Yang
Tumbuh di Antara Dua Surga
Ada benang tak terlihat yang
menenun kedekatan di antara perbedaan.
Malam itu, kami duduk di bangku
minimarket yang sama persis seperti minggu lalu. Ia, dengan senyum yang selalu
bikin udara terasa ringan, nyengir sambil ngejek karena aku salah pilih snack
lagi. Aku cuma bisa menatapnya, setengah kesal, setengah luluh, sambil berpikir
betapa gampangnya aku nyaman di dekatnya.
Kami tertawa sambil ngobrol
tentang rencana-rencana absurd, seperti jika suatu hari kami bisa jalan-jalan
ke tempat impian. Padahal semuanya biasa saja, tapi entah kenapa rasanya luar
biasa hangat. Seperti dunia berhenti sebentar, memberi ruang bagi kami untuk
tumbuh di antara tawa dan perhatian kecil yang tak pernah kami ukur.
Namun, di balik semua itu selalu
ada sunyi lembut yang mengingatkan, kami berdoa untuk hal yang sama tapi jalan
doa kami berbeda. Meskipun kami tersenyum, aku tetap sadar, ada tembok yang tak
terlihat tapi nyata, menjaga batas antara dua hati yang sama-sama ingin dekat.
Aku tiba-tiba menepuk bahunya
sambil nyengir, “Gimana kalo kamu ikut aku asyhadu deh, asyhadu ala ila…”
Dia ngakak sambil nyaut, “Eh,
dengan nama Bapa…”
Lalu kami tertawa keras, sambil
merasa hangat. Candaan receh ini sederhana, tapi rasanya penuh kedekatan, kami
duduk di sini bercanda soal hal-hal yang sebenarnya berat, tapi tetap bikin
dunia terasa ringan.
Kami saling menatap dengan
senyum tipis yang tahu, tanpa banyak kata, bahwa momen ini istimewa. Tawa kami
yang receh tadi, disertai candaan kecil, terasa seperti benang hangat yang
menenun kedekatan di antara perbedaan.
Mungkin, yang tumbuh di antara
dua surga tak harus berbunga. Cukup hidup agar kita tahu, cinta pernah
menumbuhkan sesuatu yang suci, meski tak berakar di tanah yang sama.
Penulis: Shayla
Penyunting: Lathifah An Najla