3726 Mdpl: Kalendra dan Senja - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

3726 Mdpl: Kalendra dan Senja

Sumber: Pinterest karya Hilvanto

Di atas ketinggian 3726 mdpl, angin malam berkisah tentang perjalanan jiwa yang mengembara. Gunung itu menjulang seperti sebuah altar, memanggil jiwa-jiwa yang haus akan makna. Di antara mereka, ada Kalendra, mahasiswa pertanian yang tak pernah lelah mengejar jawaban di balik daun-daun hijau dan aroma tanah basah.  

Kalendra tak pernah mengira, perjalanannya kali ini bukan tentang akar, batang, atau angin yang menyejukkan. Ia menemukan sesuatu yang jauh lebih sulit dipahami, ia seorang perempuan bernama Senja, mahasiswa sastra yang membawa puisi seperti senapan di punggungnya. 

Mereka bertemu di pos tiga, di antara pohon-pohon yang membisu, menghirup aroma kopi instan yang bercampur dengan embun pagi. Senja duduk di atas batu besar, buku lusuh di pangkuannya, bibirnya melafalkan kata-kata yang Kalendra tak mengerti, namun terasa indah.  

“Kau tahu,” ujar Senja, tatapannya tak teralihkan dari ufuk timur yang membara, “setiap gunung punya puisinya sendiri.”  

Kalendra mengerutkan dahi. “Puisinya? Maksudmu?”  

“Puncak adalah bait terakhir, tapi setiap langkah, setiap desah napas, adalah rima dan irama yang menyusun kisah.” Ia memalingkan wajah, menatap Kalendra yang masih terengah-engah di sampingnya. “Kau bisa mendengarnya kalau kau cukup tenang.”  

Kalendra tersenyum kecil, mencoba memahami cara pikir perempuan itu. Baginya, gunung hanyalah ekosistem. Tumbuhan dan tanah adalah fauna kecil yang bersembunyi di bawah bebatuan. Tapi cara Senja memandangnya, seolah gunung adalah hidup yang bernapas, berdetak, dan berbisik.

Di puncak, mereka berdua duduk berdampingan, menyaksikan dunia yang seperti dihias oleh tangan para dewa. Matahari terbenam di balik lautan awan, menciptakan lukisan warna jingga, merah, dan ungu yang melarutkan waktu.  

Kalendra mencuri pandang. Senja diam, tapi matanya penuh. Penuh perasaan yang tak bisa diterjemahkan oleh Kalendra, seperti sebuah buku dalam bahasa asing yang tak pernah ia pelajari.  

“Apa yang kau lihat di sana?” tanya Kalendra akhirnya.  

“Kerinduan,” jawab Senja pelan.  

“Kerinduan untuk apa?”  

“Untuk hal-hal yang tak bisa kumiliki, untuk rumah yang selalu kutinggalkan, untuk cerita yang tak pernah selesai.” Ia menghela napas, menyapu rambutnya yang diterpa angin. “Senja, di gunung selalu seperti itu. Mengingatkanmu pada hal-hal yang tak bisa kau genggam, hanya bisa kau tatap dari jauh.”  

Kalendra terdiam. Kata-kata itu menikam sesuatu di dadanya, sesuatu yang selama ini tak pernah ia sadari ada.  

“Pertumbuhan,” jawab Kalendra, hampir tanpa berpikir. “Semua ini, gunung ini, langit ini, bahkan aku, semuanya tumbuh. Perlahan, tak terlihat, tapi selalu berubah. Mungkin itulah gunung bagi kami, para petani.”  

Senja tersenyum kecil. “Pertumbuhan dan kerinduan. Kau tahu? Itu bisa jadi puisi yang bagus.”  

“Puisi? Aku tak bisa menulis puisi.”  

“Tentu bisa,” balas Senja. “Puisi tak selalu butuh rima. Kadang, ia hanya butuh keberanian untuk merasa.”  

Perjalanan turun menjadi hening. Di dalam hati Kalendra, sesuatu mulai berubah. Ia tak lagi hanya memandang gunung sebagai laboratorium alam. Ia mulai mendengar bisikan-bisikan kecil di balik dedaunan, seperti yang Senja katakan.  

Di sebuah persimpangan, sebelum jalan setapak membawa mereka kembali ke dunia yang lebih bising, Kalendra menahan langkahnya.  

“Senja,” panggilnya lirih.  

Perempuan itu menoleh, rambutnya berayun tertiup angin.  

“Terima kasih,” ujar Kalendra.  

“Untuk apa?”  

“Untuk mengajarkan aku mendengar.”  

Senja tersenyum, lalu berjalan menjauh, meninggalkan aroma hujan dan kata-kata yang tak pernah sempat terucap.  

Di dalam hati Kalendra, ia tahu, Senja adalah puisi yang takkan pernah selesai ia pahami. Dan mungkin, di situlah letak keindahannya.


Penulis          :  Oliviana Angelicha Effendy    
Penyunting : Luthfia Fanyna Amanda


Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done