Kampus: Antara Penjara dan Pendidikan - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Kampus: Antara Penjara dan Pendidikan

 

(Ilustrasi)

Saya adalah seorang Mahasiswa baru di Unisri—tidak banyak yang saya ketahui tentangnya. Namun, lewat beberapa observasi singkat, menemukan beberapa catatan yang saya rangkum dan terus saya pertanyakan tentang arah tujuan Unisri. Visi dan misi yang kontradiktif, tidak berjalan sejajar, dan keganjalan-keganjalan lain di antaranya bukan berasal dari Unisri sendiri. Tetapi juga dari pemerintah. Lebih tepatnya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Saya bukan seorang Posmodernis (paska modern). Jauh dari itu, saya adalah seorang Marxis. Pemahaman tentang pendidikan adalah pemahaman layaknya Marxis-marxis lain, tentang suprastruktur dari kapitalisme. Dan saya memahami, bahwa perombakan terhadap pendidikan bukanlah tugas yang mampu dilakukan secara bertahap dan teratur; namun melalui loncatan-loncatan dalam tahapan-tahapan sejarah. Melalui ledakan, baik ledakan-ledakan kecil atau pun akumulasi ledakan: revolusi. Namun ada suatu konsep yang saya ingin pinjam, meskipun akan saya apropriasi; dari Foucault –konsep tentang penjara dan pendidikan.

 

Penjara

Penjara adalah hal yang menyeramkan; tapi apa yang membuat penjara menyeramkan? Di penjara, kebutuhan hidup kita terpenuhi. Makan, minum, kesehatan, dan hal-hal lainnya. Terutama di era modern ini. Ya, tentu banyak kecacatan dari sistem rehabilitasi kita. Tapi, abikanlah untuk sementara, dan anggaplah kita memiliki sistem rehabilitasi yang seadil-adilnya. Penjara akan tetap menjadi tempat yang menyeramkan, bukan? Tentu saja!

Kira-kira, apa yang membuat penjara menjadi tempat yang menyeramkan? Entah seadil apapun sistem rehabilitasi sebuah negara? Karena di penjara, manusia teralienasi dari kemanusiaannya. Bayangkan seekor merpati di dalam sangkar, seindah apapun merpati tersebut, keindahannya akan terlihat lebih jelas saat ia mengepakan sayapnya dengan bebas di udara. Merpati tak mampu membentangkan sayap dengan sebebas-bebasnya dalam sangkar.

Begitu pulalah manusia, kecerdasan, keberanian, dan segala sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam dirinya hilang dalam penjara. Semua potensi dan keindahannya, terkekang. Tak bisa terwujudkan.

Semua hal ini, dilakukan untuk mendisiplinkan dan menghukum masyarakat yang "melenceng." Masyarakat, bukan lagi dilihat sebagai individu-individu yang berakal, memiliki kreativitas, dan memiliki rasa, namun sekumpulan objek untuk didisiplinkan, dibuat serupa.

Bayangkan, konsep dari penjara modern ini, ada di setiap institusi masyarakat kapitalis. Dan inilah yang Foucault garis bawahi. Bahwa setiap institusi dari masyarakat modern, adalah penjara; tidak luput kampus dan industri.

Namun, Foucault menjelaskan konsep ini secara abstrak, secara ideal. Sebagian orang memahaminya sebagai kegagalan masyarakat modern, dan menghardik setiap status-quo yang ada di dalamnya. Saya melihat ini sebagai kegagalan kapitalisme, bukan semata-mata status-quo, tapi suprastruktur dari masyarakat kapitalis. Sebagai hegemoni borjuis. Pendapat saya mungkin lebih tepat jika dijajarkan dengan teori Gramsci, dan memang saya kembali ke Gramsci. Namun sekali lagi, saya meminjam konsep Foucault untuk saya apropriasi, agar pembcaca bisa lebih mudah memahami horror dari sendi-sendi masyarakat kapitalis.

 

Mempertanyakan Unisri: Pendidikan atau Pendisiplinan?

Setelah menjelaskan konsep yang akan saya pakai dalam membedah kampus kita, saatnya untuk mempertanyakan identitas kampus kita. Apakah Unisri merupakan institusi pendidikan, yang berusaha memaksimalkan potensi dari setiap individu yang ada di dalamnya? Atau penjara, institusi kapitalis yang berusaha mendisiplinkan masyarakat untuk menjadi serendah-rendahnya buruh yang efisien bagi industri atau selayak-layaknya agen atau kepanjangan tangan dari kapitalisme dan imperialisme atau kapitalisme global?

Dalam analisis ini, saya berusaha melihat dari aspek yang paling kecil namun paling inti dalam institusi pendidikan: proses belajar mengajar dalam kelas. Mari saya mulai dengan memperkenalkan background saya, saya adalah Mahasiswa Hubungan Internasional (selanjutnya akan saya singkat HI) angkatan 2021. Dalam proses belajar-mengajar, terutama lewat mata kuliah inti HI (Pengantar HI), dosen mengenalkan beberapa konsep. Namun konsep-konsep ini tidak lebih dari konsep-konsep mainstream yang lahir dari pemikiran-pemikiran mainstream dalam teori HI. Di dalam HI, ada dua teori dominan, yaitu konstruktivisme dan realisme. Dua teori ini melihat negara sebagai aktor utama dalam HI, dan menihilkan peranan-peranan individu, kelas, serta aktor-aktor lainnya. Jika tidak ingin dibilang menihilkan, maka bisa dibilang dua teori ini mengkerdilkan pernanan-peranan tersebut hingga nyaris tak terlihat.

Proses belajar mengajar pun, di antara dosen-dosen tertentu, terkesan mengobjektivikasi mahasiswa. Dengan membebankan segala hal pada tugas, segala aspek penilaiaan pada tugas. Beberapa dari kita mungkin merasa, "Ya, namanya juga mahasiswa. Kalau nggak banyak tugas, namanya bukan mahasiswa. Balik lagi aja ke SMA." Maaf, bagi saya nasib Anda sangat malang, dan Anda sangat naif. Anda terjebak dalam ilusi yang menciptakan parameter-parameter kesuksesan seorang murid yang ditawarkan oleh kampus. Mudahnya, anda tergolong dalam kriteria mahasiswa ambisius.  Anda telah kehilangan jati diri anda; menjual jiwa Anda untuk kampus, dan kedepan, seperti mahasiswa-mahasiswa ambisius lainnya. Anda akan menjualnya pada industri. Layaknya merpati, yang telah jinak, merelakan sayapnya untuk tidak mengepak lagi, demi sebuah kontes. Dan pada akhirnya, Anda bukan lagi merpati, namun hanya sekedar tontonan.

Kita tahu, bahwa menyalahkan dosen adalah hal yang tidak adil. Dosen sebagai instrumen, juga ditekan baik mereka sadari atau tidak, lewat sistem pendidikan yang ada. Mereka juga korban, dari sistem pendidikan kita. Banyak dari mereka memiliki niat baik, yang sangat mulia--yang seharusnya kita apresiasi. Maka mari kita lanjut ke aspek berikutnya.

 

Kurikulum Unisri

Sistem pendidikan adalah serangkaian variabel yang terhubung, menjadikannya sebuah proses. Segala aspek dari sistem pendidikan, segala variabelnya, tanpa pilihan harus kita ambil dan patuhi. Baik Mahasiswa, Dosen, dan Birokrasi Kampus, harus mematuhinya dengan baik. Salah satu variabel dari sistem adalah kurikulum pendidikan.

Seperti yang kita tahu, dan sebagai mahasiswa baru. Hal yang kampus tanamkan kepada saya dari awal, adalah Unisri mengadopsi kurikulum Kampus Merdeka. Awas, jangan terbuai dengan namanya! Kurikulum Kampus Merdeka adalah kurikulum yang berusaha mengintegrasikan dunia pendidikan dengan industri.

Mudahnya, segala kreativitas, imajinasi, emosional, dan hal-hal lain yang menjadikan kehidupan kita sebagai manusia indah, berusaha direnggut demi memenuhi ilusi akan kesuksesan di dunia industri. Ya, ilusi. Entah seberapa tekun kita dalam belajar, seberapa patuh kita pada kurikulum, seberapa banyak seminar yang kita ikuti, hanya sebagian kecil dari kita yang akan sukses di dunia industri. Sebagian besar, akan menjalani sisa hidupnya dalam rutinitas yang tidak hanya membosankan, namun juga mengekang dan menekan kita. Memeras kita sampai ke keringat terakhir untuk mengakumulasi profit dari Pak Bos.

Untuk menjadikan kita sapi perah, kapitalisme memerlukan kita untuk "terdidik". Namun, pendidikan tersebut tentunya bukan pendidikan yang membebaskan. Karena tentunya pendidikan yang membebaskan akan membuat kita menjadi pemberontak yang memberontak terhadap kapitalisme. Pendidikan yang kapitalisme inginkan, adalah pendidikan yang cukup untuk menjadikan kita tidak lebih dari alat untuk menggerakan roda-roda gigi dari mesin-mesin kapitalisme, tapi disaat yang bersamaan pendidikan yang tidak "kelewat batas". Pendidikan yang mampu membuat kita menyadari bahwa kita manusia. Bukan robot.

Seperti yang saya jelaskan dalam proses belajar mengajar tadi, dosen hanya menjelaskan teori-teori mainstream, dan mengobjektivikasi kita. Dan inilah yang kapitalisme inginkan.  Sedari awal kita sudah harus sadar bahwa kita adalah objek, bukan subjek yang merdeka. Bahwa kita tidak lebih dari sekedar alat, bukan manusia. Dan teori-teori tersebut, mengandaikan sebuah robot, adalah algoritma yang didesign sedemikian rupa untuk mempermudah kapitalisme dalam bekerja. Dalam kasus HI, untuk mengedepankan globalisasi, bukan menentangnya.

Semua keindahan yang ada dalam kehidupan, dicabut, untuk menjadikan kita robot. Semuanya, imajinasi, kreativitas, seksualitas, cinta dan perasaan, kepak sayap merpati kita dihambat, ditekan. Tulang-tulang sayap kita dicabut. Tanpa kita sadari.

 

Unisri Masih Menjadi Penjara, Merdekakan!

Dari hasil-hasil observasi singkat saya tadi, tentu tidak ada kesimpulan yang dapat memuaskan. Tentu karena proses penulisan ini tidak melalui metode penulisan ilmiah dan riset yang objektif, dan hanya berdasarkan pengalaman seorang mahasiswa baru. Tapi tulisan ini tidak lebih dari sekedar opini, sebuah renungan, untuk mahasiswa lain, dosen, dan karyawan-karyawan kampus lain.

Namun dari pengalaman saya, saya melihat Unisri sebagai penjara. Bukan taman bermain di mana saya bisa dengan bebas menanamkan gagasan-gagasan saya, dan melihatnya bermekaran di kemudian hari. Segala proses yang ada dalam Unisri, baik secara administratif maupun tidak, masih mengekang saya. Bagaimana saya harus mengerjakan puluhan paper dari setiap mata kuliah, yang terus bertambah setiap harinya untuk mendapatkan nilai sebagai persyaratan menjadi murid "teladan", yang menghindarkan saya dari membaca novel Telembuk yang saya tinggalkan tak terbaca di tumpukan buku saya, dan beberapa buku-buku teori karangan Alan Woods dan Tony Cliff. Saya ingin menjadi teoritikus HI dan politisi marxis, dan seorang sastrawan. Namun, proses-proses pendisiplinan ini alih-alih semakin mendekatkan saya pada cita-cita saya, malah semakin mengekang saya.

Semakin kecil ruang yang saya dapat untuk mengaktualisasi diri saya, dan saya yakin hal ini juga dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa lain.

Mungkin seseorang akan bertanya, "Ah, kamu cuman bisa mengkritik, mana solusinya?" Bukan tugas saya untuk memberikan solusi. Namun demikian, ada beberapa hal yang saya tawarkan lewat pengalaman saya. Metode penilaiaan yang sifatnya kuantitatif, bisan diganti dengan metode penilaiaan yang sifatnya kualitatif. Salah satu teman saya, yang juga merupakan dosen HI, mengganti tugas dengan diskusi mingguan berkelompok. Dia memantik setiap mahasiswanya dengan tekun dan penuh dedikasi, dan merangkum hasil-hasil diskusi minggu itu baik dengan catatan ataupun dengan screenshot. Lalu dia memberikan penilaiaan. Tentu saja langkah-langkah kecil ini tidak akan bertahan lama jika sistem pendidikan kita masih menghamba pada kapitalisme. Di sinilah kita memerlukan peranan revolusioner mahasiswa.

Untuk mahasiswa, mulailah dengan membaca karya-karya klasik teoritikus Marxis revolusioner. Anda bisa bilang saya naif dengan masih percaya pada "angan-angan" sosialisme, namun lihatlah diri anda, yang masih bisa percaya bahwa anda akan sukses di dunia industri. Atau melabeli diri anda sebagai kapitalis, dengan angkuh. Padahal anda tidak memiliki sepeserpun kapital, tidak ada yang lebih ironis dan naif dari penderita Stockholm Syndrome.

Mungkin hanya itu yang saya bisa sampaikan, dengan iringan musik L'Internasionale yang menemani saya mengakhiri tulisan ini.

 

Penulis: Sharif

Penyunting: Rynaldi Fajar

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Artikel ini merupakan hasil pemenang lomba opini yang diselenggarakan oleh LPM Apresiasi. Redaksi mendapatkan izin publikasi artikel untuk dimuat pada laman lpmapresiasi.com. Redaksi menyunting sedikit diksi sesuai dengan kaidah penyuntingan.

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done