Surat untuk Bumi - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Surat untuk Bumi

 

Sumber: Pinterest

Aku menatap langit yang mulai menghitam. Asap tebal mengepul dari pabrik-pabrik di seberang sungai yang airnya telah berubah keruh. Hatiku miris melihat pemandangan ini. Dulu, ketika aku masih kecil, sungai ini jernih, ikan-ikan berenang dengan riang, dan udara masih terasa segar.

"Bu, mengapa langit sekarang selalu abu-abu?" tanya putriku yang baru berusia tujuh tahun.

Pertanyaan polos itu menohok hatiku. Bagaimana menjelaskan pada anakku bahwa kami lah yang telah merusak rumah kami sendiri? Bahwa manusia dengan segala kemajuan teknologinya, justru perlahan membunuh planet yang telah membesarkan kita?

"Dulu, Nak,” aku memulai ceritaku, "langit itu biru. Sangat biru, dan awan-awan putih berarak seperti kapas yang diterbangkan angin."

Mata putri kecilku berbinar.  "Benarkah, Bu? Seperti dalam buku cerita?"

Aku mengangguk pelan. "Ya, sayang. Dan pohon-pohon tumbuh di mana-mana. Burung-burung berkicau setiap pagi. Udaranya segar, tidak seperti sekarang yang membuat tenggorokan kita gatal."

"Mengapa sekarang tidak seperti itu lagi, Bu?"

Aku terdiam sejenak. "Karena kita tidak menjaga Bumi dengan baik. Kita terlalu sibuk membangun gedung-gedung tinggi, pabrik-pabrik besar, dan melupakan bahwa Bumi juga perlu bernafas."

Putriku memeluk boneka beruangnya erat. "Apa kita bisa membuat langit menjadi biru lagi?"

"Bisa, sayang. Tapi kita semua harus bekerja sama. Mulai dari hal kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, menghemat air, dan menanam pohon."

Keesokan harinya, putriku memintaku untuk membantunya menanam sebatang bibit pohon mangga di halaman belakang rumah kami yang sempit. Meskipun kecil, setidaknya ini adalah langkah pertama. Saat melihat tangannya yang penuh tanah dan senyumnya yang lebar, aku merasa ada secercah harapan.

Mungkin masih belum terlambat untuk memperbaiki kesalahan kita. Mungkin anak-anak seperti putriku, dengan kepedulian mereka yang tulus terhadap alam, akan menjadi penyelamat Bumi di masa depan.

Sementara bibit pohon mangga itu mulai tumbuh, aku menulis surat dalam hati:

Maafkan kami, Bumi. Kami telah menyakitimu terlalu lama. Tapi kami berjanji akan memperbaiki kesalahan kami. Satu pohon, satu tindakan, satu hari pada satu waktu. Karena kau adalah rumah kami satu-satunya, dan kami ingin anak-anak kami masih bisa melihat langit birumu yang indah.

Setiap kali aku melihat putriku menyiram pohon mangga kecil itu, aku tahu bahwa harapan masih ada. Dan mungkin suatu hari nanti, langit akan kembali biru, dan anak-anak kita akan tahu bahwa kita tidak hanya mewariskan masalah, tapi juga solusi untuk masa depan yang lebih baik.

 

Penulis: Riskyka Mawar

Penyunting: Luthfia Fanyna Amanda 

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done