(Sumber Foto: Oliviana Angelicha Effendy)
Sebagai seorang perempuan dan pemimpin, saya kerap mendapati bahwa tantangan terbesar bukan terletak pada keputusan yang harus diambil, melainkan pada cara kepemimpinan saya dinilai. Bukan berdasarkan kualitas gagasan atau dampak kerja, tetapi pada asumsi lama: perempuan dianggap terlalu emosional, terlalu vokal, dan karenanya perlu dikendalikan.
Saya mengalaminya secara langsung.
Ketika saya memfokuskan perhatian pada suatu isu—mengawal, mengulang,
dan memastikan ia tidak dilupakan—respons yang datang justru pembatasan:
“Kamu jangan terlalu vokal
tentang urusan ini dan itu.”
Lalu ditutup dengan kalimat yang mereduksi segalanya:
"Kamu itu perempuan,
tidak usah berlebihan.”
Kalimat semacam ini bukan kritik profesional. Ia adalah penilaian moral yang dibungkus sebagai nasihat. Fokus perempuan dianggap obsesif. Keteguhan perempuan dicurigai sebagai emosi. Di sinilah kepemimpinan perempuan sering kali diuji bukan oleh hasil, melainkan oleh stigma.
Lalu, untuk apa R.A. Kartini berjuang?
Kartini tidak menulis agar perempuan sekadar bisa membaca dan menulis. Ia menulis agar perempuan memiliki keberanian berpikir berbeda dan menyuarakannya, meski dianggap tidak patuh, tidak pantas, bahkan tidak wajar. Jika hari ini perempuan masih diminta menurunkan suara dan ambisi agar diterima, maka perjuangan itu jelas belum selesai.
Stigma terhadap perempuan tidak berhenti pada kata “emosional”. Ketika perempuan memilih jalan yang berbeda, ia kerap diberi label lain: perempuan liar, perempuan gila.
Padahal perempuan liar bukan berarti perempuan nakal.
Dan perempuan gila bukan berarti ia kehilangan akal sehat.
Label-label itu sering dilekatkan pada perempuan yang menolak tunduk pada jalur yang sudah ditentukan. Perempuan yang berani keluar dari pola, mengambil risiko, dan mengguncang kenyamanan. Mereka disebut liar karena tidak jinak. Disebut gila karena tidak mudah dikendalikan.
Padahal, sering kali merekalah yang mampu melihat kemungkinan lain, yang berani mengambil jalan berbeda untuk mengubah sesuatu. Sejarah perubahan tidak lahir dari kepatuhan mutlak, melainkan dari keberanian untuk menyimpang dari kebiasaan yang tidak adil.
Kita melihat bagaimana stigma ini bekerja nyata pada kasus Laras, yang dipenjara karena ikut bersuara dalam aksi demonstrasi atas meninggalnya almarhum Affan Kurniawan. Laras bukan kriminal. Ia adalah warga negara yang menggunakan haknya untuk bersuara. Namun, keberanian itu—terlebih datang dari tubuh perempuan—dianggap cukup berbahaya untuk dibungkam.
Kasus Laras memperlihatkan bahwa pembungkaman terhadap perempuan tidak selalu dimulai dari aparat. Ia dimulai dari cara masyarakat memandang perempuan yang bersuara: terlalu berani, terlalu jauh, terlalu melawan. Ketika stigma ini dinormalisasi, hukuman menjadi tampak wajar.
Padahal memvokalkan sesuatu bukan soal mencari perhatian. Bagi perempuan—terutama perempuan pemimpin—itu adalah bentuk tanggung jawab moral. Diam sering kali justru berarti ikut menjaga ketidakadilan tetap rapi.
Perempuan yang bersuara kerap disebut mengganggu.
Perempuan yang konsisten disebut keras kepala.
Perempuan yang memilih jalan berbeda disebut liar atau gila.
Namun, justru dari merekalah perubahan sering dimulai.
Kartini telah menunjukkan bahwa berpikir berbeda adalah keberanian.
Laras mengingatkan bahwa bersuara masih berisiko.
Dan hari ini, perempuan masih sering dihadapkan pada pilihan yang sunyi
namun berat: menurunkan suara demi rasa aman, atau tetap bersuara meski
berisiko dicap berlebihan. Pilihan ini tidak pernah sederhana, sebab di
baliknya ada konsekuensi sosial, emosional, bahkan struktural yang harus
ditanggung. Sebagai perempuan dan pemimpin, saya belajar bahwa keberanian tidak
selalu hadir dalam bentuk perlawanan yang keras. Terkadang ia hadir sebagai
keteguhan untuk tidak mengecilkan diri. Untuk tetap berdiri, tetap fokus, dan
tetap bersuara ketika ketidakadilan meminta kehadiran nurani. Bukan karena
ingin melawan siapa pun, melainkan karena memilih setia pada nilai yang
diyakini.
Suara perempuan bukan ancaman. Ia adalah penanda kehidupan yang terus
bergerak. Yang kerap merasa terancam justru sistem yang terlalu lama nyaman
dengan keheningan, dengan kepatuhan yang tak pernah dipertanyakan.
Penulis: Oliviana Angelicha Effendy
Pentunting: Lathifah An Najla