Kenangan kepada Sayuti—Seniman yang Ditembak Mati - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Kenangan kepada Sayuti—Seniman yang Ditembak Mati

 

Cukil Kayu karya Arifin (1964)


I

peleton algojo itu mengigil

dalam subuh pagi yang dingin

ketika ayam-ayam jantan

mengepakan sayap dan berkokok

membangunkan matahari

yang anggun lamban mencelup

-kaki langit

dalam warna kesumbanya.

gemerincing anakkunci

di lorong-lorong bui’mengajak bangkit

mengajak bangkit

tubuh-tubuh kekar

-pejuang perkasa,

dan berbisik sesamanya.


II

Sayuti!

-ditembakmati!

adakah mungkin

-kemerdekaan ditembak mati?

adakah mungkin

-kemerdekaan ditembak mati?

adakah mungkin

-memasang nyanyi dan keyakinan

dari pejuang yang ikhlas

sadar dan setia

menumpahkan darah,

bagi harapan dan haridepan?

III

dan dari kamar sipir

menggema perintah itu,

disambut peleton pengawal

-“keluarkan Sayuti

duabelas peluru

sampai mati!.”

-“god vedorri!

bangsat itu tak meminta ampun,

tapi minta peluru

bagi hidupnya.”-


IV

awan berlari

digiring anginpagi

kanakkanak terbangun dari tidur lelapnya

terbangun dari mimpi manisnya,

cinta dan harapan seorang ibu

-menyenyumi membelainya.

cinta dan harapan seorang pejuang

-menyenyumi membelainya

bau tanah baru dibajak

harum bunga pegunungan,

atau siulnyanyi gerilya

yang bercanda di perbatasan,

atau selendang merahkesumba

yang melilit di leher jenjang,

ai, kemerdekaan!

adakah puisi paling indah

kuasa menyanyikannya?


V

dan Sayuti

-pejuang itu,

bangkit dari belepotannya,

membusungkan dada bidangnya

-dan tersenyum

duabelas peluru

sebentar lagi

-akan bersarang di situ

cahaya fajar mengintip

dari kisi penjara,

dan diucapkan selamat pagi,

-selamat pagi, kemerdekaan!


VI

15 Agustus hari itu –

1947,

dan di penjara Pulau Simardan

angin kemerdekaan mengantar nyanyi,

dan itulah nyanyi

yang mengantar Sayuti dan puluhan lagi

ke depan peleton algojo

dengan semangat algojo

dengan semangat singa jantan

tak tunduk –

walau seangguk!


VII

dua haru yang lalu Syech Ismail

dan kini Sayuti.

tapi apa bedanya darah pejuang

yang tumpah membasuh bumi

dalam setia dan kasihsayang?

Syech Ismail yang berkata

dengan lantang algojonya:

-“halal darah feodal,

halal darah penjajah,

dan tiada dosa bagi pejuang

yang menegakan kemerdekaan”-

dan ulama itu ditembak

-ditembak

dengan seamngatnya berkibar

di puncakpuncak kemerdekaan.


VIII

ai, kemerdekaan!

adalah melodi paling murni

kuasa menembangkannya?


IX

duabelas senampang telah dikokang,

diacunkan kepada bidang – 

Sayuti yang tegap menantang!

dan di balik kisi besi,

membubul dendam yang kian meninggi:

-“hai, penjajah

akan datang suatu hari

api membakar seluruh negeri!”


X

peleton algojo itu menggigil

dalam subuhpagi yang dingin,

dan langit pun menggigil,

ketika duabelas peluru

serentak ditembakkan:

lelaki itu pun tumbang!


XI

Sayuti!-

-pejuang dan penyanyi

wargakota masih melihatnya

di panggung-panggung terbuka

menyanyikan

-kemerdekaan!

wargakota masih melihatnya

menantang asisten residen

dengan lagu dan pantun jenaka.

dan untuk itu,

-untuk kemerdekaan!

seluruh hidup dia kerahkan.


XII

demikianlah nyanyian kemerdekaan

di mana-mana

untuknmya seluruh yang terbaik

dari hidup manusia –

-direlakan.

hari ini Sayuti

kemarin dulu Syech Ismail

dan berpuluh

-beratus lagi

tegak berdiri pada tempatnya

membentengi pantai dan gunung.

dan nyanyian itu meninggi

dan kian meninggi,

kemerdekaan!

untuknnyalah,

bayi-bayi ditumbuhkan.

untuknyalah, 

tiap hidup dipertaruhkan.


XIII

dan negeri ini pun senantiasa beryanyi

dan senantiasa menyanyi,

menyanyikan

-kemerdekaan!


========

Oleh: Amarzan Ismail Hamid




Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done