Sumber : Instagram mood Jakarta
Pernyataan resmi Pemerintah
Kabupaten Aceh Tengah mengenai ketidakmampuan menangani darurat bencana
seharusnya mengguncang nurani publik. Ketika sebuah pemerintah daerah sampai
harus menandatangani surat yang pada dasarnya berbunyi “kami tidak sanggup
menyelamatkan rakyat kami tanpa bantuan,” itu bukan hanya persoalan
administratif. Itu adalah alarm keras bahwa ada yang tidak berjalan baik dalam
tata kelola kebencanaan kita.
Surat bernomor 360/3654/BPBD/2025
yang ditandatangani Bupati Haili Yoga bukan sekadar lembaran tertulis. Itu
adalah sebuah pengakuan: bahwa situasi bencana hidrometeorologi di Aceh Tengah
yaitu banjir luapan, banjir bandang hingga tanah longsor—telah melewati batas
kemampuan daerah. Dengan korban jiwa belasan orang, ribuan keluarga mengungsi,
akses jalan terputus, SPBU kosong karena panic buying, dan layanan kesehatan
terancam lumpuh, wajar jika pemerintah daerah angkat tangan. Tidak ada yang
salah dengan mengakui keterbatasan.
Yang salah adalah kenapa kondisi
bisa separah itu sebelum pemerintah pusat hadir?
Tanda Bahaya
yang Sebenarnya Sudah Terlihat Lama. Kita sedang hidup di era bencana yang semakin tidak
menunggu kesiapan. Hujan ekstrem, cuaca tak menentu, dan banjir bandang bukan
lagi kejadian “tak terduga”. Setiap tahun ada pola yang sama: daerah terdampak,
pemerintah kelimpungan, dan pusat datang ketika semuanya sudah runtuh.
Padahal Aceh Tengah bukan kali ini
saja mengalami bencana besar. Minimnya infrastruktur mitigasi, lemahnya
koordinasi, dan bergantungnya daerah pada pusat memperlihatkan bahwa sistem
penanggulangan bencana kita sebenarnya reaktif, bukan proaktif.
Ketika bencana datang, daerah
bergerak sendirian dengan sumber daya yang seadanya. Sampai akhirnya mereka
menyerah—secara resmi.
Pernyataan
“Tidak Mampu”: Keberanian atau Kegagalan Sistem?. Bupati Aceh Tengah berani
mengeluarkan surat yang jujur dan apa adanya. Banyak kepala daerah sering
memilih diam untuk menjaga citra, bahkan ketika rakyat mereka sudah
tenggelam lumpur.
Namun keberanian daerah mengaku
tidak mampu seharusnya tidak berakhir dengan sekadar pujian moral.
Pertanyaannya:
Mengapa sebuah daerah sampai berada
pada titik "tidak mampu"?
Jawabannya tidak sesederhana
“bencananya besar”.
Jawabannya ada pada ketidaksiapan
negara—dalam arti luas—menghadapi krisis ekologis yang frekuensinya
meningkat setiap tahun.
Bencana yang
Terus Terulang,
Tapi Belum Pernah Dipelajari. Jika Aceh Tengah setiap tahun dilanda
longsor, banjir, dan kerusakan lingkungan, maka seharusnya ada strategi
permanen: penguatan infrastruktur, rehabilitasi hutan, edukasi mitigasi, dan
kesiapsiagaan berbasis komunitas.
Namun kita lebih terbiasa melakukan
penanganan setelah bencana, bukan pencegahan sebelumnya.
Setiap tahun kita mengulang pola
yang sama:
bencana → panik → relawan → bantuan darurat →
lupa.
Lalu siklus itu bergulir lagi,
seolah tidak ada pelajaran.
Ketika
Daerah Berteriak, Apakah Negara Mendengar?. Setelah surat itu viral,
pemerintah pusat memang merespons: BNPB turun tangan, provinsi menetapkan
status tanggap darurat, dan berbagai lembaga nasional bersiap membantu. Tetapi
kejadian ini tetap menimbulkan pertanyaan besar bagi kita sebagai warga negara:
Mengapa intervensi baru berjalan
setelah daerah menyatakan ketidakmampuan secara resmi?
Apa negara harus selalu menunggu
kabupaten meminta tolong dulu?
Bencana semestinya tidak dikelola
dengan mental menunggu surat, tetapi dengan sistem yang selalu
siaga.
Pernyataan “tidak mampu” bukanlah
tanda kelemahan sebuah kabupaten. Itu adalah cermin betapa negara ini — dengan
seluruh struktur birokrasi dan anggarannya — masih bergantung pada mekanisme
lambat ketika nyawa rakyat dipertaruhkan.
Aceh Tengah menunjukkan pada kita
bahwa bencana bukan hanya perihal alam, tetapi juga perihal aturan yang
lamban, koordinasi yang kaku, dan ketidaksiapan yang
menahun.
Jika kita terus menganggap bencana
sebagai kejadian dadakan, maka kita akan terus terkejut, terus terlambat, dan
terus kehilangan.
Pemerintah daerah sudah berteriak.
Pertanyaannya: apakah negara
benar-benar mendengar?
Penulis :
Luftwaffe D. Kavinara
Penyunting : Fahra Nautisya Octavia Hany