Ketika Suapan Pria Menyimpan Cerita: Stres, Kesunyian, dan Emotional Eating Pria di Meja Diskusi - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Ketika Suapan Pria Menyimpan Cerita: Stres, Kesunyian, dan Emotional Eating Pria di Meja Diskusi

 


Di sebuah ruang diskusi yang hangat di Solo — tempat saya dan dua teman laki-laki kerap ngobrol santai tentang hidup, kerja, dan ambisi — satu momen sederhana membuka jendela emosi yang belum pernah saya sadari. Saat mereka makan, ekspresi wajah mereka tiba-tiba lembut, suapan melambat, dan tatapan kadang kosong. Tanpa sengaja, saya nyelonong, “Kenapa ya, cowok kalau makan wajahnya melas? Kayak nggak makan setahun.” Pertanyaan bercanda itu ternyata membuat mereka terdiam sebentar, lalu membuka ruang untuk percakapan yang jauh lebih dalam.


Saya berbincang dengan Adi, 28 tahun, pemilik usaha kecil, dan Rizal, 24 tahun dan mahasiswa ( nama disamarkan) . Adi mengaku bahwa punya usaha terasa seperti kepalanya “selalu penuh”: memikirkan pegawai, laporan, pemasukan, dan risiko. “Saat makan, itu momen aku berhenti sejenak dari semua itu,” katanya. “Makan adalah ruang kosong di mana aku bisa diam dan melepaskan beban, walau hanya sebentar.” Rizal, di sisi lain, mengatakan bahwa tekanan akademik dan tuntutan kuliah membuat makan menjadi jeda paling tenang: “Aku makan lama bukan karena lapar, tapi karena itu satu-satunya saat aku bisa berhenti berpura-pura,” ujarnya. Bagi keduanya, ekspresi “melas” adalah bahasa tubuh dari kelelahan emosional yang tak gampang mereka ungkapkan dengan kata-kata.



 Riset Lokal yang Menguatkan: Emotional Eating di Indonesia*)


Percakapan ini sejalan dengan berbagai studi lokal tentang emotional eating di Indonesia:


1. Stres Akademik dan Emotional Eating

   Penelitian di Universitas Airlangga menemukan bahwa ada korelasi positif antara stres akademik dan emotional eating pada mahasiswa. Semakin tinggi stres akademik, semakin tinggi kecenderungan makan emosional.


2. Stres dan Emotional Eating di Mahasiswa Tingkat Akhir

   Studi lain dari Universitas Hasanuddin menunjukkan bahwa mahasiswa tingkat akhir yang mengalami stres cenderung menunjukkan perilaku emotional eating sebagai salah satu cara koping. 


3. Prevalensi Emotional Eating pada Pria

   Dalam sebuah penelitian pada kadet mahasiswa di Universitas Pertahanan, ditemukan bahwa dari 44 pria, sebagian besar (68,2%) berada di kategori emotional eating sedang, dan 20,5% di kategori tinggi. 


4. Stres, Aktivitas Fisik, dan Emotional Eating

   Penelitian pada mahasiswa juga menunjukkan kaitan antara tingkat stres dengan emotional eating, serta bagaimana aktivitas fisik bisa memengaruhi hubungan itu. 




Makna dari “Melas” Saat Makan


Berdasarkan riset lokal tersebut dan pengalaman teman-teman saya, wajah “melas” ketika makan bukanlah sekadar ekspresi sinis atau lemah. Itu bisa menjadi bentuk komunikasi emosional yang halus:


  • Makan sebagai mekanisme koping: Ketika tekanan hidup menumpuk, makan menjadi cara mereka memberikan ruang diri untuk bernapas.
  • Norma maskulinitas: Banyak laki-laki merasa sulit mengekspresikan kerentanan secara verbal, sehingga emosi dipindahkan ke tubuh — melalui cara makan mereka.
  • Bahasa non-verbal: Tatapan kosong, suapan lambat, dan ekspresi sendu bisa menjadi bentuk bercerita tanpa kata, sebuah jeda di antara beban.


Membaca Cerita di Balik Suapan


Dari meja diskusi itu, saya menyadari sesuatu yang sederhana tapi mendalam: ketika seorang pria makan dengan wajah yang terlihat “melas”, mungkin dia sedang bercerita — tidak dengan kata, tetapi lewat cara dia mengunyah, diam, dan menatap piringnya.


Riset lokal memperkuat bahwa emotional eating adalah fenomena nyata di kalangan pria dan mahasiswa di Indonesia. Dan berbicara tentang itu penting, agar kita belajar lebih peka terhadap bahasa emosi yang tak selalu diucapkan — bahkan dalam tindakan paling sederhana: makan.


Penulis: Oliviana Angelicha Effendy 

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done