Kemarin
sore.
Aku lupa tepatnya jam berapa, yang jelas aku sudah menunaikan sholat
ashar. Kuharap, deretan pengendara muslim di bawah lampu merah itu juga sudah
menunaikannya.
Meskipun
matahari masih menunjukkan kekuatannya, tapi sepertinya semangat pulang kerja,
pulang sekolah, dan pulang kuliah bisa memusnahkan rasa kantuk dan pengap di
bawah sengatan matahari dan lamanya lampu merah.
Ketika
itu, aku dengan helm dan masker hidung warna biru, berhenti di bawah lampu
merah bersama para pengendara lain. Dan sejujurnya, aku belum berbekal SIM. Aku
masih dalam masa ‘tahanan’ tilang sebenarnya. Haha, nekat memang.
Mataku
juga mulai terasa semakin berat, dan ketika itu, ada tiga remaja laki-laki,
mungkin seusia denganku, atau mungkin ‘adik kelasku’, atau bisa juga lebih tua
dariku.
Mereka
berada di trotoar dibawah tiang lampu. Yang dua duduk berjongkok dan satunya
lagi berdiri sambil membawa ukulele dan bersiap mengamen. Aku amati mereka.
Salah satunya tak bisa kulihat dengan jelas karena dia duduk membelakangi
tempatku berhenti.
Remaja
yang membawa ukulele tadi kulihat mulai masuk menyusuri deretan mobil dan
motor. Aku sudah mengeluarkan dua buah koin lima ratusan, tapi hingga lampu
berubah hijau, dia tidak sampai kepadaku. Kufikir, mungkin dia hanya
menghampiri mobil saja.
Sebelum
itu, aku mengamati dua remaja yang masih duduk dan kufikir salah satunya
menyadari jika aku sedari tadi mengamati mereka. Hanya saja dia terlalu acuh
dan malas menanggapi tatapan orang-orang selayak aku. Ya, orang-orang yang
mereka anggap berbeda karena orang-orang juga menganggap mereka berbeda.
Akhirnya,
sepanjang perjalanan, dua buah koin lima ratusan tadi hanya bertahan di kantong
jaketku. Dan, sepanjang perjalanan pula aku terus mengingat tiga remaja tadi. Entah
kenapa tiba-tiba aku sesensitif itu.
Bukan,
bukan untuk diam-diam menghakimi tiga remaja itu, atau bukan juga diam-diam
mengasihani mereka. Aku hanya sedang mengkhayal, dimana orang tua mereka?
Mengapa mereka disana? Dengan penampilan selayak ‘anak jalanan’ yang selama ini
banyak terlihat. Kusam.
Hati
dan pikiranku seakan kontra hanya karena hal itu. Bukankah sudah banyak orang
seperti mereka yang sering aku lihat selama perjalananku beberapa minggu ini?
Perjalanan yang jujur saja, itu melelahkan. Huh.
Begini
saja, akan aku ceritakan mudahnya. Aku juga tidak pandai menggunakan diksi yang
memukau dan penuh deretan makna.
Disaat
remaja-remaja lain sebaya mereka (aku sendiri contohnya) sibuk dengan urusan
kuliah, sekolah, atau mungkin berusaha mencari pekerjaan yang lebih ‘layak’,
tapi mereka hanya duduk disana, menunggu lampu merah kemudian unjuk gigi dengan
suara mereka –yang bahkan ada beberapa yang bersuara biasa saja.
Banyak
orang mungkin berfikir mereka hanya sekian dari begitu banyak remaja yang ‘terbuang’
dari kehidupannya sendiri. Sepanjang perjalanan juga kutemui banyak yang seusia
tiga remaja itu, mengendarai motor dengan perlengkapan jaket, masker hidung,
helm, tas, kacamata bahkan. Ditambah setelan sepatu sneakers-nya.
Banyak
orang terlahir seperti tiga remaja itu dari beberapa keluarga (maaf) broken home, keluarga (maaf) kurang
mampu, dan (maaf) mungkin dari orang tua yang hanya sibuk dengan dunianya
sendiri tanpa menyadari kebutuhan ‘hati’ putra-putrinya.
Sekali
lagi bukan maksudku menghakimi, mencaci, merendahkan, apalagi menganggap mereka
itu manusia pendosa. Tidak sama sekali. Ingin rasanya mendatangi mereka dan
mengobrol banyak pada mereka. Tentunya tentang banyak hal.
Sungguh,
jika bisa kugambarkan perjalanan pulang kemarin sore itu terlalu aneh bagiku.
Tidak biasanya menjadi se-menyentuh ini sebelumnya. Mungkin kemarin ‘aku’ sedang
menjadi diriku yang lain.
Maksudku,
ah, aku terlalu berbelit-belit.
Begini,
adakah yang akan peduli dengan mereka lebih dari sekadar memberi uang receh ketika
mereka berdiri disamping kalian membawa ukulele dan bernyanyi bahkan lagu yang
tidak kamu kenal, atau mungkin lagu buatan mereka sendiri?
Adakah
yang sekiranya peduli dan memberi mereka perhatian lebih? Ya, tentu saja orang
tua mereka. Keluarga mereka. Lalu bagaimana jika orang tua mereka tidak
se-peduli itu? Bagaimana jika keluarganya bahkan penyebab mereka duduk disana?
Bagaimana jika bahkan mereka sudah merasa terbuang dari keluarganya sendiri?
Bagaimana jika ada ‘bagaimana’ yang lain?
Aku
hanya benar-benar berfikir “Dimana orang tua mereka?”
Hanya
itu. Aku tidak berani berfikir terlalu jauh. Aku juga tidak ingin menghakimi
mereka bertiga atau orang tua mereka. Sebenarnya penyebabnya saja aku tidak
tahu, maka dari itu aku tidak ingin menjadi ‘hakim’ dan sejujurnya sangat amat
ingin tahu.
Tolong
jangan tertawa. Iya aku memang terlalu kepo, bahkan pada orang yang hanya
sepintas kulihat.
Baiklah,
hanya sepintas itu saja. Indonesia butuh remaja penopang untuk maju. Dalam
artian, para muda lah yang seharusnya ‘mengusahakan’ nama Indonesia berdiri di
deretan negara maju. Dan negara makmur tentunya. Dengan segala kekayaan yang
dimiliki, Indonesia tidak pantas menjadi ‘budak’ di negaranya sendiri.
(Oleh : Arka)