Kisah Suyat: Aktivis PRD dan SMID - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Kisah Suyat: Aktivis PRD dan SMID

Sumber foto: liks.suara.com

Suyat, mahasiswa Universitas Slamet Riyadi Surakarta, adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Suyat: Militansi Tanpa Batas, Hilang Tanpa Kepastian

Di era akhir Orde Baru, ketika udara politik sudah bergejolak, banyak aktivis yang menanggung resiko besar. Salah satu dari mereka Adalah “Suyat”, mahasiswa Universitas Slamet Riyadi Surakarta, anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Keberanian dan militansinya membuat dia selalu berada di barisan depan dalam aksi-aksi massa, sebagai pelindung bagi kawan-kawannya, dan sebagai tokoh pengorganisiran politik rakyat biasa.
7 Desember 1995 – Suyat terlibat aksi melompati pagar Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, bersama PRD dan kaum muda Timor Leste, menuntut referendum untuk Timor Leste. Aksi ini dibubarkan keras oleh aparat; banyak massa terluka (Wikipedia).
Beberapa hari kemudian, aksi mogok buruh di PT Sri Rejeki Isman (Sritex) melibatkan puluhan ribu buruh. Suyat, walaupun baru saja dirawat karena kepalanya dipukuli, ikut lagi, dan kembali menjadi korban kekerasan aparat (Wikipedia).
8  Juli 1996 – menjadi pelopor aksi pemogokan di 10 pabrik di Surabaya, yang berujung penangkapannya. (Wikipedia)

Setelah Peristiwa 27 Juli 1996, PRD dinyatakan ilegal, aktivisnya diburu. Suyat “tiarap” sementara, kemudian ditugaskan ke dalam struktur Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD), organisasi bawah tanah PRD untuk terus membangun mobilisasi rakyat. (Wikipedia)

Hari Hilang dan Kehilangan

Menjelang puncak krisis Orde Baru, pada dini hari 12 Februari 1998 (beberapa sumber menyebut tanggal 13 Februari 1998), Suyat diculik dari rumahnya di Gemolong, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Petugas mengaku dari Polres Sragen datang menjemputnya — namun setelah itu suara Suyat menghilang. Tidak ada jejak kepastian soal keberadaannya hingga hari ini. (WijiThukul.com)

Penghilangan Paksa Era 1997–1998: Skala dan Data


Kisah Suyat bukanlah satu-satunya. Ia adalah bagian dari gelombang besar penghilangan paksa yang terjadi menjelang tumbangnya rezim Orde Baru. Antara tahun 1997 hingga 1998, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat ada 23 orang aktivis pro-demokrasi yang diculik.

 

Dari jumlah itu, sembilan orang akhirnya dikembalikan dalam keadaan hidup, meskipun banyak dari mereka mengalami penyiksaan, intimidasi, dan trauma yang mendalam. Namun, tiga belas orang lainnya, termasuk Suyat, tidak pernah kembali. Hingga hari ini, nasib mereka masih gelap gulita. Tidak ada kabar, tidak ada kepastian, seolah-olah mereka dihapus dari sejarah dengan sengaja.

Organisasi KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) berulang kali menegaskan bahwa kasus penculikan ini merupakan bagian dari operasi sistematis negara. Tidak mungkin dilakukan oleh oknum tunggal. Ada struktur komando, ada perintah, ada aparat yang mengeksekusi, dan ada pula pihak yang menutupinya. Semua itu menunjukkan betapa terorganisirnya praktik kejahatan ini.

Lebih jauh lagi, berbagai kajian akademik, termasuk jurnal hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, menekankan bahwa penghilangan paksa ini melanggar hak asasi yang paling mendasar: hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas kebenaran. Hak keluarga untuk mengetahui keberadaan orang yang mereka cintai dirampas begitu saja.

Fakta pahitnya, meskipun laporan Komnas HAM telah diserahkan kepada DPR sejak tahun 2009 dengan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc, hingga kini tidak ada langkah nyata. Negara lebih memilih diam, membiarkan luka itu menganga. Para pelaku yang diduga terlibat masih berkuasa, menduduki jabatan penting, bahkan menikmati kekayaan dan fasilitas negara, sementara keluarga korban terus menunggu kejelasan yang tak pernah tiba.


Kenapa Kisah Suyat Penting dan Kenapa Tidak Boleh Dilupakan

 Karena representasi dari keberanian masyarakat biasa menghadapi penindasan: mahasiswa, buruh, pemuda yang menuntut demokrasi dan keadilan.
Karena hingga hari ini, kekosongan informasi (nasibnya, di mana, bagaimana) adalah luka yang terus membekas bagi keluarga, komunitas aktivis, bangsa.
 Karena pelaku—termasuk aparat (polisi / militer), struktur komando, mungkin pihak sipil pendukung rezim—belum pernah diadili secara adil terhadap penghilangan-penghilangan ini. Impunitas masih memerintah. Data resmi seperti laporan Komnas HAM dan KontraS menunjukkan bahwa rekomendasi DPR dan HAM belum dijalankan sepenuhnya. (jurnal.jentera.ac.id)
 Seruan: Jangan Terulang, Tangkap & Adili Pelaku HAM

Kita harus mengingat, bukan sekadar untuk mengenang, tapi untuk menuntut:

1. Hak atas kebenaran— keluarga berhak tahu nasib Suyat dan korban lain. Negara wajib membuka arsip, menyelidiki secara transparan. (jurnal.jentera.ac.id)
2. Penegakan keadilan — siapa yang memberi perintah, siapa yang melaksanakan, siapa yang menutup-nutupi: semua harus diusut. Tanpa kejelasan, HAM akan terus dianggap bisa diinjak sesuka rezim.
3. Penyelesaian nasional  pengakuan resmi status korban, reparasi, penghormatan. Pemerintah dan DPR harus mengambil langkah nyata: pengadilan HAM ad hoc jika perlu, pembentukan komisi kebenaran jika belum ada. Laporan-rekomendasi sudah ada sejak 2009, tapi belum ada penyelesaian memadai. (jurnal.jentera.ac.id)

Penutup

Suyat adalah satu dari wajah-wajah yang hilang dalam sejarah kelam penghilangan paksa Orde Baru. Ia bukan sekadar nama: ia gambaran tentang keberanian, kerinduan akan demokrasi, dan ketidakadilannya yang menggantung. Tak ada yang tahu apakah ia masih hidup, atau bagaimana akhir nasibnya. Itu pertanda betapa kejamnya penghilangan paksa — tidak hanya mencabut nyawa tetapi juga mencabut harapan, mencabut kebenaran.

Jangan lupakan.


Penulis: Oliviana Angelicha Effendy

Penyunting: Chintya Alinda Riskyani

 

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done