Latar Belakang
Publik dikejutkan oleh
kasus La Ode Litao alias La Lita, yang sejak 2014 berstatus sebagai DPO (Daftar
Pencarian Orang) dalam kasus pembunuhan anak bernama Wiranto. Meskipun begitu,
ia berhasil lolos seleksi administrasi pemilu, memperoleh SKCK (Surat
Keterangan Catatan Kepolisian), menjadi calon legislatif, dan bahkan dilantik sebagai
anggota DPRD Kabupaten Wakatobi periode 2024-2029.
Permasalahan
Administratif dan Legal
1. Penerbitan SKCK
meskipun status DPO
SKCK merupakan surat
keterangan resmi dari Polri yang menyatakan ada atau tidaknya catatan kejahatan
seseorang. Namun, dalam kasus Litao, meski sudah lama ditetapkan sebagai DPO,
SKCK tetap dapat diterbitkan dan tidak mencantumkan status buronan tersebut.
Hal ini menunjukkan kelalaian dalam verifikasi data kepolisian yang seharusnya
menjadi fungsi utama penerbitan SKCK.
2.Proses administrasi
pemilu yang memungkinkan caleg dengan status buronan lolos verifikasi
Partai politik dan KPU
sebagai penyelenggara pemilu berkewajiban memverifikasi administratif calon
legislatif, termasuk memeriksa kelengkapan dokumen dan kemampuan calon memenuhi
syarat hukum. Dalam kasus ini, verifikasi tersebut tampak gagal mendeteksi
status DPO yang bersangkutan.
3. Keterlambatan
Penegakan Hukum
Putusan pengadilan
terhadap pelaku lain telah ada sejak 2015, status Litao sebagai DPO sudah
ditetapkan, tetapi baru pada Agustus 2025 dikeluarkan surat penetapan tersangka
secara resmi oleh Polda Sultra.
Peraturan dan Norma Hukum
yang Diduga Dilanggar
Berikut adalah peraturan-perundangan yang
relevan dan bisa dijadikan dasar jika ada pelanggaran administratif atau pidana
dalam kasus ini:
Peraturan
1. Peraturan Kapolri
Nomor 18 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penerbitan SKCK
Isi / Kewajiban yang
Relevan
Mengatur prosedur,
verifikasi catatan kepolisian, biodata, data tentang apakah seseorang terlibat
tindak pidana atau memiliki catatan kriminal. SKCK harus mencerminkan catatan
yang valid dan terkini.
Potensi Pelanggaran dalam
Kasus
Mungkin tidak langsung
terkait, tapi jika prosedur administratif terabaikan, berpontensi pelanggaran
terkait penyalahgunaan penerbitan dokumen.
2. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Isi / Kewajiban yang
Relevan
Mengatur persyaratan
calon legislatif, verifikasi calon, dan keadilan pemilu. UU ini mewajibanagar
calon tidak memiliki hambatan hukum yang signifikan yang dapat membahayakan
kelayakan mereka sebagai wakil rakyat.
Potensi pelanggaran kasus
Jika calon yang masih
buron atau tersangka aktif tidak layak menjadi calon atau lolos verifikasi, UU
Pemilu bisa dilanggar, baik administratif maupun dalam asas pemilu yang bersih
dan adil.
Reaksi dan Tuntutan
Keluarga korban sangat
kecewa dan menolak keras fakta bahwa seseorang yang selama bertahun-tahun buron
karena kasus pembunuhan anak kini duduk sebagai wakil rakyat. Mereka
mempertanyakan bagaimana proses administratif seperti penerbitan SKCK, dapat
“melewati” status buronan.
Publik menuntut agar
lembaga kepolisian, partai politik, dan KPU memberikan penjelasan transparan serta
pertanggungjawaban atas kelalaian administratif ini.
Penegak hukum (Polda
Sultra) telah menerbitkan surat penetapan tersangka nomor
Tap/126/VIII/RES.1.7/2025 dan menyatakan akan memanggil Litao untuk proses
hukum lanjut.
Kesimpulan
Kasus ini menunjukkan meski
kerangka regulasi sudah ada, dalam praktiknya terdapat celah dan kelalaian
operasional: kurangnya integrasi data, verifikasi yang tidak menyeluruh, dan
kelemahan dalam mekanisme pengawasan administrasi pemilu. Untuk menjaga
keadilan, diperlukan:
1.Penegakan hukum yang
konsisten dan tanpa tebang pilih.
2.Peningkatan sistem
verifikasi data Polri / kepolisian dengan cross-check status pencarian orang
(bila ada).
3. Partai politik dan KPU
harus lebih teliti dalam memeriksa latar belakang calon legislatif.
4. Transparansi publik
terhadap dokumen-dokumen perkara, SKCK, dan verifikasi administratif calon legislatif.
Penulis: Oliviana
Angelicha Effendy
Penyunting: Chintya
Alinda Riskyani