Kota Solo selama ini dikenal sebagai salah satu kota yang mengusung predikat “Kota Ramah Anak”. Sebuah predikat yang secara ideal menjanjikan lingkungan aman, nyaman, dan penuh perlindungan bagi tumbuh kembang anak. Namun, munculnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Solo seolah menampar keras kenyataan. Pertanyaan pun mengemuka: benarkah Solo sudah ramah anak, ataukah label itu hanya sebatas simbol administratif?
Kekerasan Seksual sebagai Darurat
Kekerasan seksual terhadap anak
bukanlah kasus biasa. Ini adalah darurat kemanusiaan. Anak-anak adalah
kelompok rentan yang seharusnya mendapatkan perlindungan penuh dari orang tua,
sekolah, masyarakat, dan negara. Namun ketika kekerasan seksual terjadi,
berarti ada tembok perlindungan yang runtuh.
Darurat ini semakin jelas bila
kita menilik dampaknya. Korban kekerasan seksual bukan hanya mengalami luka
fisik, tetapi juga trauma psikis mendalam: rasa takut, kehilangan kepercayaan,
bahkan gangguan perkembangan kepribadian hingga dewasa. Trauma itu bisa
mengikat mereka seumur hidup. Maka, setiap kasus seharusnya diperlakukan
sebagai sinyal krisis, bukan sekadar angka dalam laporan tahunan.
Antara Predikat dan Realitas
Predikat “Solo Ramah Anak”
seharusnya bukan sekadar slogan yang menghiasi spanduk atau piagam penghargaan.
Ramah anak artinya kota menjamin zero tolerance terhadap segala bentuk
kekerasan, terutama kekerasan seksual. Namun realitasnya, kasus-kasus yang
mencuat menandakan masih ada celah besar dalam sistem perlindungan.
Kota boleh saja menyandang label, tetapi jika anak-anak masih merasa tidak aman di lingkungan sekolah, di rumah, bahkan di tempat umum, maka predikat itu kehilangan makna. Label “ramah anak” tanpa perlindungan nyata hanya akan menjadi kontradiksi yang menyakitkan bagi korban dan keluarga mereka.
Akar Masalah yang Perlu Disorot
Ada beberapa faktor yang memperparah situasi ini:
1. Minimnya edukasi
seksualitas yang sehat sejak dini, sehingga anak tidak mengenali tanda
bahaya dan tidak tahu cara melapor.
2. Kultur tabu yang
membuat keluarga enggan membicarakan atau melaporkan kasus, sehingga banyak
kekerasan seksual tersimpan dalam diam.
3. Lemahnya pengawasan
lingkungan, baik di sekolah maupun masyarakat, yang membuka peluang
terjadinya pelecehan.
4. Proses hukum yang berbelit dan kadang tidak berpihak pada korban, membuat kepercayaan publik menurun.
Jalan Keluar: Dari Pencegahan hingga Penindakan
Menghadapi situasi darurat ini, Solo tidak boleh hanya mengandalkan predikat “ramah anak”. Dibutuhkan langkah nyata dan konsisten:
* Edukasi seksualitas yang
komprehensif di sekolah dan keluarga, disampaikan sesuai usia anak, agar
mereka mampu melindungi diri.
* Penguatan layanan pengaduan
cepat dengan sistem ramah anak yang mudah diakses, termasuk jalur digital.
* Pendampingan psikologis jangka panjang untuk
korban agar mereka bisa pulih dan kembali percaya diri.
* Penegakan hukum tegas
tanpa kompromi bagi pelaku, sehingga ada efek jera.
* Keterlibatan masyarakat
luas untuk menjadi mata dan telinga dalam pencegahan, karena perlindungan
anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah.
Solo tidak boleh menutup mata. Kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah masuk kategori darurat dan harus direspons dengan keberanian politik serta kesungguhan sosial. Jika tidak, klaim “Solo Ramah Anak” hanya akan terdengar sebagai ironi pahit. Kota yang benar-benar ramah anak bukanlah kota yang mendapat penghargaan, melainkan kota yang warganya merasa aman meninggalkan anak-anak mereka bermain, belajar, dan tumbuh tanpa rasa takut.
Penulis: Oliviana Angelicha
Effendy
Penyunting: Lathifah An Najla