Oleh : Senja
I
Pada kala remang yang menggantung seperti kain kafan angin,
bumi tua membuka mata ketiga:
memandang riuh gelap yang beringsut dari balik jurang usia.
Awan pucat menyiram darah senja ke segala penjuru,
lalu menyusut seperti ruh yang enggan pulang.
Dan dari jauh, dengung langkah-langkah rahasia
menyelip di antara akar-akar waktu—
bagai pertanda bahwa malam akan menelan
apa pun yang berani menyebut dirinya hidup.
II
Di halaman sunyi, tempat sejarah dilipat-lipat
seperti nisan yang salah mengeja namanya,
berkeliaran suara mengandung luka yang tak boleh disebut.
Ada tangan-tangan gelap menabur bisu
ke mulut para pejalan yang melintas,
mengingatkan bahwa kata-kata adalah nyala yang harus dipadamkan
sebelum fajar sempat melihat wajahnya.
Segala pernyataan menjadi burung berkaki rantai,
terbang rendah, patah, lalu tunduk
pada angin yang diperintahkan untuk mematahkan sayapnya.
III
Namun dari jantung perut kota,
ada desir yang tak mau mati:
desir yang membawa dendam, asa, dan desakan darah.
Orang-orang berjalan membungkuk,
tapi bayangan mereka berdiri tegak,
lebih tegak dari segala tiang yang memancangkan kuasa.
Mereka berjalan seperti rahasia yang membusuk terlalu lama,
sehingga bau perlawanan tak lagi mampu disembunyikan.
IV
Ketika murka merayap—
bagai “sulur gelap Jaladara” yang disebut dalam dongeng maputih,
merayap di bawah tanah, mencari denyut pemberani
untuk ditelan dan kemudian dibangkitkan sebagai badai;
ketika nyawa-nyawa yang dibungkam bergetar—
seperti “serbuk ruh Iram-layang”, debu kuno yang konon bernyanyi
hanya kepada mereka yang berdiri di ambang kehancuran;
dan ketika tiran turun dari singgasananya—
laksana “lelap Aru-lidra”, tidur iblis yang membuka mata
hanya untuk memburu suara manusia,
membuat udara membeku di tenggorokan siapa pun
yang mencoba menyebut kata “merdeka”.
V
Di setiap persimpangan, bayang-bayang dilempar seperti tombak,
menusuk dada angin agar tak membawa kabar.
Jalan-jalan dipagari bisik gelap,
dan bulan dilumuri jelaga agar tak melihat
gerak rahasia mereka yang siap bangkit.
Tapi gelap, ah gelap tidak selalu setia:
kadang ia membelah dirinya,
membiarkan secercah cahaya mengendap di bawah kuku para tertindas—
sekelumit sinar yang cukup
untuk mengingatkan bahwa manusia masih mungkin marah.
VI
Maka malam telah menjadi kitab yang tak ingin dibaca,
dipenuhi halaman yang menggeram dan merintih.
Suar-suar api kecil menyalakan diri
dalam genggaman para pengemban nasib,
dan tanah pun bergetar seperti gong purba
yang memanggil arwah nenek moyang perang.
Tak ada satu pun tirai pembungkaman
yang benar-benar kuat menahan badai tekad;
karena di balik setiap bibir yang terjahit,
ada lagu kuno yang menunggu pecah:
lagu yang membawa amarah,
dan amarah yang akhirnya membawa fajar.
