CERITA KILAT (FLASH FICTION) - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

CERITA KILAT (FLASH FICTION)




TOKO ELEKTRONIK




Pria itu membawanya dengan penuh hati-hati, seolah apa yang berada dalam genggamannya adalah hal paling berharga yang pernah ia beli seumur hidupnya. Wajah lusuh dan tubuhnya yang berbalut peluh berkata demikian. Matanya menatap nyalang seakan ingin memangsa siapapun yang mengincar benda di tangannya, meski pada kenyataannya, tidak ada sama sekali. Dengan satu tangan pria itu membawanya ke dalam dekapan, melindunginya dari berpasang-pasang mata yang menatap dengan raut penasaran.

Tingkah laku pria paruh baya itu menjelaskan segalanya. Bahwa apa yang digenggamnya kini jelas begitu berharga. Mungkin setara dengan beberapa bulan gaji, atau justru upahnya. Mungkin juga setara dengan bertahun-tahun usaha dan kerja kerasnya menyisihkan sedikit demi sedikit kemudian menukarnya dengan teknologi mutakhir masa kini.

Di belakangnya, anak laki-laki yang usianya baru menginjak angka belasan berdiri bosan dengan kaki terketuk di lantai. Pandangannya terbuang jauh ke jalan raya di balik jendela dan pintu kaca, menolak memerhatikan tingkah laku ayahnya yang mungkin dirasa kampungan. Ia melirik sejenak, lalu mendengus jengah melihat ayahnya yang terfokus pada tangan kasir yang masih menghitung uang kembalian. Lagi-lagi ia membuang matanya ke jalan raya.

Kali ini, aku yang mengelus dada. Cukup mengherankan bagiku, melihat tingkah remaja masa kini. Apakah pemandangan di jalan raya begitu menarik, lebih dari seorang ayah yang dengan tanpa rasa sesal menggelontorkan hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan untuk anaknya? Untuk dirinya? Oh, betapa ponsel-ponsel pintar telah membodohi manusia.

Toko-toko elektronik di setiap sudut kota semakin hari semakin ramai saja. Tidak terkecuali toko tempatku bekerja. Diskon besar-besaran dan bonus-bonus yang ditawarkan, bagi sebagian orang, tampak begitu sayang untuk dilewatkan, meski tak jarang semua itu hanya taktik pemasaran. Salah satu permainan licik yang dilakukan untuk meningkatkan kurva permintaan, tak ubahnya tipuan yang dibungkus dengan kemasan yang berbeda. Dan anehnya, hampir semua orang menerimanya dengan senang hati.

Gemerincing bel yang berbunyi ketika pintu kaca depan terbuka menyadarkanku dari lamunan. Kali ini seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku. Dengan mata sayunya, ia mengamati jejeran ponsel yang tertata rapi di etalase. Tangannya menggenggam erat tas tangan lusuh yang kelihatannya pernah menjadi brand idaman pada masanya dulu.

“Ada yang bisa dibantu?” tanyaku seramah mungkin. Ia tersenyum menatapku.

“Saya cari itu lo, mbak, hape yang dipake Raisa.” Tawaku tertelan di tenggorokan. 

Manik matanya yang menyorotkan kelembutan dan kasih sayang mau tak mau membuatku tidak bisa untuk tidak menatapnya lebih lama.

“Kata anak saya, yang bagus buat selfi itu lo, mbak.” Lanjutnya, mengira aku belum paham maksudnya.

Dengan kedua tangan kujejerkan beberapa model ponsel beserta kotaknya di hadapan wanita itu. Raut bingung yang sebelumnya tampak di wajah sayunya kini berubah antusias setelah kujelaskan fitur-fitur dan kelebihan masing-masing ponsel, namun kembali seperti semula setelah kujelaskan harganya. Ada pula rasa khawatir yang turut terpancar dari kedua bola matanya.

“Harganya memang masih tinggi, Kak, soalnya yang ini keluaran terbaru.”

Senyum yang kembali ditampakkanya padaku membuat hatiku teriris. Perih yang kurasa bahkan lebih dari pada ketika takdir menuntunku untuk bekerja alih-alih melanjutkan pendidikan. Bukan tanpa alasan, karena hanya dengan seberkas senyum itu, semua kenangan tentang sosok wanita paling berharga dalam hidupku seolah mencuat ke permukaan. Barangkali betul apa yang orang-orang katakan. Seorang ibu hanya akan menyimpan kesusahan untuk dirinya sendiri.

Selayang pandang ia arahkan pada jari manisnya, tempat tersematnya cincin emas bertahta kristal kecil yang kutebak telah dipakainya selama belasan tahun terakhir.
Tak lama kemudian sosok itu melenggang pergi setelah sebelumnya sempat berjanji akan kembali lagi, meninggalkanku yang terpaku dengan mata berkaca-kaca.

Bukannya aku tidak mengerti, apa yang rela seorang ibu lakukan demi anaknya. Karena ‘apa’ yang kumaksud adalah segalanya. Bisa waktu atau uang, atau mungkin nyawanya sendiri bila perlu. Seperti halnya masa kelahiran kita di dunia, atau lantunan doa yang lirih membisik di setiap sujudnya.

Miris, mungkin. Tapi di era ini, di mana kemewahan menjadi trendi, seseorang tak akan ragu membanting nuraninya demi apa yang didamba. Bukankah begitu?


(Oleh : Isa Rima)

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done