Opini : Eksistensi sebagai Ancaman: Ketika Kebenaran Menjadi Musuh Publik - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Opini : Eksistensi sebagai Ancaman: Ketika Kebenaran Menjadi Musuh Publik


Ada masa ketika tulisan bukan sekadar rangkaian huruf, tetapi bentuk perlawanan yang paling sunyi. Aku menulis bukan untuk didengar, apalagi untuk dipuji. Aku menulis karena diam terlalu sering disalahartikan sebagai setuju. Ada sebuah lembaga, berdiri di persimpangan waktu, seperti menara tua yang dibuat bukan dari batu tapi dari integritas. Lembaga ini bukan sekadar bangunan administratif, bukan kumpulan meja dan kursi, bukan sekadar struktur hierarki di atas kertas. Ia adalah ide—dan ide, ketika terlalu jujur, lebih berbahaya daripada pedang. Ia tidak berusaha membuat orang tunduk lewat kekuasaan, tapi melalui kebenaran yang ia jaga seperti relik suci. Inilah hal yang membuat orang-orang gelisah: ia tidak bisa dibeli, tidak bisa dinegosiasi, tidak bisa dilipat menjadi mainan kekuasaan. Keberadaannya seperti tamparan halus pada wajah mereka yang terbiasa duduk nyaman di singgasana kepalsuan.

Bayangkan ruangan yang sunyi, penuh arsip, data, catatan, kenangan panjang tentang apa yang salah dan apa yang benar. Di sana, lembaga ini menghirup udara dingin setiap hari. Ia menjadi saksi bisu atas kebohongan-kebohongan yang dibangun seperti istana pasir. Dan setiap kali ada angin kebenaran yang berhembus, istana itu runtuh. Bukan salah angin, tapi pasirnya memang rapuh dari awal. Lembaga ini bukan pahlawan, tidak pernah memaksa diri menjadi protagonis. Ia hanya refleksi realitas. Tapi orang-orang yang melihat refleksi itu seperti melihat hantu: mereka ketakutan oleh bayangan diri mereka sendiri. Mereka tidak takut pada lembaga itu… mereka takut terlihat telanjang di hadapan fakta.

Mereka mencoba menertawakan, meremehkan, bahkan menjelekkan lembaga itu dengan rumor, dengan prasangka, dengan opini murahan. Mereka bilang lembaga ini “menakutkan,” padahal yang mereka takutkan adalah kemungkinan bahwa apa yang mereka bangun selama ini tidak murni. Ketakutan yang lahir dari paranoid integritas—karena jika ada satu hal yang paling tidak bisa mereka kuasai, itulah kejujuran. Setiap keputusan yang lahir dari lembaga ini dianggap ancaman, seolah ia membawa petir untuk membakar tatanan mapan. Padahal ia hanya membawa lilin—lilin yang tampak remeh tetapi cukup untuk membuka mata mereka yang sengaja membiarkan dirinya buta. Lucu, bukan, bagaimana setitik cahaya bisa membuat orang buta pura-pura mati? Ada yang bilang lembaga ini antagonis. Ada pula yang menyebutnya musuh perkembangan. Tapi mereka lupa, kemajuan bukan berarti membiarkan kebusukan mengakar tanpa kontrol. Integritas bukan musuh, ia adalah rem yang menghindarkan kita dari jurang kehancuran moral.

Dan yang paling ironis adalah ketika lembaga ini diam, mereka makin gelisah. Ketika lembaga ini bergerak, mereka makin panik. Ketika ia hanya ada dan berdiri saja itu sudah dianggap ancaman. Eksistensinya semata-mata adalah pengingat bahwa masih ada sesuatu yang tidak bisa dimanipulasi oleh narasi, uang, atau kepentingan. Kehadirannya menjadi seperti jarum jam pasir: tidak bisa dipercepat atau diperlambat. Ia berjalan sesuai logika kejujuran, bukan keinginan sekelompok orang. Dan dalam dunia di mana penampilan lebih penting daripada substansi, lembaga ini terlihat seperti makhluk asing. Tetapi justru keberasingan itulah yang membuatnya murni.

Pada akhirnya, lembaga ini bukan monster, bukan hantu, bukan senjata. Ia hanyalah benteng kebenaran di tengah derasnya banjir kepalsuan. Orang menganggapnya mengganggu karena ia meminta mereka menggali nurani yang lama terkubur, orang menganggapnya menakutkan karena ia membongkar tirai ilusi yang selama ini mereka jaga seperti harta karun.

Namun begitulah sifat kebenaran—ia tidak butuh tepuk tangan, tidak butuh sambutan, tidak peduli pada popularitas. Ia hanya perlu berdiri. Dan ketika lembaga ini berdiri, banyak orang menyadari sesuatu yang paling mereka takutkan: bahwa kebenaran, betapa pun dicibir, dikucilkan, dibenci, tetap lebih kuat daripada ambisi mereka yang penuh topeng.

Eksistensi lembaga ini bukan sekadar keberadaan; ia adalah pertanyaan yang menggantung di udara:

Apakah kita benar-benar siap hidup dengan integritas?

Dan banyak yang memilih menjawabnya dengan ketakutan, karena bagi mereka integritas adalah musuh yang paling tidak bisa ditaklukkan.


Penulis Oliviana Angelicha Effendy

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done