Oleh: Koko Novianto Pribadi
Sore itu Balai Kota Surakarta sebenarnya tidak sedang
istimewa. Rumput hijau terbentang rapi, orang-orang duduk tersebar—ada yang
berbincang, ada yang tertawa sebentar lalu diam, ada pula yang hanya menatap
langit yang perlahan berubah warna. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu,
memantulkan cahaya kuning yang lembut, seperti sore yang enggan benar-benar
selesai. Aku datang tanpa rencana, tanpa maksud apa pun selain duduk sebentar,
lalu pulang.
Lalu aku melihatmu.
Kamu duduk di rumput, agak ke tengah, santai, sesekali
memeluk lutut, sesekali tersenyum kecil seolah sedang berbicara dengan
pikiranmu sendiri. Tidak tampak menunggu siapa pun, tidak juga tergesa. Kamu terlihat nyaman berada di tengah keramaian
tanpa perlu menjadi pusatnya. Aku memilih duduk agak jauh, tapi cukup dekat
untuk melihat—cukup jauh untuk tetap aman.
Entah dari mana asalnya, sebuah lagu pelan terdengar—About
You dari The 1975. Suaranya samar, mungkin dari ponsel seseorang, mungkin
hanya kebetulan yang terasa terlalu tepat. Nadanya tidak menuntut perhatian,
hanya berputar pelan di udara senja, seperti sesuatu yang sudah lama kukenal
tapi tak pernah benar-benar kusebut. Lagu itu mengisi ruang di antara kita berdua tanpa berusaha mendekatkan apa pun.
Kurang lebih empat tahun lamanya membuatku akrab dengan
jarak ini. Mengagumi tanpa mendekat. Menyimpan tanpa menuntut. Dari jarak itu
aku mengenal hal-hal kecil tentangmu: caramu duduk, caramu diam, caramu
terlihat tenang meski dunia di sekeliling bergerak terus. Semua itu sederhana,
tapi selalu berhasil membuat sore terasa lebih pelan dari biasanya.
Melihatmu juga ada di sana, ingatanku berjalan mundur ke
masa SMA. Saat itu kamu masih adik kelas, satu tahun di bawahku. Suatu hari
kamu tiba-tiba menghampiriku, membawa buku fisika yang terlipat di dada.
Langkahmu ragu, tapi suaramu serius ketika meminta tolong diajari fisika nanti
malam. Aku mengangguk seolah itu permintaan biasa, padahal ada sesuatu yang
berdesir singkat di dadaku—sebuah hal kecil yang tak sempat kupahami. Meskipun
sebenarnya aku tahu: aku tidak sepintar itu, hanya sedikit lebih dulu belajar.
Malam itu kita berdua pergi ke sebuah tempat di belakang
UNS. Tidak terlalu ramai, tidak juga benar-benar sepi. Lampu jalan redup, suara
kendaraan lewat sesekali, dan udara malam membawa bau aspal yang masih hangat.
Kita berdua duduk berhadapan di meja kecil, buku-buku terbuka, rumus-rumus
memenuhi kertas. Aku mulai menjelaskan dengan cara paling sederhana yang
kupunya—pelan, sering berhenti, kadang mengulang dari awal. Jika satu cara
tidak bekerja, aku mencoba cara lain, bahkan dengan contoh yang terasa terlalu
remeh. Aku tidak sedang mengajar dengan percaya diri seperti seorang yang paham
segalanya. Aku hanya berusaha menjelaskan sebisanya, sambil sesekali bertanya,
“Sampai sini kebayang nggak?” atau, “Kalau aku balik lagi ke awal, nggak
apa-apa?” Kamu mengangguk, mengernyit, lalu mencoba mengikuti. Ada saat-saat
aku sendiri ragu dengan penjelasanku, lalu tertawa kecil sebelum meluruskan
lagi. Walaupun begitu, kamu mendengarkan sungguh-sungguh, dengan mencondongkan
badan dan matamu mengikuti setiap penjelasan seakan tak ingin tertinggal.
Di sela-sela belajar, ada jeda-jeda sunyi yang tidak
canggung. Hanya bunyi halaman yang dibalik, pena yang berhenti sebentar, dan
angin malam yang lewat begitu
saja. Sesekali kamu tersenyum kecil saat satu soal akhirnya bisa kamu
pahami, dan entah kenapa senyum itu tinggal sedikit lebih lama di kepalaku.
Saat kamu berkata, “Oh, aku ngerti sekarang,” aku tidak memikirkan apa pun
selain satu hal sederhana: aku senang bisa ada di sana malam itu, bersamamu,
tanpa perlu alasan lain.
Waktu tidak berhenti di malam itu. Setelah
pertemuan-pertemuan kecil yang terasa biasa, sekolah perlahan selesai dan
hari-hari bergerak maju tanpa menoleh. Perasaan itu tidak pernah benar-benar
muncul saat kita berdua masih saling dekat—ia justru tumbuh pelan setelah
segalanya berlalu, hadir diam-diam di antara ingatan tentang lampu redup, meja
kecil, dan senyummu yang pernah singgah sebentar. Baru terasa kini, ketika
jarak bukan lagi pilihan, melainkan keadaan yang paling masuk akal.
Dan kini, di lapangan Balai Kota Surakarta itu, aku kembali
berada di jarak yang sama. Tidak sebagai kakak tingkat. Tidak sebagai seseorang
yang pernah duduk semeja di malam sunyi. Hanya seseorang yang masih mengingat.
Orang-orang di sekeliling datang dan pergi. Tawa muncul lalu
menghilang. Langkah-langkah berlalu tanpa meninggalkan apa-apa. Kamu tetap di
sana, seperti bagian dari sore itu sendiri. Sesekali aku berpikir untuk
menyapa, tapi niat itu selalu berhenti sebelum menjadi gerak. Aku tidak ingin
mengubah apa pun. Ada rasa yang kupelihara dengan cara paling aman: cukup
dengan diam.
Langit semakin gelap, udara mulai dingin. Senja pelan-pelan
habis. Aku tahu waktuku selesai. Kamu masih duduk di tempat yang sama, dan aku
tetap di jarakku. Tidak ada sapaan. Tidak ada perpisahan. Hanya satu sore lagi
yang kusimpan diam-diam dalam ingatan.
Aku berdiri dan melangkah pergi. Lampu-lampu menyala
sempurna di belakangku. Lapangan itu kembali seperti biasa.
Sampai langkahku menjauh, aku masih membawa satu pertanyaan
yang tidak pernah benar-benar ingin kudengar jawabannya.
Entah sampai kapan jarak ini akan terasa cukup,
atau justru inilah satu-satunya cara agar perasaan itu tetap
hidup,
tanpa pernah harus dimiliki.
Catatan Penulis:
Kisah ini ditulis sebagai karya fiksi. Namun, sebagaimana
fiksi kerap tumbuh dari perasaan yang pernah singgah, cerita di dalamnya dapat
dibaca sebagai pantulan dari sesuatu yang mungkin pernah dialami atau mungkin
hanya dibayangkan. Batas antara imajinasi dan pengalaman sengaja dibiarkan
samar, dan kebenarannya sepenuhnya diserahkan pada tafsir pembaca.
Penulis:
Koko Novianto Pribadi
Penyunting:
Ghulamy Tathmainul Qalby