Menyoroti Gerakan Intelektual Mahasiswa Masa Kini - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Menyoroti Gerakan Intelektual Mahasiswa Masa Kini

 

Foto: Rynaldi

Dinamika gerakan mahasiswa saat ini tak luput dari gejolak era digital yang kian kuat. Semangat intelektual yang digaungkan mahasiswa sebagai gerakan perubahan menjadi pendobrak transformasi sosial bagi masyarakat di lingkungan mahasiswa. Sedari bangku kuliah, mahasiswa seyogyanya mempunyai gagasan guna menyelesaikan persoalan yang dihadapi bangsa. Akan tetapi, wajah gerakan mahasiswa sebagai gerakan intelektual kerap disematkan mengikuti tren semata, alih-alih melakukan protes sosial dengan berdemonstrasi.

Sudah menjadi nomor wahid, keputusan merupakan prioritas yang diemban mahasiswa sebagai bagian dari gerakan intelektual. Mahasiswa berperan memproduksi gagasan-gagasan, kritik, memberikan solusi guna menyelesaikan persoalan di masyarakat. Mahasiswa mempunyai landasan kuat  melakukan aktivisme dan menyuarakan aspirasinya. Ihwal geliat gerakan intelektual dapat dibangun melalui berjejaring, memperkuat solidaritas agar gagasan yang dibawa mampu mengubah keadaan sosial yang ada di lingkungannya.

Dalam webinar bertajuk “Apa Kabar Gerakan Intelektual Mahasiswa” yang digelar LP3ES pada Rabu (10/11) kemarin, membedah sengkarut gerakan intelektual mahasiswa menjadi pendobrak transformasi sosial di masyarakat serta menyoroti gerakan mahasiswa hanya mengikuti tren semata.

Renie Andriyani menyebutkan, ada 5 corak intelektual mahasiswa. Pertama, intelektual menara gading, mengartikan mahasiswa membaca buku dan berdiskusi hanya untuk keilmuan semata. Dengan demikian, mahasiswa memposisikan diri untuk menuangkan aktivitas berpikir menuangkan gagasan tanpa mengindahkan lingkungan sekitar. Kedua, intelektual tukang, diartikan sebagai pekerja bagi pemilik modal dan penguasa politik tanpa mempertimbangkan empati serta gagasan yang dihasilkan. Ketiga, intelektual resi, terdiri dari pengajar masyarakat namun tak berusaha terlibat memperjuangkan proses transformasi sosial. Keempat, intelektual transformatif, berusaha melahirkan gagasan-gagasan dari proses dialektika sosial dengan lingkungan. Kelima, intelektual integratif, sebagai pemersatu berbagai gagasan kedalam satu visi sebagai tujuan bersama dari gagasan intelektual yang beragam.

Pendidikan menjadi pijakan dimana elan intelektual itu bermuara. Arif Roffiudin, sebagai pegiat garakan mahasiswa dan pelajar di Indramayu menyoroti kesadaran terhadap pendidikan masih kurang. Gerakan intelektual mahasiswa tak hanya belajar untuk diri sendiri, akan tetapi teori tersebut dapat diwujudkan keadaan saat ini. Arif menyayangkan ragam gerakan intelektual organik seperti ditafsirkan oleh Jean Paul Sarte masih dapat dihitung jari.

“Sependek pemahaman saya, beberapa gerakan mahasiswa itu lebih kepada hal yang bersifat seremonial, eksistensial, lebih kepada memperkenalkan dirinya. Tetapi, upaya-upaya , solusi-solusi yang ditawarkan belum mengakar,” kata Arif Roffudin pada webinar yang diselenggarakan LP3ES Rabu (10/11) kemarin.

 

Permasalahan Yang Dihadapi Mahasiswa Sekarang

”Mahasiswa hari ini ternyata banyak yang mengkuti tren, banyak ikut aksi, maka mereka ikut aksi,” kata Renie Andrayani yakni pegiat di BEM STHI Jentera, menyoroti keadaaan gerakan mahasiswa saat ini tak pantas sebagai kelompok intelektual. Renie turut menyayangkan minat baca mahasiswa hari ini dengan mempertanyakan dasar pernyataan ketika turun ke jalan (berdemonstrasi) tanpa minat baca, serta menunjukkan beberapa mahasiswa kerap menggunakan joki skripsi.

Menyoroti keadaan sekarang, mahasiswa dinilai tanpa melakukan kajian menyeluruh mengenai sebuah isu, kurangnya bacaan mendalam, menjadi permasalahan yang kerap dihadapi mahasiswa. Dasar mahasiswa menjadi kaum intelektual adalah membaca tak sekadar menjadi resi.

Sarah Monica dari Abdurahman Wahid Center Pluralism and Humanity, Universitas Indonesia menyebutkan, ada penyesatan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan intelektual kerap diidentikkan sebagai demonstrasi mahasiswa. Sarah turut menyebut, gerakan intelektual sekarang hanya mengikuti tren, sermonial belaka, meyakini hanya sebagian mahasiswa melakukan kesadaran intelektual sebagai usaha melakukan sebuah perubahan dengan gerakan.

Arif menilai, era digital saat ini mendekatkan pada kemageran, segala kemudahan dapat dilakukan dengan gawai, menjadi kebiasaan untuk bermalas-malasan, “Kalau kita kurang bergerak, kurang ada revolusi. Jadi, jangan sampai kaum muda, kaum milenial sebagai bagian dari bonus demografi ini harus banyak bergerak,” kata Arif dikutip dari tayangan kanal YouTube LP3ES bertajuk “Apa Kabar Gerakan Intelektual Mahasiswa”.

Berkaca ke era orde baru, yang menjadi puncak gerakan intelektual dan gerakan advokasi waktu itu mereka menyadari adanya musuh bersama. Akan tetapi, berbeda di era sekarang, berjejal isu, terpaan problematika gerakan yang  tercerai-berai membuahkan gerakan intelektual mahasiswa tak bersatu, tak melulu berjejaring.

“Mungkin sekarang banyak isu, terlalu banyak problematika, dan akhirnya ini menjadi gerakan-gerakannya tidak parsial, tidak begitu berjejaring antara satu gerakan dengan gerakan lain,” kata Sarah.

Renie Andrayani memaparkan, 3 jenis persoalan gerakan mahasiswa masa kini. Pertama, kepekaan sosial, Renie menilai beberapa organisasi yang berada di daerah masih kurang membaca situasi sosial, tak bisa membedakan peristiwa itu darurat atau tidak. Renie menandai organisasi daerah lebih mengawal isu nasional daripada persoalan yang ada di daerahnnya. Kedua, alergi pembaharuan, dalam lingkungan organisasi takut menerapkan nilai-nilai kesetaraan, ketimpangan terjadi karena relasi kuasa karena senioritas. Ketiga, maskulinitas rapuh, anggapan ini muncul bahwa segala protes harus melakukan kekerasan sampai ego sektoral menjadi tabiat keserakahan. Takutnya, penerapan nilai inklusif dalam gerakan, dominasi dan diskriminasi kerap terjadi di gerakan mahasiswa. Di era digital, bayang-bayang ketakutan menghadapi UU ITE juga kerap terjadi tatkala bersuara menyuarakan pendapat di jagad maya.


Membaca sebagai Roh Intelektual

Yang menjadi fokus gerakan intelektual  untuk melakukan sebuah transformasi sosial guna menyuarakan kebenaran terhadap sebuah ketidakadilan oleh negara dapat berangkat dari membaca. Berpikir kritis serta giat menulis menghasilkan kerangka berpikir hingga penyampaian terstruktur dan logis. Sarah menjelaskan, bahwa sebagian intelektual tak hanya menjadi menara gading. Merujuk para filsuf-filsuf seperti Friedrich Nietzsche, Jean Paul Sarte, dan Karl Marx tak membuat gerakan, melainkan melaui tulisan mereka dapat mengilhami pembacanya, melalui bacaan-bacaan kritis pembaca memperoleh perangsang kajian intelektual.

“Jadi, menurut saya tidak salah kalau ada akademisi atau intelektual yang mereka berfokus pada kajian kritis. Perannya membaca, menulis, berpikis kritis, menjadi filsuf tidak masalah, karena tidak semua intelektual tidak turun ke jalan (demonstrasi). Namun mereka bisa menggugah sebuah gerakan,” papar Sarah yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia.

Usaha memperbaiki teori yang ada, yang sudah diproduksi para pemikir dan filsuf menjadi renungan bagi para mahasiswa untuk fokuskan studi dibidang humaniora seperti filsafat, antropologi, dan sosiologi guna menghasilkan pemikiran selaras dengan keadaan sekarang. Cara diskusi turut menjadi arena wacana dari pemikiran-pemikiran mahasiswa. Budaya diskusi merangsang semangat intelektual mahasiswa secara langsung melalui jejaring ilmu pemikiran kritis yang berasal dari bacaan bermutu.

“Fungsi pengetahuan juga harus seperti itu, artinya, bergerak dinamis atas pemikiran yang sudah ada sebelumnya,” kata Sarah.


Penulis: Rynaldi Fajar

Penyunting: Nova Wisnu Murti

Foto: Rynaldi/Apresiasi

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done