Dendam - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Dendam

 

Ilustrasi: Nova Wisnu Murti

 

"Bedebah!!.. (Brakkkkk)”

Aku menghela nafas, bukan hal baru lagi mendengar teriakan dari rumah sebelah. Aku bahkan bingung, bagaimana bisa mereka hidup dengan teriakan-teriakan itu. Aku merasa heran karena bukan hanya sehari dua hari, tapi sering mendengarnya semenjak aku pindah kemari. Terhitung sejak 4 bulan lalu hidupku benar-benar diiringi oleh teriakan mereka. Aku sempat berfikir, apakah gadis yang tinggal disana tidak merasa depresi? Aku yang hanya mendengar dari jauh saja rasanya sangat frustasi.

Ah, aku Ten. Aku bekerja sebagai salah satu dokter bedah di rumah sakit kota ini. Ya, seperti yang aku katakan, baru 4 bulan aku dipindahtugaskan kemari. Minggu-minggu awal aku tinggal disini rasanya sangat memuakkan, tapi aku bertahan. Karena aku benar-benar kesulitan mencari tempat tinggal lain, sehingga aku dengan sangat terpaksa tetap tinggal di samping rumah yang penuh teriakan itu.

Tapi, untungnya gadis yang tinggal di rumah itu adalah gadis yang cantik. Setidaknya keterpaksaanku sedikit membuahkan hasil. Aku tinggal sendiri disini. Yah, karena aku memang hidup sendiri. Kedua orang tuaku meninggal dunia akibat kecelakaan lima tahun lalu, saat itu aku belum menjadi dokter seperti sekarang. 

"Hemm, selamat pagi nona" Sapaku, saat melihat gadis samping rumah berjalan keluar, seperti hendak membuang sampah, mungkin. Dia tidak menjawabnya, hanya tersenyum tipis lalu menganggukan kepala dan kembali ke dalam rumah, pikirku. Mungkin karena ini sudah malam, teriakan dari rumahnya juga sudah tidak terdengar. Aku melanjutkan langkah untuk masuk, karena tubuh rasanya lelah sekali setelah seharian menghadapi pasien. 

Pagi ini aku bangun seperti biasa, pergi mencuci muka dan menggosok gigi lalu olahraga sebentar. Meski hari ini aku libur, tapi entah kenapa alam bawah sadarku selalu mengingatkan untuk melakukan kebiasaan ini. 

"Hei nona, sudah mau berangkat untuk bekerja?" Ah, aku bertemu dengannya lagi. Dan dia hanya menjawab dengan senyum tipis serta anggukan. 

"Emm, bolehkah aku tahu namamu?" Aku kembali bertanya, sembari melihat dia menutup gerbang rumahnya. Karena jujur saja, selama 4 bulan aku tinggal disini, aku tidak mengenal siapapun.

"Tentu, saya Lili." Akhirnya dia menjawabku, aku memang sering melihat dan menyapa nya, namun hanya senyuman tipis atau anggukan yang dilakukannya sebagai balasan. 

"Ah, Lili. Namaku Ten," Aku menjawab nya karena aku yakin dia juga belum tahu namaku. 

"Ya, baik dokter Ten. Kalau begitu saya permisi." Dia menjawab sambil menoleh kearah jam tangan dan beranjak.

"Jangan terlalu formal, panggil saja Ten. Baiklah, hati hati". Aku tidak menahannya, karena memang ia terlihat terburu-buru. Dia juga hanya mengangguk sebagai balasan. 

“(Brakkkkkkkkk)”

Belum sempat aku beranjak untuk kembali kedalam rumah, aku dikejutkan oleh suara gebrakan dari rumah Lili. Aku ingin seperti biasanya untuk tidak peduli, tapi rasanya kali ini aku harus memeriksanya. Siapa tahu ada yang bisa ku bantu. 

“(Tok tok tok)”

Aku mengetuk pintu rumahnya, karena pagar rumah tidak terkunci, aku langsung saja menuju pintu depan. 

"Ah Dokter muda, ada yang bisa saya bantu?“ Aku sempat terkejut, karena tidak lama setelah ketukanku, seorang lelaki paruh baya membuka pintu dengan keadaan yang tidak baik. Bagaimana tidak? wajahnya memerah, ada beberapa sobekan di baju nya, bahkan sudut bibirnya terluka. Mungkin dia ayah Lili. 

"Tidak paman, aku mendengar gebrakan. Oh, apakah paman baik-baik saja? Mungkin aku bisa membantu paman mengobati luka". Aku menjawabnya sambil sedikit melirik kedalam rumah, namun sepertinya lelaki ini menyadari tatapanku, terbukti dia menjadi melangkah keluar dan langsung menutup pintu. 

"Itu hanya suara kursi jatuh, dokter. Tidak apa-apa, tidak perlu. Saya bisa mengobati ini sendiri. Lebih baik dokter kembali saja". Aku merasa ada yang tidak beres, tapi aku menurut. Setelah berpamitan, aku kembali ke rumah untuk melanjutkan aktifitas hari liburku. 

Satu bulan setelah perkenalanku dengan Lili, aku tak lagi menemuinya. Bahkan melihatnya, haha entahlah, tapi aku cukup rindu dengan senyum tipisnya. Teriakan-teriakan di rumahnya juga berkurang. Aku sedikit khawatir, tapi juga tidak bisa sembarangan berkunjung. Karena sejujurnya 1 minggu ini aku selalu pergi pagi dan pulang pada tengah malam.

Tentu saja mereka sudah tidur, jadi mana bisa aku datang bertamu. Tapi syukurnya pada hari dimana kami berkenalan, aku bisa bertemu lagi dengannya sehingga aku bisa mendapatkan nomornya. Dan kami mengobrol lewat pesan. 

Setelah turun dari mobil, aku bergegas masuk kedalam rumah dan menuju kamar membersihkan tubuhku. Ini masih pukul 7, jadi aku berencana  berkunjung kerumah Lili. Ah tidak sabar rasanya. 

“(Tok tok tok)”

Aku mengetuk pintu rumahnya, dengan membawa bingkisan, aku harap kedatanganku tidak membuat mereka terganggu. 

“(Ceklek)”

"Mwo, Ten. Ada perlu apa?" Aku tersenyum lega, karena ternyata yang membuka pintu adalah Lili. 

"Tidak ada, aku hanya berkunjung. Apakah mengganggumu?" Aku sedikit basa basi, karena melihat perubahan wajahnya setelah mendengar jawabanku

"Ah, sebentar.. "

"Siapa yang datang, eoh?" Belum selesai Lili menjawab, suara seseorang terdengar berteriak dari dalam rumah. 

"Oh, rupanya dokter muda. Mari-mari silahkan, kenapa tidak kau ajak masuk Lili?" Lili hanya diam sembari menyingkir untuk mempersilahkan aku masuk. 

"Silahkan duduk dokter muda, ah namaku Jessi. Kau bisa memanggilku Bibi Jes." Perempuan itu kembali berucap, kulihat Lili langsung melangkahkan kakinya menjauh dari ruang tamu. 

"Baik bibi, jangan terlalu formal, panggil saja saya Ten. Eoh, ini ada sedikit bingkisan. Semoga Bibi suka." Aku menyerahkan bingkisan kepada perempuan itu. 

"Hmm terimakasih banyak nak Ten. Maaf merepotkanmu, kau tunggu disini eoh, mungkin Lili sedang membuatkan minum. Bibi masih harus mengurus beberapa hal di dalam." Perempuan itu beranjak. Dan tak lama setelah itu Lili datang membawa minuman dan beberapa camilan. 

"Minumlah Ten. Maaf, karena hanya ada teh dan camilan". Lili meletakkan gelas dan camilan yang dibawanya, setelah itu beranjak untuk duduk di kursi depanku. 

"Eoh, ini sudah lebih dari cukup." Aku menjawabnya sembari mengambil teh dan meminumnya sedikit. 

Mungkin karena sebelumnya kami sudah pernah mengobrol melalui pesan, malam itu kami tidak merasa canggung. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari pekerjaan yang kami geluti selama satu bulan ini, sekolah bahkan juga tentang hobi. 

"Bedebahhh, buka matamu. Ayo bangun," Tepat saat jam menunjukan pukul 9, tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam. Lili bergegas menuju suara itu, aku mengikutinya. Aku ikut mengehentikan langkah seperti yang dilakukan Lili, terdiam dan menatap kedepan dengan pandangan kaku. 

Perempuan yang beberapa waktu lalu mengajakku berbicara, terbujur kaku diatas tempat tidur dengan mulut penuh busa. Sedangkan lelaki didepannya terus mencaci nya dengan kata kata kasar. Aku menelan ludah dengan susah payah, Lili sudah meluruh di lantai. Menatap dengan pandangan kosong. Aku bingung, sungguh. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. 

"Heiiii cepat buka matamu. Jangan hanya terdiam." 

"Sialann, ini pasti karenamu. Kemari kau, kubunuh saja kau." Oh tidak, entah bagaimana caranya, lelaki itu tiba-tiba mendekat kearah Lili sambil dengan menodongkan pisau. Dengan cepat aku menendang lelaki itu dan menarik Lili untuk mengikutiku bersembunyi. 

"Haaaaaaaaa sialannnnn, kembali kau." 

"Hahahahahahah kalian tidak akan bisa lari dariku." Sial, dia menemukanku dan Lili. Dengan cepat aku keluar dan mencoba melawannya. Setelah beberapa menit, akhirnya aku bisa membuatnya pingsan. Aku segera mengajak Lili untuk kembali kerumahku. 

"A.. Aaku takut Ten, bba... bagaimana jika ayahku.. " Hah, ternyata lelaki itu Ayahnya, oh itu berarti wanita tadi adalah ibunya. 

"Tenang Lili, kau tidak sendiri. Aku berjanji akan selalu bersama mu." Aku memotong ucapannya, aku berusaha meyakinkannya. 

Beberapa bulan setelah kejadian itu, kini Lili tinggal dirumah yang berbeda, namun masih berada di komplek yang sama. Lili sudah menjelaskan, bahwa Ibunya memang seseorang yang tempramental, teriakan dan suara gaduh dulu berasal dari suara ibunya. Lili berkata, ibunya selalu marah pada Ayahnya karena tidak memiliki pekerjaan tetap.

Berbicara tentang Ayahnya, saat ini Ayahnya menghilang, Ibu Lili tentu saja sudah dikebumikan. Aku masih berhubungan baik dengan Lili, malah kami semakin dekat. Dia selalu menceritakan semuanya padaku, begitu pun aku. Namun, satu ada hal yang aku sembunyikan dari Lili. Karena aku tidak ingin merusak pertemanan ini. 

Aku beranjak menuju salah satu ruangan di rumahku, menempel 1 lembar foto pada papan yang ada di sudut ruangan. Kemudian mengambil pisau yang kusimpan di salah satu laci yang tergabung dibawah papan tersebut. 

"Hah, paman. Bagaimana? Hari ini aku sedang malas bekerja, Lili juga sedang tidak ada dirumahnya. Aku bosan, paman ingin main apa eoh?".

"Ku mohon jangan dokter muda, aa.. Akuu tidak kuat lagi." 

Hahaha benar. Ayah Lili menghilang, karena setelah berhasil menenangkan Lili dan membuatnya tidur malam itu, aku segera menculik Ayahnya. Dan disinilah dia sekarang. Aku menekan nekan ujung pisau ku. Rasanya sungguh menyenangkan melihat mainanku ketakutan. 

“(Swoshhhhhhhhh)”

"Aaaaaaakh." Berlebihan sekali, padahal aku hanya mengupas sedikit kulit lengannya. 

"Ah, apakah sakit paman? Ah aku akan mengobatinya. Paman tenang eoh." Aku berucap sembari bergegas mengambil alkohol yang tersimpan di dekat kursi tempatnya duduk. 

"Akkkhhhh jja.. Jjangan dokter muda. Aa akku moh.. hon." 

"Eoh, tak apa paman." 

“(Byurrrrrrrr)”

Aku menumpahkan alkohol itu dengan sengaja. Ah, aku jadi teringat dengan kedua orang tuaku. Yah, aku menyiksa nya saat ini bukan tanpa alasan. Saat keluargaku kecelakaan dulu, ayah ibuku sangat memerlukan bantuan. Saat itu, meski aku juga bersama mereka dalam kecelakaan, namun aku masih bisa mempertahankan kesadaranku.

Aku masih ingat ayah dan ibu Lili melintas dan melihat keluargaku yang bersimbah darah, namun mereka tak mempedulikan kami. Dan itulah yang membuatku memiliki dendam dalam hati. Seandainya dulu mereka mau menolong kami, mungkin saat ini keluargaku masih utuh.

Hah.. Sebenarnya ibu Lili meninggal karena racun yang kuberikan pada makanan yang kubawa malam itu. Hahaha bukankah ini sempurna? Polisi bahkan tidak memeriksa ku, karena mereka berfikir aku hanya warga baru. Padahal sebenarnya aku sudah tahu mereka, karena semenjak kematian orang tuaku, aku berusaha untuk mencari mereka. Dannnnn hap. Aku mendapatkannya.

 

Penulis: Sinta Rahmalia

Penyunting: Fisterina

 

 

 

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done