isa rima
Bisikan pelan di antara teriakan lantang garda depan pembela keadilan. Harapan kecil di tengah-tengah tantangan besar kaum centekia. Ia memekik, dan tak seorang pun melihatnya.
Di pinggir jalan, di bangku bekas halte yang atapnya bolong sebelah, laki-laki itu mengipas tengkuk yang basah oleh keringat dengan topi lusuh. Becak orang tuanya terparkir miring, tak jauh dari tempatnya menyelonjorkan kaki. Kain kumal di lehernya itu sekali-duakali dipakainya untuk mengusap dahi, leher, lalu tangan dan siku. Serak teriakan massa di jalan raya sana hanya terdengar satu-dua kata di kupingnya. Rombongan itu tak lama lagi lewat sini. Begitu kata kawan-kawan yang menjajakan minuman termos besar di pundaknya ketika bertemu di perempatan tadi. Kawannya yang berbaju partai (entah tahun berapa) itu baru saja turun dari bis antar kota ketika Karmin, si lelaki paruh baya, berhenti mengayuh becaknya. Entah dari mana informasi itu dia dapat. Mungkin dari mahasiswa yang biasa nongkrong
di angkringan dekat terminal itu, atau dari kuping-kuping lain yang turut mendengarkan. hampirkiraan kawan lama itu tak meleset barang seinci. Puluhan manusia berbaju putih-putih dengan muka coreng moreng berduyun-duyun memenuhi perempatan, pertama bergandeng tangan. Menghadapi gerombolan manusia lain dalam jumlah lebih sedikit yang kini berdiri di atas pick up . Gagah dengan kepalan tangan beruratnya. Berteriak, entah tentang apa.
Lelaki itu mendengarnya seksama. Mencoba memahami, walau hanya sedikit-sedikit. Kalau ia tak salah tangkap, kiranya mereka tengah mengangkat masalah ‘dagelan’ pemerintah. Guyonan pelik yang belakangan ini sering muncul di tv bututnya di rumah.
Lantang. Dalam gaung, dengan rentetan bunyi klakson kendaraan besar mengekor di belakangnya. Jalan tertutup, akses tersendat, lalu opini disuarakan. Pasal dunia, yang yakinlah seyakin-yakinnya, telah mereka khatamkan kemarin lusa.
Mereka bicara, dengan telunjuk teracung tinggi-tinggi, masih, dengan tangan kekar yang sama. Yang menghitam oleh hujaman terik. Ah, laki-laki itu... ia mengenalnya. Meski tak lebih dari identitasnya sebagai mahasiswa yang tak absen mengunjungi angkringan Mbok Darmi samping terminal. Meski... eksistensinya sebagai paruh baya penarik becak di antara kawan seprofesi lainnya tak lebih dari sebutan para.
Para pekerja, para bapak, para penarik becak, para tulang punggung, atau entah kata-kata lain yang mungkin terlintas sepanjang eksistensinya.
“Min!” Suara melengking yang tak terdengar asing memanggilnya dari jalan kecil samping swalayan, berlawanan arah dengan kerumunan massa yang tengah berunjuk rasa. Karmin tersenyum masam mendapati kawan seprofesinya yang baru saja kembali dari mengantar penumpang. Setengah senang karena ada kawan mengobrol, setengah lagi menyesalkan kesempatannya mendapatkan penumpang berkurang separuh.
Kayuhan pedal pada becak yang tak kalah tuanya itu terhenti sebelum ujungnya menyentuh bangku halte. Si empu-nya turun dengan sigap, terlampau sigap untuk usianya yang tak terbilang muda, lantas duduk di sisi bangku yang atapnya bolong.
“Hahh... capek kali aku. Banyak betul bawaan ibu tadi. Mana cerewet pula.” Lagi, Karmin tersenyum masam. Setengah karena ia sendiri belum mendapatkan penumpang, setengah lagi barangkali karena kawan beruntungnya itu justru mengeluhkan pelanggannya.
“Apa pula kunyuk-kunyuk itu? Teriak-teriak macam di hutan saja.”
“Jangan begitu, lah.” Ucapan Karmin hanya dibalas dengan tatapan heran dari kawan di sebelahnya.
“Memangnya kau tahu mereka?” lanjutnya, masih dengan tangan yang mengipas tengkuk menggunakan topi lusuh. “Mereka ini, demonstran, Jar. Yang membela kita ya mereka-mereka ini. Coba kalau tidak ada mereka. Kau lihat para penguasa itu—”
“—Ah, apanya yang membela?” kerutan terpatri di antara kedua alisnya. Nampak betul ia tidak setuju. Nadanya meninggi. “Kau lihat itu di belakang sana? Macet total! Segala klakson bunyi semua, yang ada. Mobil-mobil tak bisa jalan gara-gara pahlawanmu ini. Tahu kau?”
“Mereka turun ke jalan demi Indonesia!”
“Lalu kau pikir mereka yang bunyi-bunyikan klakson itu bukan Indonesia?”
Terdiam sejenak, napas Karmin terembus panjang, berusaha meluruhkan ego yang menumbuk langit-langit kepalanya. Ia beranjak dari tempatnya meletakkan pantat, menuju becak yang sedari tadi terjebak dalam kegemingan. Memutarnya berlawan arah, lalu menduduki sadelnya kasar hingga besinya berderak.
“Jar,” Ucapnya sebelum pergi. “Kita ini tak berpangkat. Tak berpendidikan. Harapan kita ya mereka-mereka ini.”
Karmin berlalu, meninggalkan kawannya yang berkutat dengan sumpah serapah di belakang sana. Entah pada siapa. Karmin, kah? Para pendemo, kah? Atau diri sendiri? Sungguh. Mencari tempat lain yang cukup teduh dan tenang meski sepi penumpang lebih baik baginya daripada menetap dan terjebak dalam perdebatan pelik. Dengan otak yang sama-sama bebal begini, titik terang hanyalah imaji. Lirih batinnya mengiba keadilan, di tengah hiruk-pikuk yang semakin membikinnya hilang tertelan arus. Kesunyian yang bahkan tak menenangkan, ketika di sana masih ada empat nyawa yang terduduk, menadah nafkah yang hanya menetes satu-satu. Tak deras macam mereka yang duduk di singgasana. Di tengah sengsara yang menghimpit hidupnya, baginya, setidaknya masih ada mereka yang berani angkat bicara.
Ia terus berlalu, dalam kegemingan bibirnya, mengayuh pedal melewati kerumunan massa. Sembari melirik satu-dua manusia yang berdiri tegap dengan wajah legam penuh peluhnya. Muda pemberani yang ia yakini menjadi tiang penyangga Indonesia merdeka.
FIN