Oleh : Senja ( nama kiasan penulis)
Ada getar dalam senja
yang turun perlahan
seperti kain tipis
yang menutup wajah dunia.
Dalam warna keemasannya,
aku mendengar bisikan laut
lirih, dalam, nyaris seperti nyanyian
yang datang dari waktu yang telah lama pergi.
Aku berjalan mendekatinya
seolah setiap langkah
menanggalkan satu demi satu
beban yang tak pernah sempat kuberi nama.
Ombak menyentuh pasir dengan lembut,
seakan tahu
bahwa manusia kadang hanya ingin dipahami
tanpa ditanyai apa pun.
Di hadapannya,
aku ingin tenggelam—
bukan agar hilang,
tetapi agar jiwaku dapat berbaring
di dasar yang diam,
di ruang biru yang merawat
segala hal yang tak sanggup kuucapkan.
Aku ingin tenggelam
seperti nada rendah
yang menyatu dengan lagu,
seperti bayang-bayang
yang akhirnya berhenti melawan cahaya.
Dalam kedalaman laut,
aku merasakan ketenangan
yang menelusup masuk
sampai ke tulang-tulang letihku.
Namun di atas permukaan air,
angin tiba-tiba membuka tabir langit,
dan dari celah cahaya yang redup itu
melintas seekor merpati
sayapnya bergetar
seperti denting halus pada senar yang dibelai pelan.
Ia terbang melingkari cakrawala,
tidak terburu-buru,
tidak gentar,
seakan membawa pesan
bahwa kebebasan pun bisa terdengar lembut,
tidak selalu harus berteriak.
Melihatnya,
aku ingin terbang
dengan ringan seperti itu
meninggalkan keruh yang menumpuk,
melintasi semua hal
yang pernah membuatku menggigil,
dan membiarkan angin
mengajari aku cara melepaskan.
Aku ingin terbang
seperti nada tinggi
yang membubung ke udara
tanpa takut pecah,
tanpa takut jatuh,
karena ia tahu
bahwa setiap ketinggian pun
mempunyai tempat untuk pulang.
Di antara dua panggilan itu
laut yang menidurkan gelombang
dan langit yang membentangkan kebebasan—
aku berdiri, hening, luluh,
namun lebih utuh dari sebelumnya.
Ketenangan hadir di sana:
di kedalaman yang memelukku perlahan,
dan pada ketinggian yang membiarkanku bernapas lega.
Aku ingin tenggelam
agar jiwaku kembali diam.
Aku ingin terbang
agar pikiranku kembali lapang.
Dan ketika malam datang
dengan bintang-bintangnya yang rapuh,
aku tahu bahwa manusia bisa menjadi
dua hal sekaligus
air yang menenangkan,
dan udara yang membebaskan.
Malam itu,
aku hanyut dalam musik alam
yang tak pernah selesai bernyanyi:
lagu tentang melepaskan,
lagu tentang menerima,
lagu tentang ketenangan
yang menetes perlahan
ke dalam ruang-ruang terkecil dalam diriku.
