Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana (RUU KUHAP) belakangan ini memicu perdebatan
luas–baik di media sosial, ruang redaksi, maupun forum-forum diskusi kampus.
Sebagian pihak melihatnya sebagai langkah maju yang sudah lama dinantikan,
sementara sebagian pihak yang lainnya memandang sebagai ancaman terhadap hak
warga dan ruang demokrasi. Di tengah silang pendapat tersebut, yang muncul
bukan hanya keributan, tetapi juga pertanyaan mendasar: apakah RUU KUHAP
benar-benar membawa pembaruan, atau justru membuka ruang masalah baru?
Reformasi
yang memang Dibutuhkan?. Tak bisa dipungkiri, Indonesia telah terlalu lama
bergantung pada KUHAP yang lahir tahun 1981–ketika teknologi digital belum
dikenal dan paradigma penegakan hukum masih sangat berbeda dengan kebutuhan
zaman. Maka, ketika pemerintah dan DPR mendorong revisi menyeluruh, niat
dasarnya tidak salah; menghadirkan sistem acara pidana yang lebih modern, lebih
manusiawi, dan lebih mampu menjawab tantangan kejahatan hari ini.
Secara
konsep, RUU KUHAP membawa sejumlah kemajuan. Mulai dari penguatan hak tersangka
dan terdakwa, perhatian lebih pada korban dan kelompok rentan, hingga upaya
menertibkan praktik-praktik proses hukum yang selama ini menimbulkan
kontroversi. Termasuk juga dorongan penggunaan teknologi informasi,
transparansi proses pemeriksaan, serta penyelarasan dengan KUHP baru yang akan
segera berlaku.
Jika semua
ini dijalankan dengan konsisten, Indonesia bisa memiliki hukum acara pidana
yang tidak hanya fungsional, tetapi juga sejalan dengan prinsip keadilan yang
substantif.
Tetapi, Proses Cepat Mengundang Curiga. Masalah muncul ketika pembahasan RUU KUHAP dinilai tergesa-gesa
dan minim partisipasi. Organisasi masyarakat sipil, akademisi hukum, hingga
praktisi lapangan menyampaikan kekhawatiran bahwa sejumlah masukan tidak
diakomodasi, sementara pasal-pasal tertentu diselesaikan dalam waktu yang
sangat singkat. Kritik semacam ini bukan sekadar “alergi perubahan”, melainkan
reaksi wajar ketika sebuah aturan sebesar KUHAP–yang menentukan hubungan negara
dan warga dalam proses pidana–diproses tanpa ruang dialog yang memadai.
Kepercayaan
publik terhadap reformasi hukum sangat ditentukan oleh transparansi prosesnya.
Ketika hal ini kurang hadir, wajar jika publik mempertanyakan apa tujuan
sebenarnya dari revisi ini.
Pasal-Pasal
yang Menjadi Sorotan. Media sosial ramai memperbincangkan beberapa isu, seperti
penyadapan, penyitaan data elektronik, atau perluasan kewenangan aparat. Sebagian
klaim terbukti dilebihkan, sebagian lagi memang punya dasar kekhawatiran.
Intinya,
publik ingin memastikan bahwa setiap tindakan paksa–mulai dari penangkapan
hingga penyadapan–tetap berada dalam kendali pengawasan yudisial yang ketat.
Frasa-frasa multimitaf (mengandung banyak metafora) seperti “keadaan tertentu”,
“keadaan mendesak”, atau “izin setelah tindakan” dianggap terlalu rentan
disalahgunakan jika tidak diberi batasan yang jelas.
Di sisi
lain, ada pula pasal yang sebenarnya progresif, seperti kewajiban pendampingan
hukum sejak tahap awal dan pemasangan CCTV dalam proses pemeriksaan. Namun
kemajuan seperti ini akan percuma jika mekanisme pengawasannya lemah atau
sanksinya tidak tegas ketika terjadi pelanggaran.
Reformasi Tanpa Pengawasan adalah Risiko. Pada akhirnya, kualitas sebuah Undang-Undang tidak hanya
ditentukan oleh apa yang tertulis di atas kertas, tetapi juga oleh bagaimana ia
diterapkan. Pembaruan hukum acara pidana tidak akan berarti apa-apa bila hanya
memperluas kewenangan aparat tanpa memperkuat akuntabilitasnya. Justru di
sinilah tantangan terbesar: memastikan bahwa revisi KUHAP tidak menjadi alat
memusatkan kekuasaan, melainkan perangkat menegakkan keadilan.
Yang
dibutuhkan publik adalah jaminan bahwa:
- Kontrol pengadilan tetap kuat,
- Hak warga tidak dikorbankan,
- Aparat bekerja dalam koridor hukum, dan
- Setiap penyimpangan dikenakan sanksi yang nyata.
Tanpa itu,
revisi KUHAP akan sulit dipercaya sebagai instrumen reformasi.
Menutup: Reformasi
Tidak Boleh Sekadar Retorika. RUU KUHAP memiliki potensi besar untuk
memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia. Namun potensi itu hanya akan
menjadi kenyataan jika disertai tiga hal: transparansi, pengawasan, dan
komitmen politik untuk menegakkan hak asasi manusia.
Kita butuh
KUHAP yang modern, tetapi lebih dari itu, kita butuh KUHAP yang adil. Di tengah
keriuhan media sosial dan derasnya opini di ruang publik, satu hal paling
penting untuk diingat adalah bahwa hukum acara pidana pada akhirnya bukan
tentang kekuasaan negara–melainkan tentang perlindungan warga.
Revisi ini
harus memastikan satu prinsip: bahwa negara tidak boleh lebih kuat daripada
hukum, dan hukum tidak boleh lebih kuat daripada keadilan.
Penulis :
Luftwaffe D. Kavinara
Penyunting :
Adista Putri Revalina