Pernyataan Menteri Sosial
(Mensos) Saifullah Yusuf mengenai kewajiban izin pemerintah dalam setiap
penggalangan dana dengan ancaman denda atau kurungan hingga tiga bulan bagi
kegiatan tanpa izin ini memantik perdebatan luas. Banyak yang mempertanyakan bagaimana
negara seharusnya mengatur alur donasi tanpa memadamkan semangat gotong
royong yang sudah mengakar dalam masyarakat.
Jika dilihat dari tujuannya,
kebijakan ini sebenarnya ingin memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Di tengah maraknya kasus penyelewengan donasi, kehadiran mekanisme izin memang
dapat menjadi pagar awal agar bantuan yang dikumpulkan publik benar-benar
sampai kepada mereka yang membutuhkan.
Masalah muncul ketika aturan ini
dibaca secara kaku, terutama dalam situasi bencana. Indonesia dikenal
bergerak cepat ketika musibah terjadi; masyarakat spontan turun tangan, entah
itu komunitas, individu, atau para influencer. Dalam keadaan seperti ini,
proses perizinan yang berlapis justru bisa menjadi hambatan, padahal kecepatan
adalah salah satu bentuk solidaritas paling penting.
Belum lagi regulasi yang dipakai,
UU No. 9 Tahun 1961—jelas tidak lahir untuk menghadapi realitas era
digital. Hari ini, penggalangan dana dapat muncul dalam hitungan jam melalui
media sosial. Ancaman sanksi, meski berniat menertibkan, bisa menciptakan efek
jera bagi relawan. Mensos memang menyebut izin dapat diurus belakangan,
tetapi nada hukum yang terlalu keras tetap dapat membuat orang takut
membantu.
Di media sosial, persoalan ini
makin panjang setelah muncul komentar-komentar emosional seperti: “gini amat
ya orang mau berbuat baik aja harus dipenjara.” Narasi semacam ini cepat
viral karena menyentuh sisi emosional publik. Padahal, narasi tersebut kerap menyederhanakan
persoalan. Niat baik tidak otomatis menghapus kebutuhan akan pengawasan.
Mengelola dana publik, sekecil apa pun, tetap membutuhkan tanggung jawab.
Di sinilah pentingnya kontra
naratif: bahwa aturan dibuat bukan untuk mengkriminalisasi aksi kemanusiaan,
tetapi untuk melindungi masyarakat dari penipuan donasi. Kebaikan tetap
boleh dan harus dilakukan, hanya saja kebaikan yang melibatkan uang publik
membutuhkan transparansi, pelaporan, dan integritas.
Untuk membangun titik temu antara
akuntabilitas dan solidaritas, beberapa langkah dapat dipertimbangkan, seperti:
1. Reformasi regulasi lama
agar sesuai dengan pola donasi digital masa kini.
2. Penyederhanaan izin
pada situasi darurat agar respons masyarakat tetap cepat.
3. Edukasi publik tentang
pentingnya akuntabilitas, bukan sekadar penyampaian sanksi.
4. Kolaborasi yang lebih erat
antara pemerintah, relawan, dan Non-Governmental Organization (NGO)
untuk menciptakan mekanisme donasi yang aman sekaligus fleksibel.
Pada akhirnya, perizinan
penggalangan dana tidak seharusnya dilihat sebagai upaya membatasi kepedulian.
Sebaliknya, ia bisa menjadi fondasi untuk membangun integritas, kepercayaan
publik, dan keamanan dana bantuan. Solidaritas tetap harus mengalir,
namun solidaritas yang dilaksanakan dengan tanggung jawab adalah bentuk
kebaikan yang benar-benar menyelamatkan, bukan sekadar menggerakkan
emosi sesaat.
Penulisnya : Luftwaffe D. Kavinara
Penyunting : Lathifah An Najla