aku menunduk lesu di pelataran toko. Sementara hujan terus bergulir deras. Sambil menahan kantuk, menghitung berapa kilometer lagi sampai tujuan. GPS menujukan titik koordinat. Masih jauh juga perjalanan. Seratus lima kilometer lagi, dapat ditempuh dengan kendaraan sepeda motor selama tiga jam setengah. Gawai kembali menerima kehangatan kantung saku. Mata mulai sayu. Sampai akhirnya tertidur pulas.
***
Di
hari yang terik, seorang perempuan mendatangi, sepertinya puritan, menyapa
dengan salam, “Assalamualaikum, Kanda,” ia berucap dengan senyum lebar. “Kanda,
apa kabar lama tak bertemu,” kembali ia menyapa. Membatin sembari menebak,
siapakah perempuan ini, aku membalas dengan nada canggung, “Alhamdullilah,
baik.” Aku mengajaknya duduk di undakan anak tangga. Ia mengawali obrolan
dengan bertanya, “setelah lulus SMA, Kanda sudah pergi kemana saja?” Lantas menjawab,
“sedang mencari kampus di luar kota.” Aku masih membatin, siapa gerangan
perempuan ini. apakah ia teman sewaktu SD, atau teman sewaktu SMP, tak mengenal
dia, dari parasnya pun aku tak menyangka kalau pernah bertemu sebelumnya.
Dengan suasana yang canggung, ia mulai mencairkan suasana dengan bercerita,
“Tau
nggak, Kanda. Di SMA itu nggak diajarin logika, jadi pas ujian masuk perguruan
tinggi aku nggak tau sama sekali apa itu logika, taunya aritmarika. Apalagi ada
postulat matematika, apa itu aku nggak paham,” ia terbahak-bahak bercerita
tentang kebingungannya.
Aku
masih terbesit heran, mulai tak canggung lagi. “Ya... Gimana lagi, Dinda, aku
juga masih bingung kenapa logika nggak masuk mata pelajaran,” sungguh aku masih
canggung kenapa ia bercerita tentang pelajaran logika.
Dalam
pembicaraan itu kami banyak bercerita tentang pelajaran sewaktu SMA, berkisah
ekstrakulikurer, sampai kejadian klenik ikut persami atau biasa disebut
perkemahan sabtu-minggu. Ada banyak kisah sewaktu SMA yang membuat teringat
akan kenangan di hari lampau. Sembari mengingat-ingat agar percakapan tak
canggung, malah aku mulai teringat apakah perempuan ini teman sewaktu SMA. Aku
belum bisa memberanikan diri untuk bertanya, siapakah dia, asal-usul dia.
Pembicaraan masih berkutat tentang kisah SMA. Namun, tak ada yang nyambung dengan
kisah sewaktu SMA dulu. Sapaan Kanda dan Dinda ini sudah santer terucap. Ia
menyapa aku dengan Kanda sebaliknya aku menyapa Dinda. Aku kembali
mengingat-ingat, kapan aku kerap menyapa sebutan ini.
Suara
Adzan lohor tersiar dari megafon masjid, ia bersiap menunaikan ibadah sholat
dzuhur, lalu ia undur diri dari undakan anak tangga. Aku termenung. Siapa perempuan
itu. sepertinya ia mengenalku. Akan tetapi aku tak tahu siapa. Agaknya aneh
pikiranku. Beranjak dari anak tangga menuju ke masjid untuk sembayang.
Kembali
pada undakan anak tangga, mengengok ke samping, ia menghampiri lagi. Berjalan
dengan anggun, mukanya bersinar. Usai sembayang ia terlihat riang. Datang
menyapa, duduk bersama di undakan anak tangga lagi. Memberanikan diri bertanya
siapa dia, namun, tak bernyali. Bodohnya aku, tak tegas sama sekali. Ia malah
menanyakan aku sekarang bermukin di mana. Terbawa arus obrolan, ia seperti menghipnotis. Terbawalah obrolan
kesana-kemari. Saling tanya saling jawab. Kembali lagi, masih tercengung tentang
perempuan ini. siapakah kamu, aku tak mengerti bisa disampingku. Ya Tuhan,
bidadari mana yang dikau titipkan padaku.
“Kanda
tak merokok?” ia bertanya, seperti heran, kenapa aku tak merokok. Sepertinya ia
mengenal baik tentang aku. Siapakah dia. Terus membatin. Inginku bertanya
namamu siapa. Namun, masih tak sampai hati. Toh aku seorang perokok. Akan
tetapi aku sungkan kalau merokok disamping orang yang tak merokok. Berbagi bala
penyakit itu tak baik.
Lantas
aku menjawab, “Nanti saja, sebentar lagi mau pergi.”
“Mau
kemana.”
“Ke
seberang jalan sana,”
“Ke
toko kelontong?”
“Iya.”
Berkelit
hendak pergi. Lantas menyeberang jalan untuk membeli korek api, sembari
memikirkan siapa perempuan itu. Sekali lagi aku ingat-ingat. Siapakah dia. Kapan
kali terakhir bertemu dia. Setelah kembali dari toko kembali dari toko
kelontong. Tekad hati ingin bertanya. Berjalan sembari menunduk, menghitung
langkah demi langkah. Menduga bahwa aku ini amnesia. Nyatanya sungguh
benar-benar amnesia.
“Beli
apa, Kanda?” tanya dia.
“Korek
api.”
“Buat
apa?”
“Tadi
koreknya ketinggalan, jadi ngga bisa ngerokok.”
Suasana
batinku kembali canggung. Dia menatap hiruk-pikuk jalan raya. Ia bercerita lagi
tentang kehidupan jalan raya. Memanggilku dengan sebutan “Kanda” lagi.
Sepertinya diriku telah terkena ramuan sihir. Padahal aku tak rupawan, kumal,
rambut jarang tersentuh sisir. Jeleknya diriku.
“Kalau
boleh tau, siapa namamu,” memberanikan diri bertanya siapa dia. Tak ayal, raut
muka dia malah tercengang. Kalang kabut pikiranku. Apakah dia marah. Lalu
membatin kenapa dia marah. Apa salahnya bertanya. Sebodoh ini diriku. Dengan
isi pikiran yang tak karuan, dia menyawab pertanyaanku,
“Aku
ini kekasihmu, Aini!”
Sungguh
aku masih tak terima dengan pernyataan dia. aku menunduk menatap anak tangga
sampai tingkat paling bawah. Termenung lagi. Mengapa dia kekasihku. Hatiku
berdetak kencang, selayaknya perasaan asmara yang sudah kambuh. Inikah perasaan
cinta, hatiku kacau balau mengapa dia mengaku jadi kekasihku, bingung tak
kepayang.
“Kanda
bercanda?” Raut mukanya memerah, tak seperti tadi yang mukanya berbinar-binar.
Duar...!!!
Suara
gelegar petir menghantar permukaan bumi. Terbangung dari lelapnya tidur, sepeda
motor yang aku tumpangi roboh menopang tubuku yang kantuk. Seluruh tubuh tergeletak
di lantai pelataran toko. Belum sadar penuh, menatap masjid di seberang
pelataran toko. Sekilas seperti pernah kujumpai.
Oleh: Raden