Cerita Kemarin Sore - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Cerita Kemarin Sore



Kemarin sore.

Aku lupa tepatnya jam berapa, yang jelas aku sudah menunaikan sholat ashar. Kuharap, deretan pengendara muslim di bawah lampu merah itu juga sudah menunaikannya.

Meskipun matahari masih menunjukkan kekuatannya, tapi sepertinya semangat pulang kerja, pulang sekolah, dan pulang kuliah bisa memusnahkan rasa kantuk dan pengap di bawah sengatan matahari dan lamanya lampu merah.

Ketika itu, aku dengan helm dan masker hidung warna biru, berhenti di bawah lampu merah bersama para pengendara lain. Dan sejujurnya, aku belum berbekal SIM. Aku masih dalam masa ‘tahanan’ tilang sebenarnya. Haha, nekat memang.

Mataku juga mulai terasa semakin berat, dan ketika itu, ada tiga remaja laki-laki, mungkin seusia denganku, atau mungkin ‘adik kelasku’, atau bisa juga lebih tua dariku.
Hasil gambar untuk SUNSET
Mereka berada di trotoar dibawah tiang lampu. Yang dua duduk berjongkok dan satunya lagi berdiri sambil membawa ukulele dan bersiap mengamen. Aku amati mereka. Salah satunya tak bisa kulihat dengan jelas karena dia duduk membelakangi tempatku berhenti.

Remaja yang membawa ukulele tadi kulihat mulai masuk menyusuri deretan mobil dan motor. Aku sudah mengeluarkan dua buah koin lima ratusan, tapi hingga lampu berubah hijau, dia tidak sampai kepadaku. Kufikir, mungkin dia hanya menghampiri mobil saja.

Sebelum itu, aku mengamati dua remaja yang masih duduk dan kufikir salah satunya menyadari jika aku sedari tadi mengamati mereka. Hanya saja dia terlalu acuh dan malas menanggapi tatapan orang-orang selayak aku. Ya, orang-orang yang mereka anggap berbeda karena orang-orang juga menganggap mereka berbeda.

Akhirnya, sepanjang perjalanan, dua buah koin lima ratusan tadi hanya bertahan di kantong jaketku. Dan, sepanjang perjalanan pula aku terus mengingat tiga remaja tadi. Entah kenapa tiba-tiba aku sesensitif itu.

Bukan, bukan untuk diam-diam menghakimi tiga remaja itu, atau bukan juga diam-diam mengasihani mereka. Aku hanya sedang mengkhayal, dimana orang tua mereka? Mengapa mereka disana? Dengan penampilan selayak ‘anak jalanan’ yang selama ini banyak terlihat. Kusam.

Hati dan pikiranku seakan kontra hanya karena hal itu. Bukankah sudah banyak orang seperti mereka yang sering aku lihat selama perjalananku beberapa minggu ini? Perjalanan yang jujur saja, itu melelahkan. Huh.

Begini saja, akan aku ceritakan mudahnya. Aku juga tidak pandai menggunakan diksi yang memukau dan penuh deretan makna.

Disaat remaja-remaja lain sebaya mereka (aku sendiri contohnya) sibuk dengan urusan kuliah, sekolah, atau mungkin berusaha mencari pekerjaan yang lebih ‘layak’, tapi mereka hanya duduk disana, menunggu lampu merah kemudian unjuk gigi dengan suara mereka –yang bahkan ada beberapa yang bersuara biasa saja.

Banyak orang mungkin berfikir mereka hanya sekian dari begitu banyak remaja yang ‘terbuang’ dari kehidupannya sendiri. Sepanjang perjalanan juga kutemui banyak yang seusia tiga remaja itu, mengendarai motor dengan perlengkapan jaket, masker hidung, helm, tas, kacamata bahkan. Ditambah setelan sepatu sneakers-nya.

Banyak orang terlahir seperti tiga remaja itu dari beberapa keluarga (maaf) broken home, keluarga (maaf) kurang mampu, dan (maaf) mungkin dari orang tua yang hanya sibuk dengan dunianya sendiri tanpa menyadari kebutuhan ‘hati’ putra-putrinya.
Sekali lagi bukan maksudku menghakimi, mencaci, merendahkan, apalagi menganggap mereka itu manusia pendosa. Tidak sama sekali. Ingin rasanya mendatangi mereka dan mengobrol banyak pada mereka. Tentunya tentang banyak hal.
Sungguh, jika bisa kugambarkan perjalanan pulang kemarin sore itu terlalu aneh bagiku. Tidak biasanya menjadi se-menyentuh ini sebelumnya. Mungkin kemarin ‘aku’ sedang menjadi diriku yang lain.

Aku hanya sedikit berfikir jauh. Disamping tidak menilik latar belakang keluarga, agama, atau apapun tentang mereka. Bagaimana mereka bisa duduk disana sore itu? Sudah, jauhkan dulu fikiran buruk tentang mereka. Aku terus memaksa seluruh diriku untuk berfikir positif tentang mereka. Berfikir bahwa aku dan mereka itu sama. Diciptakan dari tanah dan akan menjadi tanah.
Maksudku, ah, aku terlalu berbelit-belit.

Begini, adakah yang akan peduli dengan mereka lebih dari sekadar memberi uang receh ketika mereka berdiri disamping kalian membawa ukulele dan bernyanyi bahkan lagu yang tidak kamu kenal, atau mungkin lagu buatan mereka sendiri?

Adakah yang sekiranya peduli dan memberi mereka perhatian lebih? Ya, tentu saja orang tua mereka. Keluarga mereka. Lalu bagaimana jika orang tua mereka tidak se-peduli itu? Bagaimana jika keluarganya bahkan penyebab mereka duduk disana? Bagaimana jika bahkan mereka sudah merasa terbuang dari keluarganya sendiri? Bagaimana jika ada ‘bagaimana’ yang lain?

Aku hanya benar-benar berfikir “Dimana orang tua mereka?”
Hanya itu. Aku tidak berani berfikir terlalu jauh. Aku juga tidak ingin menghakimi mereka bertiga atau orang tua mereka. Sebenarnya penyebabnya saja aku tidak tahu, maka dari itu aku tidak ingin menjadi ‘hakim’ dan sejujurnya sangat amat ingin tahu.
Tolong jangan tertawa. Iya aku memang terlalu kepo, bahkan pada orang yang hanya sepintas kulihat.


Baiklah, hanya sepintas itu saja. Indonesia butuh remaja penopang untuk maju. Dalam artian, para muda lah yang seharusnya ‘mengusahakan’ nama Indonesia berdiri di deretan negara maju. Dan negara makmur tentunya. Dengan segala kekayaan yang dimiliki, Indonesia tidak pantas menjadi ‘budak’ di negaranya sendiri.

(Oleh : Arka)

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done