oleh Senja (bukan nama sebenarnya)
Di kampus kami, kebenaran punya dua alamat IP: satu di server utama, satu lagi di server sebelah.
Server utama penuh dengan pengumuman resmi, kalimat motivasi, dan foto pejabat yang tersenyum di depan backdrop. Semuanya tertata, bersih, dan beraroma lembaga. Sementara server sebelah—tempat kami, para jurnalis mahasiswa—berantakan seperti folder tugas akhir yang belum di-zip. Tapi justru di sanalah kata-kata hidup tanpa izin.
Kami menulis bukan untuk viral, hanya untuk jujur. Sayangnya, kejujuran di kampus sering dianggap gangguan sistem.
Sore itu, kami baru saja menayangkan liputan tentang “Proyek Taman Digital”—proyek kampus yang katanya untuk “ruang kreatif mahasiswa”, tapi lebih banyak vendor dan baliho sponsor daripada mahasiswa sendiri. Dua jam setelah berita itu naik, notifikasi muncul beruntun:
> “Server sebelah gangguan.”
> “Akun redaksi tidak dapat diakses.”
> “Koordinasikan dengan admin pusat.”
Kata koordinasikan di kampus kami artinya “silakan datang untuk dimarahi dengan kalimat akademis.”
Kami tertawa, tapi tahu ini bukan lelucon. Malam itu, di sekret kecil kami yang pengap dan penuh poster, suasana mendadak serius. Kak Danu, pemred kami, berkata dengan nada tenang yang selalu membuat kami takut.
> “Sepertinya server utama sedang tidak suka dengan traffic kita.”
Laras, reporter magang yang baru bergabung dua minggu lalu, mengangkat tangan. “Kalau harmoni kampus itu artinya semua orang harus diam, buat apa ada ruang bicara, Kak?”
Tawa kecil pecah, tapi cepat menghilang. Kami tahu, di balik candaan itu, ada risiko nyata: dipanggil, ditekan, atau dihapus dari sistem.
Laras adalah tipe orang yang bisa membuat keresahan terasa indah. Ia menulis berita seperti menulis puisi, dengan kalimat-kalimat yang menusuk tapi beraroma bunga. Malam-malam lembur dengannya selalu terasa ringan, meski yang kami bahas adalah korupsi dana kegiatan atau proyek fiktif.
“Fi,” katanya suatu kali—ya, aku Rafi, redaktur yang lebih sering memeriksa typo daripada tidur—“menurutmu idealisme itu apa?”
Aku menatap layar laptop yang hang. “Kayak Wi-Fi. Kuat di awal, tapi suka hilang pas diblokir admin.”
Laras tertawa. “Berarti kamu butuh debug hati.”
Aku pura-pura sibuk, padahal dadaku baru saja direstart.
Beberapa hari kemudian, surat panggilan datang dari admin pusat. Surat itu halus, penuh formalitas, tapi nadanya dingin. Kami diminta “mengklarifikasi konten yang berpotensi mencemarkan nama baik institusi.”
Kak Danu datang ke pertemuan itu dengan kemeja kusut dan senyum tipis. Ia tidak menunduk. Ia hanya bilang, “Kami menulis berdasarkan data.”
Salah satu admin menjawab, “Masalahnya bukan datanya, tapi dampaknya.”
Aku hampir tertawa. Rupanya di kampus, kebenaran pun harus menunggu izin dampak.
Sejak hari itu, kami semakin sering diingatkan untuk “menyesuaikan nilai jurnalistik dengan nilai kampus.” Artinya: tidak boleh menulis tanpa izin, tidak boleh mengkritik tanpa surat tugas, dan tidak boleh bertanya terlalu banyak.
Aku sempat bertanya, “Kalau begitu, masih boleh berpikir sendiri nggak?”
Admin menjawab ramah, “Boleh, asal tidak dipublikasikan.”
Kami mulai kehilangan ruang di server utama. Tapi Laras tidak menyerah. Ia membawa ide gila: membuat buletin cetak, disebar diam-diam lewat fotokopi fakultas. Namanya Server Pinggiran.
“Kenapa namanya itu?” tanyaku.
“Karena di pinggiran, sinyal paling jujur,” katanya.
Kami menyalin tulisan secara manual, melipatnya jadi selebaran kecil, lalu menaruhnya di bawah meja kantin, di ruang tunggu dosen, di tumpukan tugas mahasiswa. Ironisnya, edisi itulah yang paling banyak dibaca. Orang-orang membicarakannya diam-diam di lorong, di grup, di bis kampus.
Tapi tentu saja, admin pusat akhirnya tahu. Surat peringatan baru datang. Lebih tegas. Kak Danu diminta mundur dari kepengurusan lembaga mahasiswa.
Laras menangis malam itu, untuk pertama kalinya. “Mereka pikir kalau server sebelah dimatikan, kebenaran ikut padam.”
Aku hanya bisa bilang, “Setiap sistem besar pasti punya bug. Dan bug paling berbahaya itu bukan virus, tapi keberanian.”
Seminggu kemudian, kami mempublikasikan satu tulisan terakhir: Server Sebelah Tidak Pernah Tidur.
Tulisan itu tidak menyebut nama siapa pun. Hanya cerita tentang kampus yang takut pada pantulannya sendiri.
Tentu saja, keesokan harinya situs kami ditutup permanen.
Beberapa waktu berlalu. Aku lulus. Kak Danu hilang kabar. Laras diterima magang di media nasional.
Suatu sore, aku bertemu dengannya di kafe kecil dekat gerbang kampus. Ia membawa tablet, wajahnya cerah seperti dulu.
“Eh, Fi,” katanya sambil tersenyum, “tulisan kita muncul lagi di blog anonim. Ada yang reupload semua arsip Pers Nirwana.”
Aku tersenyum. “Server sebelah masih hidup, ternyata.”
“Kebenaran itu kayak listrik ilegal, Fi. Mau diputus berapa kali pun, selalu ada yang nyambungin lagi.”
Kami tertawa. Di luar, spanduk baru bertuliskan: “Kampus Inovatif dan Transparan Menuju Era Digital.”
Kalimat yang ironis sekali, karena bahkan transparansi di sana harus melalui sensor resolusi tinggi.
Aku membuka laptop, menulis satu kalimat di dokumen kosong:
> “Server boleh berbeda, tapi kebenaran tetap satu protokol.”
Laras melihat layar dan berkata pelan, “Kamu masih bug paling menyebalkan, Fi.”
Aku menjawab, “Dan kamu tetap patch paling manis yang pernah datang di sistemku.”
Malam turun. Kafe sepi. Tapi aku tahu satu hal:
Server sebelah tidak akan pernah benar-benar mati. Karena selama masih ada mahasiswa yang menolak diam, selalu akan ada kata yang lolos dari firewall, dan cinta yang tumbuh di tengah sensor.
Senja (bukan nama sebenarnya)
Lembaga Pers Mahasiswa Apresiasi
> Karena menulis adalah cara paling sederhana untuk tetap hidup di dunia yang sibuk mematikan.