Arunika di Langit Braga: Pralaya Sebuah Ingatan - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Arunika di Langit Braga: Pralaya Sebuah Ingatan

 

Sumber: Pinterest

Hujan baru saja pamit, meninggalkan jejak embun di kaca jendela toko-toko tua yang berjajar di sepanjang Braga. Langit Bandung menggurat warna jingga keemasan—arunika, cahaya suci pagi yang datang terlambat, menyapu atap-atap kolonial dengan lirih.

Raka berdiri di bawah teras bergaya art deco, menggenggam kamera analog tua seperti menggenggam masa yang belum selesai. Aroma tanah basah, wangi kopi dari kedai kecil, dan desir langkah orang-orang melebur menjadi satu kesunyian yang bersuara.

Kemudian ia melihatnya.

Perempuan itu.

Berjalan tenang dari balik kabut tipis, mengenakan gaun biru tua seperti malam yang pernah jatuh di hatinya. Rambutnya diterpa angin barat, dan di matanya, seperti tersimpan danau purba yang diam. Ada sesuatu pada sosoknya yang tak hanya cantik—tapi akrab. Seolah telah hadir dalam tidur panjang atau dalam doa-doa yang tak pernah selesai dilafazkan.

Klik.

Raka menekan tombol kamera. Ia terdiam. Ia gemetar.

Perempuan itu menoleh. Dan ketika mata mereka bersitatap, waktu yang selama ini berjalan diam-diam, mulai mundur.

“Aku mengenalmu,” ucap Raka, nyaris tanpa suara, seperti membaca mantra yang tertulis pada dinding jiwanya sendiri.

“Aku Aluna,” jawabnya, dan namanya meluncur seperti sungai di tengah padang malam.

Langkah mereka menyatu di trotoar tua, berjalan di antara warung lukisan, toko buku antik, dan puing kenangan yang masih menyala di jendela kaca. Raka mendengar suaranya bercerita—tentang hujan yang turun tanpa sebab, tentang langit yang menyimpan rahasia, tentang seseorang yang tak pernah benar-benar pergi.

Namun yang membuat dadanya bergetar adalah:

Ia tahu cerita itu.

Ia pernah mendengarnya. Dalam hidup lain. Dalam waktu yang telah luluh.

“Mungkinkah kita pernah berjalan di sini sebelumnya?” bisik Raka, lirih.

Aluna memandang ke langit. “Atman kita—jiwa terdalam kita—pernah saling menemukan. Tapi waktu adalah labirin. Dan cinta, kadang tersesat.”

Raka diam. Angin melintas, membawa bunyi daun dan bau nostalgia. Di kejauhan, lonceng gereja berdentang.

“Dan kamu datang kembali?”

“Karena masih ada yang belum selesai,” jawabnya.

Langit semakin temaram, menyisakan warna tembaga. Cahaya lampu mulai menyala, memantul di genangan air seperti bintang-bintang kecil yang tersisa dari langit yang patah.

Mereka duduk di bangku kayu dekat Jalan Asia Afrika.

“Aku merasa... semua ini sudah pernah terjadi,” lirih Raka.

“Karena ini adalah pralaya, Raka. Bukan kehancuran... tapi lenyapnya batas antara kini dan dulu.”

Raka menatapnya lekat-lekat. Dan untuk pertama kalinya, ia tahu. Ia tahu ia pernah kehilangannya. Dalam kehidupan yang lain. Dalam tubuh yang lain. Tapi jiwa mereka tetap sama—masih mencari, masih menunggu.

Ketika Aluna berdiri dan perlahan melangkah menjauh, tubuhnya seakan menyatu dengan kabut malam yang turun.
“Aluna…” panggilnya, nyaris panik.
Ia menoleh, kemudian tersenyum. “Cari aku… di antara arunika dan hujan. Aku selalu di sana.”

Dan ia pun lenyap, seperti kabut yang tak pernah benar-benar bisa ditangkap.
Raka menatap kamera di tangannya. Ia memutar roll film pelan.
Dan di sana dalam selembar bingkai cahaya Aluna tersenyum.
Senja di Braga menjadi sunyi. Tapi indah.
Bandung bukan sekadar kota. Ia altar kenangan. Tempat takdir mengulang kisah.
Dan Raka tahu:
setiap arunika akan membawanya kembali.
Mencari yang belum sempat selesai.


Penulis       : Oliviana Angelicha Effendy
Penyunting : Ghulamy Tathmainul Qalby

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done