Foto sumber : rmol.id
Bencana semestinya menjadi ruang solidaritas.
Namun, di era politik visual seperti sekarang, batas antara kepedulian tulus
dan pencitraan kerap kabur. Dua momen yang ramai dibicarakan publik dalam
beberapa hari terakhir menunjukkan bagaimana respons pejabat dan figur publik
di lokasi bencana bisa memantik kontroversi lebih besar daripada apresiasi.
Salah satu sorotan tajam mengarah kepada
Zulkifli Hasan. Dalam kunjungannya ke lokasi banjir di Sumatera, ia tertangkap
kamera memikul sekarung beras seorang diri. Padahal, sejumlah ajudan terlihat
berada di sekelilingnya. Aksi itu justru menimbulkan tanda tanya: mengapa
memilih mengangkat sendiri ketika banyak staf yang siap membantu?
Respons warganet pun tak lepas dari konteks
rekam jejak politik. Sebagian publik mengingat kembali berbagai kontroversi
kebijakan kehutanan pada masa ia menjabat, yang selama ini masih menjadi isu
sensitif dalam diskursus lingkungan di Indonesia. Akhirnya, aksi memikul beras
yang mungkin diniatkan sebagai simbol kedekatan dengan rakyat justru dibaca
sebagai manuver pencitraan.
Belum selesai pembicaraan mengenai itu, muncul
pula sorotan terhadap kedatangan anggota DPR sekaligus figur publik, Farel
Bramasta, ke lokasi banjir bandang. Ia menggunakan rompi taktis bergaya militer
lengkap dengan nama dan identitas “DPR RI”. Penampilannya memicu reaksi cepat
dari warganet: apakah ini kunjungan bantuan atau simulasi perang?
Foto : Instagram/@bramastavrl
Di media sosial, foto-foto posenya menyebar
luas dan memantik komentar bahwa sesi dokumentasi tampak lebih dominan daripada
aksi kemanusiaannya. Kritik tersebut mempertegas sensitivitas publik terhadap
gestur pejabat di masa krisis—ketika gaya bisa lebih terlihat daripada kerja.
Fenomena ini menandai sesuatu yang lebih
besar: publik sudah semakin peka terhadap simbolisme kosong. Masyarakat
kini menilai bukan hanya apa yang dilakukan pejabat, tetapi bagaimana mereka
melakukannya. Di tengah penderitaan korban, kamera, rompi taktis, dan aksi
dramatis dapat dengan cepat dibaca sebagai eksploitasi visual, bukan
solidaritas.
Tentu, tidak ada yang dapat memastikan apa
motivasi pribadi seseorang dalam aksi kemanusiaan. Namun kritik publik
menunjukkan satu hal: kepercayaan tidak lagi bisa dibangun lewat panggung
atau pose. Yang dibutuhkan korban bencana adalah tindakan nyata, bukan
performa heroik di tengah sorotan kamera.
Pada akhirnya, pertanyaannya kembali ke
publik:
Apakah ini bentuk kepedulian yang tulus?
Atau hanya drama pencitraan untuk tampil
sebagai pahlawan dadakan?
Bencana seharusnya tidak menjadi panggung. Ia
adalah panggilan kemanusiaan—bukan kesempatan estetika.
Penulisnya : Luftwaffe D. Kavinara
Penyunting : Lathifah An Najla