Foto : Pexels
Kutarik gagang pintu ruang ICU. Melangkah perlahan, badan gemetar, dan derasnya air mata berjalan meninggalkan ruangan. Keluar seiringan bersama jasad bapak yang telah terbujur kaku. Dengan berat hati menerima takdir, bahwa aku menjadi anak yatim piatu.
Kedua orang tuaku meninggal dunia saat usiaku masih beranjak 15 tahun. Ibu wafat lantaran sakit kronis yang tak kunjung sembuh. Sementara kini, aku ditinggal bapak lantaran mengidap sakit jantung.
Berat hati menjalani hidup dengan gelar anak sebatang kara: cacian dan makian tak asing lagi di telingaku. Sejenak aku lupakan. Menenggak minuman alkohol yang kini kurengkuh. Ingin aku akhiri hidup; hidup yang tak jelas serta tak terarah membuatku tersiksa. Dalam pikiran setengah sadar, aku pecahkan botol, mengambil secuil pecahan kaca lantas kugoreskan lengan dengan serpihan kaca.
Menatap darah yang mengalir dengan mata berigidik. Tangan terasa perih, kepala mulai pusing, penglihatan mulai kabur. Hingga tak kuat lagi menopang tubuh. Aku roboh.
Teringat waktu disaat aku dan juga orang tuaku saling bercanda, bermain di balkon rumah hingga paling nyata ketika bapak menanyai cita-citaku. Dengan suara sedikit keras aku menjawab, "menjadi pasukan tentara pak." Bapak tersenyum lalu kemudian menghilang.
Tiga minggu kemudian...
Kubuka kedua kelopak mata. Kepala masih berdenyut denyut.
“Tempat ini…“
"Semuanya putih,"
"Apa aku telah ada di surga?" batinku.
Tiba-tiba, kurasakan tangan berdenyut-denyut. Aku menoleh, dan terengah-engah. Lagi-lagi, infus rumah sakit. Kenapa aku tak mati saja?
Melepas infus dari tanganku. Membangunkan tubuh dengan paksa. Berjalan sempoyongan, kubawa diriku semakin jauh dari ranjang tempatku terbaring.
"Bruk…" di depan hadapanku terlihat perempuan seumuranku tergeletak jatuh di lantai. Kupercepat langkah lalu menghampirinya. Aku menatapnya. Tak ada sehelai rambut pun di kepalanya. Mencoba bantu dia agar berdiri. Dia hanya tersenyum padaku. Kebetulan kejadian itu tak jauh dari ruang tunggu.
Di ruang tunggu:
"Namamu siapa?” tanyanya ia padaku.
“Aku Rizky. Kamu?”
“Aku Dita,” jawabnya.
“Kamu sakit apa?” tanyaku.
“Leukemia stadium 3” ujarnya.
Aku terkejut dengan jawabnya.
“Kalo kamu, sakit apa?” tanya Dita.
Aku menghela nafas lalu berkata lirih, “Percobaan bunuh diri.”
Dia terkejut dengan jawabanku,“Kenapa?”
“Karena benci sama hidupku. Udah nggak ada gunanya hidup di dunia ini,” jawabku.
Dengan air mata yang menetes, ia tersenyum samar,
“Kamu nggak boleh ngomong gitu Riz. Bagaimanapun juga, ini takdir Tuhan."
Aku menoleh ke arahnya dan berkata,
“Tapi, aku nggak punya alasan apapun buat hidup Dit.. “
“Kamu harusnya bersyukur Riz, Kalo tuhan masih ngasih kamu kehidupan. Lihat aku. Aku sakit... Dan mungkin umurku nggak lama lagi. Kamu nggak tau gimana perasaanmu, saat kamu tahu bahwa kamu sekarat. Sedangkan, kamu masih sayang untuk meninggalkan dunia ini,” ujarnya.
Aku tertegun dan terdiam. Tiba-tiba Dita berdiri. Aku menatapnya dengan tanya.
“Aku mau masuk Riz. Tolong, pikirkan tentang apa yang aku bilang tadi. Kalo kamu nyari aku, aku di kamar Anggrek Nomor 14.″
Aku hanya mengangguk, saat Dita mulai menjauh dari tempat ini. Aku hanya terdiam memikirkan apa yang dikatakannya tadi.
Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Aku berjalan dan mulai mencari kamar Dita. Anggrek Nomor 14. Akhirnya ketemu. Aku membuka pintu. Namun, aku mendengar suara tangis dari dalam. Aku mendekat. Kulihat Dita sedang tertidur, dengan wajah yang sangat pucat. Wanita di sampingnya memeluknya sambil menangis. “Benarkah?“ kulirik komputer di samping Dita. Disana tak ada lambang detakan jantung. Hanya ada garis lurus. Aku menggeleng… lantas kakiku mulai mundur. Aku langsung berlari ke luar.
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. "Dita pergi secepat ini?" Saat ini aku baru berpikir, jika ini semua adalah takdir Tuhan. Tak mungkin manusia diciptakan, tanpa sebuah arti. Aku beruntung, masih diberi kesempatan untuk hidup. Kutanyakan pada diriku sendiri. "Kenapa aku ingin mati, di saat banyak orang di luar sana berjuang mati matian untuk tetap hidup?" baru Kusadari bahwa setiap manusia, harus memiliki semangat hidup.
Oleh: Wicaksono Puji W.