Aku menatap langit yang mulai menghitam. Asap tebal mengepul dari
pabrik-pabrik di seberang sungai yang airnya telah berubah keruh. Hatiku miris
melihat pemandangan ini. Dulu, ketika aku masih kecil, sungai ini jernih, ikan-ikan
berenang dengan riang, dan udara masih terasa segar.
"Bu, mengapa langit sekarang selalu abu-abu?" tanya putriku
yang baru berusia tujuh tahun.
Pertanyaan polos itu menohok hatiku. Bagaimana menjelaskan pada anakku
bahwa kami lah yang telah merusak rumah kami sendiri? Bahwa manusia dengan
segala kemajuan teknologinya, justru perlahan membunuh planet yang telah
membesarkan kita?
"Dulu, Nak,” aku memulai ceritaku, "langit itu biru. Sangat
biru, dan awan-awan putih berarak seperti kapas yang diterbangkan angin."
Mata putri kecilku berbinar. "Benarkah,
Bu? Seperti dalam buku cerita?"
Aku mengangguk pelan. "Ya, sayang. Dan pohon-pohon tumbuh di
mana-mana. Burung-burung berkicau setiap pagi. Udaranya segar, tidak seperti
sekarang yang membuat tenggorokan kita gatal."
"Mengapa sekarang tidak seperti itu lagi, Bu?"
Aku terdiam sejenak. "Karena kita tidak menjaga Bumi dengan baik.
Kita terlalu sibuk membangun gedung-gedung tinggi, pabrik-pabrik besar, dan
melupakan bahwa Bumi juga perlu bernafas."
Putriku memeluk boneka beruangnya erat. "Apa kita bisa membuat
langit menjadi biru lagi?"
"Bisa, sayang. Tapi kita semua harus bekerja sama. Mulai dari hal
kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, menghemat air, dan menanam
pohon."
Keesokan harinya, putriku memintaku untuk membantunya menanam sebatang
bibit pohon mangga di halaman belakang rumah kami yang sempit. Meskipun kecil,
setidaknya ini adalah langkah pertama. Saat melihat tangannya yang penuh tanah
dan senyumnya yang lebar, aku merasa ada secercah harapan.
Mungkin masih belum terlambat untuk memperbaiki kesalahan kita. Mungkin
anak-anak seperti putriku, dengan kepedulian mereka yang tulus terhadap alam,
akan menjadi penyelamat Bumi di masa depan.
Sementara bibit pohon mangga itu mulai tumbuh, aku menulis surat dalam
hati:
Maafkan kami, Bumi. Kami telah menyakitimu terlalu lama. Tapi kami
berjanji akan memperbaiki kesalahan kami. Satu pohon, satu tindakan, satu hari
pada satu waktu. Karena kau adalah rumah kami satu-satunya, dan kami ingin
anak-anak kami masih bisa melihat langit birumu yang indah.
Setiap kali aku melihat putriku menyiram pohon mangga kecil itu, aku
tahu bahwa harapan masih ada. Dan mungkin suatu hari nanti, langit akan kembali
biru, dan anak-anak kita akan tahu bahwa kita tidak hanya mewariskan masalah,
tapi juga solusi untuk masa depan yang lebih baik.
Penulis: Riskyka Mawar
Penyunting: Luthfia Fanyna Amanda