Penulis: Muhammad Lutfi
Pada pancasila terdapat lima butir sila-sila yang
semuanya itu adalah nilai-nilai kehidupan. Dulu, Majapahit juga punya kitab
tata kebangsaan yang mengatur kehidupan bangsa dan negaranya. Dengan adanya
aturan yang mengikat moral setiap manusia, manusia menjadi mengerti akan adanya
kehidupan dan nilai darma. Darma berarti kebijaksaan. Orang yang
bijaksana tidak akan menyinggung sana-sini. Ia fokus pada dirinya sendiri akan
kekurangan serta kelemahannya. Sudah pantaskah dia menjadi seorang manusia?
Manusia harus memahami kemanusiaannya, terlebih dahulu
sebelum benar-benar menjadi manusia. “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia
mengenal Tuhannya.” Ucapan itu seakan mengamini bahwa kita, manusia, rindu
rasa dan rindu rupa. Apakah kebahagiaan hakiki itu kebahagiaan keduniaan yang mudah
berganti, atau kebahagiaan akhirat yang abadi?. Karena itu, kita harus pandai menakar amal.
Immanuel Kant mengatakan, “Langit di atasku dan hukum moral di
dalam diriku.” Ucapan itu menuntut manusia untuk menjunjung tinggi moral
sejak lahir ke dunia. Seperti kehidupan para saleh dan para agamawan yang
selalu belajar serta mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan kebangsaan.
Perjuangannya tidak sia-sia, tergantung pada tujuan hidup yang ia kehendaki.
Jika kita menginginkan kehidupan dunia ini, maka
ambillah. Sebab dunia ini memiliki batasan dan umurnya sendiri. Seperti kisah
artis ternama Michael Jackson, sang Raja Pop Dunia. Gerakan menari dan lagunya sulit
dilupakan. Ia terkenal dan dipuji banyak orang, serta dikenal karena
kepeduliannya terhadap anak-anak.
Socrates mengatakan, “Hidup yang tidak direfleksikan adalah
hidup yang tidak layak dijalani.” Begitulah hidup. Kita harus mampu
merefleksikan diri dan moral kita ke dalam benak akal dan tindakan. Manusia
adalah mahluk berakal; tidak pantas menyerah pada kekalahan. Hidup harus diarahkan
untuk mencapai kemenangan, dan salah satu syaratnya adalah memiliki daya hidup
sebagai manusia.
Hidup yang direfleksikan adalah hidup yang bercermin akan
pada moral Pancasila; mencapai kemakmuran tanpa menjatuhkan orang lain. Sayangnya,
di negeri ini sering terjadi “manusia
memakan manusia”—dalam arti simbolis. Banyak yang tega menjagal sesamanya
demi kemenangan pribadi. Hidup dijadikan taruhan dalam politik, padahal politik
sering kali hanya mengenal dua hal; kawan atau lawan.
Seperti yang tertulis dalam sajak karya Rendra, “politik
hanya mengenal kawan atau lawan”. Bagaimana jika hidup yang indah ini
dipolitisasi? Apakah seseorang akan dituntut, atau bahkan dipasung, supaya
tidak ikut berpolitik atau mempolitisasi orang lain? Hidup seperti itu sulit
dijalani, karena menyimpan niat jahat terhadap sesama bukanlah hal mudah untuk
ditanggung.
Aristoteles mengatakan, “Kebaikan terbesar adalah kebaikan yang
berguna bagi orang lain.” Jadi, ketika ada kesusahan sosial, kita wajib
membantu. Itu bukan sekadar hak, melainkan kewajiban moral. Jika satu tangan
sakit, tangan yang lain akan mengobatinya. Begitulah daya tahan hidup.
Contohnya seperti kasus Palestina yang melawan Israel.
Palestina digempur habis oleh Israel. Banyak darah tertumpah dari warga sipil;
anak-anak menjadi yatim, ibu-ibu menjanda. Air bersih sulit didapat, makanan
habis tanpa sisa. Walaupun mereka bukan sebangsa dengan kita, mereka tetap
manusia. Manusia membutuhkan manusia lain, karena manusia adalah makhluk
sosial.
Manusia perlu dimanusiakan. Ia butuh belaian kasih ketika
menderita dan kelaparan. Demi bertahan hidup, ketika makanan dan minuman sudah
tiada, manusia akan melakukan apa saja untuk sekadar makan. Apakah kita tega
melihat keadaan demikian? Tentu tidak.
Immanuel Kant juga mengatakan, “Bukan semata takdir Tuhan yang
membuat kita bahagia, melainkan diri kita sendiri yang menentukan kebahagiaan itu.” Maka,
seperti yang dikatakan Kant, kita harus berusaha membahagiakan diri sendiri.
Hentikan perang dan penindasan, karena manusia bukan kambing yang siap dtembak
dan dimatikan kapan saja. Itu jelas tidak manusiawi.
Dalam butir sila kedua, kita mengenal bahwa kemanusiaan
harus adil dan beradab. Manusia harus adil dan tidak boleh menjarah hak orang
lain. Ia harus beradab kepadda sesama dalam menegakkan darma. Karena sejatinya,
manusia adalah pelaksana darma. Ia hanya dapat memilih jalannya sendiri, dan
setelah itu, manusialah yang menentukan hasilnya sendiri.
Pada butir sila kedua, kita mengenal bahwa kemanusiaan
harus adil dan beradab. Manusia harus adil dan tidak bolek menjarah yang bukan
haknya. Dia harus beradab kepada sesama dalam menegakkan darma. Karena
sebenarnya manusia adalah pelaksana darma. Manusia hanya bisa memilih jalannya
sendiri. Selepas itu manusia yang menentukan hasilnya sendiri pula.
Pati,
19 Oktober 2025
Biodata Penulis
Muhammad Lutfi, lahir di Pati, 15 Oktober 1997. Alumni UNS dan UNNES.
Bergiat di GMDI. Buku: ASUH, ELEGI, BERLAYAR, LORONG, BALADA UNTUNG SURAPATI,
WIRACARITA TEJAMANTRI, BUNGA DALAM AIR, PELAUT, ASUH, BISMA PAHLAWAN HIDUP
KEMBALI, TAKA, AKU DARI EAST CITY.
Penyunting: Adista Putri Revalina