Mereka bilang orangutan itu binatang liar. Tapi siapa sebenarnya yang liar — mereka, atau kita yang memperkosa hutan tempat mereka lahir?
Tragedi yang Terlupakan
Beberapa dekade lalu, dunia sempat diguncang kabar memilukan: seekor orangutan betina dijadikan budak seks oleh manusia di sebuah tambang di Kalimantan. Diborgol, dipaksa melayani, dan ditertawakan. Dunia geger, tapi hanya sebentar. Setelah itu, semuanya kembali sunyi — seolah kejadian itu hanyalah anomali, bukan refleksi kelicikan sistem yang lebih besar.
Kini, bentuk perbudakan itu berubah. Setelah rantai besi dilepaskan, manusia justru membunuh perlahan para orangutan lewat tangan-tangan ekskavator dan kanal-kanal raksasa di hutan rawa yang dulu menjadi rumah mereka.
Rawa Singkil, Surga yang Sekarat
Rawa Singkil, Aceh — salah satu hutan rawa gambut paling berharga di dunia — kini berubah jadi neraka sunyi bagi orangutan Sumatera. Dulu, wilayah ini dikenal sebagai paru-paru kehidupan: lembab, hijau, kaya oksigen, dan penuh suara satwa. Tapi manusia, dengan tamak dan tenang, menyedot isinya seperti pasien yang kehabisan napas.
Menurut Rainforest Action Network (RAN), Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), dan Global Forest Watch, lebih dari 4.000 hektar hutan Rawa Singkil telah hilang dalam beberapa tahun terakhir. Itu bukan sekadar angka satelit. Itu berarti ribuan pohon tempat orangutan membangun sarang musnah; ribuan anak kehilangan tempat berpegangan pada pelukan ibunya.
Operasi Sistematis
Data menunjukkan, sejak 2019, pembukaan hutan dilakukan secara sistematis melalui penggalian kanal-kanal sepanjang 253 kilometer. Tujuannya: mengeringkan lahan gambut agar bisa dijadikan kebun sawit atau lahan industri. Tapi bagi bumi, kanal itu adalah luka sayatan besar — memotong nadi kehidupan yang dulu menahan banjir dan menyimpan karbon selama ribuan tahun.
Ketika rawa dikeringkan, tanah gambut kehilangan kelembapan alami. Ia berubah menjadi bubuk kering yang mudah terbakar. Satu percikan api — entah dari korek, puntung rokok, atau pembakaran “terkendali” — cukup untuk menyalakan neraka yang tak bisa dipadamkan. Asapnya menyelimuti langit, menyesakkan paru-paru anak-anak, dan menghapus batas antara manusia dan kerakusan.
Bukan Kebetulan, Tapi Kejahatan Terencana
“Pola pembukaan ini bukan kebetulan, tapi operasi sistematis,” kata laporan gabungan HAkA dan RAN (2021). Korporasi besar diduga berperan dalam konversi hutan menjadi lahan perkebunan, dengan dukungan kebijakan yang longgar dan pengawasan lemah.
Orangutan Sumatera — spesies yang hanya tersisa sekitar 14.000 individu di alam liar (data IUCN Red List, 2024) — kini kehilangan satu-satunya benteng terakhir mereka. Setiap hektar hutan yang hilang berarti satu langkah lebih dekat menuju kepunahan total
Cermin untuk Kita Semua
Kita sering menyebut orangutan sebagai “kerabat paling mirip manusia.” Tapi barangkali, mereka justru lebih manusiawi dari kita — mereka tak membakar rumah sendiri.
Jika hutan Rawa Singkil benar-benar musnah, yang terbakar bukan hanya pepohonan, melainkan juga nurani kita. Karena setiap batang pohon yang tumbang adalah tanda bahwa kita gagal menjadi penjaga bumi, dan memilih menjadi algojo yang tenang di balik layar pembangunan.
Penulis: Oliviana Angelicha Effendy
