Saat Sekolah Menjadi Tempat Berbahaya : Lintang retak Pendidikan kita
Disclaimer trigger : Tulisan ini membahas tentang kekerasan terhadap anak yaitu bullying dan mungkin akan memicu reaksi negatif bagi beberapa orang. Pembaca yang memiliki pengalaman traumatis atau sensitif disarankan berhati-hati saat membaca
Ilustrasi oleh : Gamaliel
Saya pernah berpikir bahwa rasa takut pergi ke sekolah adalah hal yang normal. Selama sembilan tahun hidup saya menjadi korban bullying fisik dan mental , saya belajar menyembunyikan lebam, menelan hinaan, dan memaksa diri percaya bahwa semua itu akan berhenti jika saya bertahan sedikit lebih lama. Namun, ketika membaca kembali berita tentang anak-anak yang meninggal akibat perundungan di sekolah, luka pribadi itu kembali membuka diri.
Saya bertanya: mengapa ini terjadi lagi? Jika saya mampu bertahan, mengapa ada anak-anak lain yang tidak sempat diselamatkan? Mengapa ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuh malah berubah menjadi ladang rasa takut?
Tahun 2025 mengulang pertanyaan itu dengan getir. Dan kali ini, jawabannya bukan hanya soal satu kasus melainkan kenyataan pahit bahwa bullying di Indonesia telah menjadi masalah nasional.
Bullying 2025: Ketika Peringatan Telah Ada, tetapi Korban Tetap Jatuh
Kasus meninggalnya seorang siswa SMPN 19 Tangerang Selatan, berinisial MH (13), pada November 2025 menjadi puncak kegelisahan publik tentang keamanan anak di sekolah. Media nasional memberitakan bagaimana MH meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit, diduga akibat kekerasan yang dialaminya di sekolah. Menurut laporan Detik News (16 November 2025), MH mengalami pengeroyokan oleh teman sekelasnya, termasuk aksi pemukulan menggunakan kursi. Dugaan kekerasan bahkan sudah terjadi sejak masa MPLS.
Republika (17 November 2025) menuliskan bahwa polisi memeriksa enam saksi, termasuk guru dan teman sekolah, demi memastikan motif dan rangkaian kekerasan yang menimpa MH.
“Adik saya itu anak baik… dia cuma mau sekolah.” – Kakak korban (sumber: Detik.com)
Dalam wawancara yang dikutip Detik (16/11/2025), kakak korban berkata: “Dia itu anaknya penurut, nggak pernah macam-macam. Kami cuma mau dia sekolah dengan aman, tapi malah seperti ini. Kami kehilangan adik kami.”
Perkataan itu menggambarkan betapa sekolah — tempat orang tua menitipkan masa depan anaknya bisa berubah menjadi titik terakhir kehidupan mereka.
Fenomena Nasional, Bukan Kasus Tunggal
Meski kasus MH menjadi sorotan besar, 2025 bukan satu-satunya tahun yang diwarnai kekerasan antarsiswa. Data dan peristiwa beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa perundungan bukanlah tragedi insidental — melainkan anomali yang berulang di seluruh Indonesia.
Data yang Menggambarkan Krisis Nasional
Menurut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), laporan sebelum 2025 mencatat:
Menurut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), laporan sebelum 2025 mencatat:
a. 3 dari 4 anak Indonesia pernah mengalami kekerasan di lingkungan pendidikan.
b. Bullying menjadi bentuk kekerasan paling umum, baik fisik, verbal, maupun digital.
Meski data terbaru 2025 belum dipublikasikan secara penuh, tren kasus yang masuk ke media dan lembaga advokasi menunjukkan kenaikan eskalasi kekerasan bukan penurunan.
Laporan 2025 yang Menegaskan Lingkup Nasional
Beberapa daerah yang melaporkan kasus bullying serius pada 2024–2025 antara lain:
- Jawa Barat
- Yogyakarta
- Banten
- Kalimantan Selatan
- Riau
- NTT
Namun sebagian besar kasus tidak mendapat liputan nasional atau belum terverifikasi secara resmi* sehingga tidak dapat dijadikan dasar pemberitaan jurnalistik tanpa konfirmasi.
Fenomena ini justru mempertegas ironi:
yang viral hanya sebagian kecil dari kenyataan.
Kutipan Lain dari Keluarga Korban (sumber media resmi)
Dari Detik.com dalam liputan pemakaman MH:
“Kami cuma mau sekolah bertanggung jawab. Jangan sampai ada korban berikutnya. St., Ayah korban
Dari Republika terkait proses hukum:
“Kami berharap kasus ini dituntaskan. Anak kami harus mendapat keadilan.” Ibu korban
Kutipan-kutipan ini menunjukkan duka yang dibungkus tuntutan akan perubahan. Mereka bukan hanya kehilangan anak , mereka kehilangan kepercayaan pada sistem.
Sekolah: Ruang Aman yang Tak Lagi Aman?
Dalam laporan Medcom.id (17/11/2025), Pemerintah (Kemendikdasmen) menyatakan akan menerbitkan Permendikdasmen baru terkait pencegahan bullying. Namun kebijakan baru tak akan mengembalikan nyawa MH. Dan kebijakan tanpa implementasi hanya akan menjadi dokumen kosong.
Masalahnya bukan hanya pada aturan, melainkan:
- minimnya pengawasan
- ketidakberanian siswa melapor
- budaya “diam” di sekolah
- respons lambat pihak institusi
- normalisasi kekerasan di lingkungan pendidikan
Selama faktor-faktor ini tidak diubah, detik berdarah seperti MH akan selalu mungkin terulang.
Refleksi Penulis: Luka Lama di Negeri yang Tak Belajar
Sebagai seseorang yang pernah mengalami bullying selama 9 tahun, saya merasa negeri mengetahui bahwa anak-anak hari ini masih menjalani ketakutan yang sama — tetapi dengan ancaman yang lebih mematikan.
Saya dulu selamat.
MH tidak.
Anak-anak lain mungkin tidak.
Dan jika setiap tahun kita membaca berita kematian siswa akibat bullying, maka sesungguhnya Indonesia telah gagal menjalankan mandat paling dasar pendidikan: melindungi kehidupan.
Bullying bukan sekadar masalah individu.
Ini adalah pandemi sosial yang merusak generasi.
Yang kita butuhkan sekarang bukan sekadar simpati tapi langkah nyata:
1. Sekolah wajib menerapkan sistem pelaporan aman dan anonim.
2. Guru harus mendapat pelatihan wajib anti-bullying.
3. Orang tua perlu dilibatkan dalam deteksi dini perilaku agresif.
4. Pemerintah harus memastikan sanksi bagi institusi yang lalai.
5. Masyarakat harus menghentikan budaya mengecilkan kekerasan.
Setiap anak berhak pulang sekolah dengan selamat.
STOP BULLYING SEBELUM KITA KEHILANGAN ANAK-ANAK LAIN
Bullying bukan “drama anak sekolah.”
Bullying bukan “fase perkembangan.”
Bullying adalah kekerasan.
Bullying adalah kegagalan kita sebagai orang dewasa.
Jika kita tidak bertindak hari ini, kita akan kembali membaca berita yang sama besok—hanya dengan nama korban yang berbeda.
Berhenti menyalahkan korban.
Berhenti membiarkan pelaku.
Berhenti menunggu tragedi berikutnya.
STOP BULLYING.
STOP PEMBIARAN.
STOP KEMATIAN.
Penulis : Oliviana Angelicha Effendy
Penyunting : Chintya Alinda Risky dan Oliviana Angelicha Effendy
