Oleh : Oliviana Angelicha Effendy
Aku bertemu dengannya benar-benar tanpa sengaja. Waktu itu aku sedang menunggu pesanan di sebuah kafe kecil yang ramai, dan kursi satu-satunya yang kosong kebetulan berada di sebelahnya. Saat kulirik sekilas, hal pertama yang terpikir hanyalah: wah, tengil amat senyumnya.
Dia duduk santai, memasang ekspresi seolah dunia ini tidak pernah benar-benar serius untuknya. Sesekali dia melempar candaan ke barista yang sudah jelas-jelas kelelahan—humorisnya lumayan, tapi caranya itu… yah, tengil, tapi lucu juga.
Ketika aku duduk, dia menoleh sedikit.
“Sendirian?” tanyanya, nada suaranya ringan, hampir seperti menggoda.
“Kelihatan, ya?” jawabku, mencoba tidak terpancing.
Dia terkekeh. “Nggak apa-apa. Sendiri itu kadang lebih enak. Lebih damai.”
Aku mendengus kecil, tidak begitu menanggapi.
Tapi beberapa menit kemudian, saat pesanan kami sama-sama belum datang, dia tiba-tiba menunjuk buku yang kubawa.
“Kamu suka baca hal-hal begini?” tanyanya.
“Lumayan,” jawabku. “Kenapa?”
“Enggak. Aku cuma penasaran. Soalnya biasanya orang yang baca buku begini kalau diam, diamnya serius banget.”
Waktu itu aku mengira dia hanya mau basa-basi. Tapi ketika aku mulai menjelaskan sedikit soal isi buku, dia tidak memotong. Bahkan matanya fokus, ekspresinya berubah lebih tenang daripada yang kulihat sebelumnya. Tidak ada senyum tengil, tidak ada nada meremehkan.
Setelah aku selesai bicara, dia mengangguk pelan.
“Maksudnya kayak gini, kan?” katanya sambil menguraikan ulang poinku, jelas dan sederhana. Cara dia menyampaikan membuatku merasa dihargai.
“Ya! Iya, gitu,” kataku, sedikit terkejut.
“Nah,” jawabnya sambil tersenyum, kali ini bukan senyum tengil, tapi senyum yang… hangat. “Aku cuma memastikan aku nggak salah tangkap. Biar kita ngobrolnya nyambung.”
Lalu, entah bagaimana, percakapan itu mengalir begitu saja. Dari buku, pindah ke hal-hal kecil, sampai akhirnya kami membahas topik yang sama sekali tidak penting tapi menyenangkan.
Di tengah obrolan, dia sempat berkata,
“Kamu tau? Banyak orang ngejelasin sesuatu kayak lagi debat. Bikin lawannya berasa bodoh.”
“Dan kamu nggak?” pancingku.
Dia tertawa pendek. “Nggak lah. Kita semua belajar bareng.”
Itu pertama kalinya aku melihat sisi dirinya yang tenang—berbeda jauh dari kesan awal yang tengil dan humoris. Ia tetap bercanda, tapi candanya bukan untuk pamer. Ia tetap berbicara banyak, tapi caranya membuat orang ingin mendengarkan.
Lucu ya, seseorang yang awalnya kuanggap menyebalkan malah justru membuatku betah berbicara lama-lama.
Aku mengenalnya tanpa sengaja.
Tapi setelah mengenalnya sedikit… aku diam-diam berharap pertemuan selanjutnya tidak sesengaja itu lagi.
