Opini: Kekerasan Seksual Anak di Solo, Antara Darurat dan Klaim Ramah Anak - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Opini: Kekerasan Seksual Anak di Solo, Antara Darurat dan Klaim Ramah Anak

Sumber Ilustrasi: Google

 

Kota Solo selama ini dikenal sebagai salah satu kota yang mengusung predikat “Kota Ramah Anak”. Sebuah predikat yang secara ideal menjanjikan lingkungan aman, nyaman, dan penuh perlindungan bagi tumbuh kembang anak. Namun, munculnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Solo seolah menampar keras kenyataan. Pertanyaan pun mengemuka: benarkah Solo sudah ramah anak, ataukah label itu hanya sebatas simbol administratif?

Kekerasan Seksual sebagai Darurat

Kekerasan seksual terhadap anak bukanlah kasus biasa. Ini adalah darurat kemanusiaan. Anak-anak adalah kelompok rentan yang seharusnya mendapatkan perlindungan penuh dari orang tua, sekolah, masyarakat, dan negara. Namun ketika kekerasan seksual terjadi, berarti ada tembok perlindungan yang runtuh.

Darurat ini semakin jelas bila kita menilik dampaknya. Korban kekerasan seksual bukan hanya mengalami luka fisik, tetapi juga trauma psikis mendalam: rasa takut, kehilangan kepercayaan, bahkan gangguan perkembangan kepribadian hingga dewasa. Trauma itu bisa mengikat mereka seumur hidup. Maka, setiap kasus seharusnya diperlakukan sebagai sinyal krisis, bukan sekadar angka dalam laporan tahunan.

 Antara Predikat dan Realitas

Predikat “Solo Ramah Anak” seharusnya bukan sekadar slogan yang menghiasi spanduk atau piagam penghargaan. Ramah anak artinya kota menjamin zero tolerance terhadap segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual. Namun realitasnya, kasus-kasus yang mencuat menandakan masih ada celah besar dalam sistem perlindungan.

Kota boleh saja menyandang label, tetapi jika anak-anak masih merasa tidak aman di lingkungan sekolah, di rumah, bahkan di tempat umum, maka predikat itu kehilangan makna. Label “ramah anak” tanpa perlindungan nyata hanya akan menjadi kontradiksi yang menyakitkan bagi korban dan keluarga mereka.

Akar Masalah yang Perlu Disorot

Ada beberapa faktor yang memperparah situasi ini: 

1. Minimnya edukasi seksualitas yang sehat sejak dini, sehingga anak tidak mengenali tanda bahaya dan tidak tahu cara melapor.

2. Kultur tabu yang membuat keluarga enggan membicarakan atau melaporkan kasus, sehingga banyak kekerasan seksual tersimpan dalam diam.

3. Lemahnya pengawasan lingkungan, baik di sekolah maupun masyarakat, yang membuka peluang terjadinya pelecehan.

4.  Proses hukum yang berbelit dan kadang tidak berpihak pada korban, membuat kepercayaan publik menurun.

 Jalan Keluar: Dari Pencegahan hingga Penindakan 

Menghadapi situasi darurat ini, Solo tidak boleh hanya mengandalkan predikat “ramah anak”. Dibutuhkan langkah nyata dan konsisten:

* Edukasi seksualitas yang komprehensif di sekolah dan keluarga, disampaikan sesuai usia anak, agar mereka mampu melindungi diri.

* Penguatan layanan pengaduan cepat dengan sistem ramah anak yang mudah diakses, termasuk jalur digital.

*  Pendampingan psikologis jangka panjang untuk korban agar mereka bisa pulih dan kembali percaya diri.

* Penegakan hukum tegas tanpa kompromi bagi pelaku, sehingga ada efek jera.

* Keterlibatan masyarakat luas untuk menjadi mata dan telinga dalam pencegahan, karena perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah.

 Solo tidak boleh menutup mata. Kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah masuk kategori darurat dan harus direspons dengan keberanian politik serta kesungguhan sosial. Jika tidak, klaim “Solo Ramah Anak” hanya akan terdengar sebagai ironi pahit. Kota yang benar-benar ramah anak bukanlah kota yang mendapat penghargaan, melainkan kota yang warganya merasa aman meninggalkan anak-anak mereka bermain, belajar, dan tumbuh tanpa rasa takut.

 

Penulis: Oliviana Angelicha Effendy

Penyunting: Lathifah An Najla

 

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done