Foto:voaindonesia
Banjir besar melanda Sumatera, pertanyaan publik muncul
dengan nada getir: kenapa pemerintah
pusat tak juga menetapkan status bencana nasional? keputusan ini dinilai bukan
semata keputusan administratif, melainkan keputusan politis yang sarat
kepentingan.
Di media sosial, banyak warganet beranggapan bahwa jika
status itu disahkan, maka sorotan akan melebar ke sesuatu yang jauh lebih
gelap: jejak panjang eksploitasi sumber daya alam yang sudah lama menjadi
rahasia umum.
Publik menilai ada kekhawatiran bahwa status “bencana nasional” akan
membuka sorotan yang lebih luas soal bagaimana hutan-hutan Sumatera dikeruk,
dikuras, dan ditinggalkan begitu saja setelah nilai ekonominya habis. Sorotan
dunia bukan hanya akan tertuju tentang banjir, tetapi tentang bagaimana negara
mengelola—atau gagal mengelola—lingkungannya sendiri.
Dalam percakapan di warung kopi hingga ruang diskusi aktivis,
memunculkan keluhan yang sama : “Apa
perlu bencana itu melanda keluarga pejabat dulu baru akan disebut nasional?” Ungkapan itu lahir bukan dari kebencian,
tapi dari keputusasaan melihat bagaimana negara menetapkan prioritasnya.
Nama sejumlah pejabat masa lalu pun kembali disebut publik, terutama
mereka yang pernah memimpin kementerian strategis pada masa maraknya izin pelepasan
kawasan. Bukan untuk menyatakan mereka bersalah secara hukum, tetapi untuk
menunjukkan bahwa kebijakan masa lalu memiliki konsekuensi jangka panjang yang
kini ditanggung masyarakat.
Publik menilai bahwa ekspansi perkebunan, tambang, dan izin-izin
industri kehutanan telah lama dibiarkan menggerogoti bentang alam Sumatera. Di balik
tumpukan kayu gelondongan yang pernah keluar dari hutan, banyak warga percaya ada
cerita yang jauh lebih besar dari sekadar faktor alam. Di media sosial beredar
sindiran “Sumatera bukan bencana, tapi rencana.” Rencana yang dimaksud bukan
konspirasi, melainkan rangkaian keputusan politik dan ekonomi yang akhirnya
membentuk lanskap ekologis yang rapuh.
Namun perhatian publik kerap dialihkan oleh hal-hal remeh: berita
selebritas, isu viral, hingga kehilangan barang-barang tak penting.Disaat Sumatera
lumpuh karena banjir, time line justru dipenuhi “isu hiburan” seolah ada
mekanisme otomatis yang membuat persoalan struktural selalu tertutup kabut infotainment.
Kenyataan di lapangan jauh dari glamor. Sementara para pemegang
konsesi dan elite politik menonton televisi dari apartemen mereka yang aman,
warga di daerah terdampak harus bertahan dengan makanan yang semakin menipis. Listrik
padam, jaringan komunikasi terputus, akses terisolasi. Mereka membayar harga
dari kesalahan besar yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa.
Ketika negara bergerak lambat, rakyatlah yang justru muncul sebagai
tulang punggung solidaritas. Influencer kecil, komunitas lokal, UMKM, hingga warga
biasa saling bahu-membahu membantu korban, mengirim logistik, menyebarkan
informasi, dan mengorganisir bantuan. Sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban
negara, tetapi terpaksa dikerjakan masyarakat.
Kerusakan hutan Indonesia bukanlah cerita kecil. Data deforestasi
menunjukkan jutaan hektare hutan hilang hilang. Indonesia menjadi salah satu
negara dengan kehilangan hutan tropis terbesar didunia. Kawasan yang seharusnya
taman nasional, yang dulunya menjadi rumah bagi gajah Sumatera dan ratusan
spesies lain, kini berubah menjadi peta penuh lubang dan perkebunan ilegal. Di
sebagian wilayah, lebih dari 70 persen bentang alamnya sudah berubah fungsi.
Di titik ini, bencana bukan lagi persoalan alam semata, melainkan persoalan
moral. Persoalan keputusan. Persoalan keberpihakan.
Kita tidak sedang menanti
hujan berhenti. Kita sedang menanti keberanian negara untuk mengakui bahwa
banjir ini bukan hanya akibat awan yang pecah, melainkan akibat dari kebijakan yang
longsor.
Selama itu belum diakui, rakyat akan terus merasa bahwa mereka
dibiarkan menghadapi konsekuensi dari kesalahan besar oleh mereka yang memegang stempel kekuasaan.
Penulis : Luftwaffe D. Kavinara
Penyunting : Nazuwa Basalwa