Di Antara Nama yang Tak Pernah Pergi
sumber: pinterest
Enam
tahun yang lalu, dunia mereka masih terbatas oleh
halaman sekolah dan jadwal pelajaran. Seragam SMP menggantung longgar di tubuh dan
perasaan belum tahu harus dijuluki apa. Di tahun itu—2019—mereka berpisah
dengan cara paling rapi: tanpa pertengkaran, tanpa janji untuk saling menunggu.
Laki-laki itu memilih
pergi ke luar Jawa demi pendidikan.
Perempuan itu
memilih tersenyum, seolah kepergian tidak akan menetap lama di dadanya.
Perpisahan itu
baik-baik saja.
Terlalu baik untuk
dua hati yang belum paham caranya kehilangan.
Waktu berjalan,
seperti yang selalu ia lakukan.
Dan perempuan itu tumbuh.
Ia belajar berdiri
tanpa sandaran, berjalan tanpa genggaman. Ia jatuh dan bangkit dalam sunyi,
menguatkan diri sendiri di malam-malam panjang. Namun, bahkan dalam sepi, ia
tidak pernah menyebut laki-laki itu sebagai luka. Baginya, ia adalah laki-laki
yang baik—terlalu baik untuk disimpan sebagai pahit, terlalu lembut untuk
dijadikan sesal.
Awal kuliah,
takdir mempertemukan mereka kembali di halaman SMP lama. Bangunan itu masih
sama, hanya mereka yang berubah. Laki-laki itu menatap perempuan lama, seolah
sedang membaca perjalanan yang tak pernah ia dampingi.
“Terima kasih,”
katanya pelan.
“Kamu sudah
bertahan sejauh ini. Kamu bertumbuh, berkembang.. dan kamu bersinar.”
Kalimat itu jatuh
seperti cahaya kecil di dada perempuan—hangat, tapi datang setelah gelapnya
selesai.
“Aku bangga
melihat kamu sekarang,” lanjutnya.
Lalu dengan suara
yang lebih lirih, ia berkata,
“Terima kasih
juga.. karena tanpa kamu sadar, kamu pernah jadi alasan aku untuk selalu berdoa
hal-hal baik. Kamu bikin aku percaya bahwa sesuatu yang baik itu benar-benar
ada.”
Ada sesuatu yang
bergerak pelan dari dada perempuan itu menuju matanya, lalu berhenti di sana.
Tidak tumpah, tapi cukup untuk membuat dunia sejenak buram. Ia menarik napas
lebih dalam dari yang ia butuhkan, lalu tersenyum—senyum seseorang yang sudah
belajar menerima tanpa berharap.
“Maaf… aku nggak bisa menemani kamu tumbuh,” kata laki-laki itu menunduk.
Perempuan itu mengangguk pelan. Dalam diamnya, ia tahu; laki-laki itu tidak pernah salah. Ia hanya tidak ditakdirkan tinggal.
Sejak hari itu, mereka kembali saling menyapa. Pesan singkat, obrolan ringan, saling menguatkan tanpa pernah menyebut sesuatu yang masih hidup di sela-sela diam. Perempuan itu tahu, laki-laki itu datang bukan untuk menetap, melainkan untuk mengagumi apa yang telah tumbuh tanpanya.
Ada satu hal yang
tak pernah ia katakan pada siapa pun; nama laki-laki itu selalu hidup di
karyanya. Terselip di judul-judul samar, berdiam di kalimat-kalimat yang tak
pernah selesai. Bukan sebagai luka, bukan pula sebagai tokoh utama—melainkan
sebagai metafora tentang sesuatu yang pernah hangat, namun tidak ditakdirkan
menetap.
Suatu hari, di antara pertemuan yang biasa saja, seorang teman lama menyebut namanya. Dengan nada ringan, seolah sedang membicarakan hal kecil.
“Kamu tahu
nggak,” katanya,
“dia sebentar
lagi tunangan.”
Kalimat itu tidak dimaksudkan untuk melukai, namun tetap menemukan jalannya ke dada perempuan itu. Waktu terasa melambat. Udara menjadi berat. Ada sesuatu yang kembali bergerak menuju matanya, lalu berhenti di sana—tak jatuh, tapi cukup untuk mengaburkan pandangan.
Ia tersenyum
seperlunya. Mengangguk kecil. Seolah kabar itu hanyalah cerita tentang orang
lain. Padahal, di dalam dirinya, ada sesuatu yang sedang belajar pamit tanpa
suara.
Malam itu, perempuan itu membuka kembali tulisannya. Nama itu masih ada. Masih tinggal, masih lembut. Ia tidak menghapusnya.
Karena ada orang yang tidak datang untuk dimiliki, melainkan untuk mengajarkan bahwa sesuatu yang baik pernah ada.
Dan di antara
semua yang pernah datang dan pergi, laki-laki itu akan selalu menjadi satu hal
yang sama:
nama yang tak
pernah ia sebut dengan sedih,
namun selalu ia
simpan bersama doa-doa yang baik.
Penulis: Oliviana
Angelicha Effendy
Penyunting: Adista
Putri Revalina