Jasad DO (21) ditemukan mengambang di aliran Sungai Citarum. Sebuah akhir yang dingin dan brutal bagi seorang karyawati minimarket, yang kepergiannya bukan disebabkan oleh musibah alam, melainkan oleh pengkhianatan paling keji dari orang yang seharusnya menjadi pelindungnya: atasannya sendiri, Heryanto (27).
Kasus di Karawang ini bukan sekadar statistik kriminal biasa; ini adalah retakan yang menganga di fondasi kepercayaan masyarakat, khususnya bagi ribuan perempuan muda yang menggantungkan nasibnya pada dunia kerja yang penuh janji, namun menyimpan bahaya. Tragedi ini adalah cermin buram yang memperlihatkan betapa rapuhnya nyawa seorang perempuan ketika berada dalam posisi subordinat dan membutuhkan bantuan.
Ketika Curhat Berujung Maut: Anatomi Pengkhianatan
Dalam keputusasaan akibat patah hati, DO melakukan hal yang paling manusiawi: meminta saran dari figur otoritas yang ia percayai. Ia mencari “orang pintar” — sebuah ironi pahit, karena yang ia temui justru kebodohan moral dan kegelapan total dari sosok yang seharusnya “pintar” menjaga etika dan wewenang.
Heryanto, sang atasan, menggunakan jabatannya sebagai topeng predator. Ia memanfaatkan kerentanan psikologis DO, merayunya ke ruang pribadi — rumahnya di Purwakarta — dan di sanalah neraka dimulai.
Momen yang seharusnya diisi dengan konseling atau empati berubah menjadi aksi pencekikan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Ini adalah pembunuhan karakter dan tubuh yang dilakukan secara bersamaan.
Tindakan kejahatan itu — dari mencekik korban hingga kehabisan napas, hingga kemudian membungkus jasadnya dalam kardus dan membuangnya ke sungai — menunjukkan mentalitas dingin dan terstruktur. Ini sama sekali bukan “khilaf”; ini adalah sikap kalkulatif dari seorang kriminal yang berusaha menghapus jejak kejahatannya.
Tambahan motif perampokan, yakni mengambil perhiasan dan telepon genggam korban, semakin menegaskan bahwa Heryanto adalah predator ganda: seksual dan ekonomi.
Minimarket: Monumen Ketidakamanan Kerja
Tragedi ini menampar wajah korporasi besar yang mengoperasikan jaringan minimarket di seluruh negeri. DO adalah representasi dari jutaan pekerja garis depan (terutama perempuan) yang dipekerjakan dalam sistem yang memaksimalkan laba, namun meminimalkan perlindungan. Sistem pengawasan perusahaan terbukti lumpuh total.
-
Akses terbuka bagi predator: Ketika hubungan antara atasan dan bawahan tidak memiliki batas etis yang jelas, pintu eksploitasi terbuka lebar. Di mana protokol antipelecehan? Di mana jalur pelaporan yang benar-benar anonim dan aman dari pembalasan atasan?
-
Kondisi kerja yang mendesak: Pekerja minimarket sering bekerja dengan sistem shift hingga larut malam, dengan keamanan internal yang minim dan di bawah tekanan yang tinggi. Lingkungan kerja seperti ini menciptakan lingkaran keputusasaan yang membuat mereka rentan secara mental — dan celakanya, rentan secara fisik.
Perusahaan tidak bisa cuci tangan dengan dalih bahwa kasus ini adalah “masalah pribadi” di luar jam kerja. Kasus ini berakar pada penyalahgunaan wewenang profesional.
Negara dan korporasi wajib segera merevisi standar K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) agar jabatan di tempat kerja tidak lagi menjadi lisensi untuk bertindak sebagai predator.
Menguji Marwah Hukum: Tuntutan Keadilan Maksimal
Apabila putusan hukum dalam kasus ini tidak memuat hukuman yang setimpal dan maksimal, maka sistem peradilan kita telah gagal untuk kedua kalinya — gagal melindungi DO dan perempuan lainnya.
Kita menuntut jaksa menggunakan seluruh perangkat hukum yang tersedia, termasuk Pasal Pembunuhan Berencana (atau Pembunuhan Berat) yang dikombinasikan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Hukuman harus melampaui sekadar retribusi; hukuman harus berfungsi sebagai deterren sosial yang menakutkan. Hukuman mati atau penjara seumur hidup adalah harga minimum yang harus dibayar oleh seorang predator yang memanfaatkan otoritasnya untuk merenggut nyawa dan kehormatan.
Jika hukuman ringan dijatuhkan, pesan yang tersampaikan kepada publik adalah: nyawa perempuan dapat dibuang ke sungai, dan kejahatan berlapis bisa dimaafkan dengan narasi kealpaan.
Kita tidak boleh membiarkan tragedi DO berlalu tanpa mengubah narasi keamanan bagi pekerja perempuan. Sungai Citarum telah menelan satu korban; jangan sampai ia menjadi saksi bisu bagi korban-korban berikutnya.
Apakah kesadaran publik yang didorong oleh kasus ini akan cukup kuat untuk memaksa pemerintah dan korporasi melakukan audit keamanan internal yang radikal? Ataukah kita akan menunggu hingga jasad perempuan berikutnya ditemukan?
Penulis: Oliviana Angelicha Effendy
Penyunting: Chintya Alinda Riskyani