Aku tidak suka
hujan. Hanya orang konyol yang bilang bahwa mereka menyukai hujan.
Aku selalu bertanya-tanya mengapa dalam film
atau novel, selalu digambarkan bahwa pemeran utamanya menyukai hujan dan bahkan
senang menari di bawah guyuran hujan. Bagiku, hujan hanya membuat manusia
terlihat lemah. Hujan membuat bajuku basah, rambutku berantakan, dan mengganggu jadwal yang sudah kususun dengan rapi.
Tapi kali ini, berbeda. Aku suka hujan—sebenarnya
bukan hujan yang kusuka, tapi seseorang yang menari di depanku. Matanya
bersinar saat air hujan menimpa rambut panjangnya. Tangan kecilnya menarik
tanganku, memaksaku untuk menari bersamanya. Tawa ringannya tanpa kusadari
menular. Membuat aku sadar, bahwa aku suka hujan bila ada dirimu yang menari
bersamaku.
“Apa
sekarang kau suka hujan?” suaramu lirih, menyibak hujan. Aku
tersenyum menatap matamu yang berbinar. Ya, aku suka hujan. Sebab berkat hujan,
aku mampu melihat kebahagiaan dari matamu.
Selayaknya musim
yang berganti, pandanganku mengenai hujan pun berganti. Untuk sekarang, aku
menarik kata-kataku. Aku tidak suka hujan. Bukan—lebih tepatnya, aku
membenci hujan. Suara gemercik hujan mengingatkanku akan tawamu yang tidak akan
pernah kudengar lagi, dan selalu mengigatkanku saat aku membunuhmu di bawah
guyuran hujan.
Tangan kecil yang
selalu menarikku untuk menari sudah lunglai ke tanah. Rambut hitam panjangnya
ternodai oleh cairan merah. Di bawah guyuran hujan favoritmu, aku membunuhmu.
Membunuh dengan ketidakmampuanku untuk menyelamatkanmu.
Kini, aku telah
menerima hukumanku. Dengan kaki cacat yang bahkan sudah tak mampu berdiri untuk
menari kecil, dan terperangkap ingatan menyedihkan—yang selalu dibawa oleh
suara gemercik hujan. Di kehidupan ini aku gagal. Tetapi di kehidupan
selanjutnya, izinkan aku. Izinkan aku sekali lagi menari di bawah guyuran hujan
bersamamu, hingga rambut hitam kita memutih bersama.
Penulis : Latifah
Dena Kusuma
Penyunting :
Adista Putri Revalina