Aku menulis ini bukan untuk memprovokasi atau menjatuhkan siapa pun. Tapi jujur saja, ada hal-hal yang terlalu sering disapu di bawah karpet organisasi sampai akhirnya menumpuk dan mulai bau. Dan ketika aku ngobrol dengan beberapa teman lama dari organisasiku dulu, ternyata kami sama-sama pernah mencium bau yang sama: virus merah jambu yang mekar pada waktu yang salah, dengan cara yang salah, dan di tempat yang sangat tidak seharusnya.
Kadang orang bilang aku cuma “suka mengkritik”. Atau, “ah kamu belum ngerasain yang sebenarnya.” Padahal, kalau saja mereka melihat apa yang pernah terjadi di dalam, mungkin mereka akan sadar bahwa kritik itu muncul bukan dari rasa benci, tapi dari rasa sayang… dan sedikit rasa kesal yang menumpuk.
Awalnya semua biasa saja. Semua orang punya fokus, punya tujuan, punya energi untuk bergerak. Tapi begitu virus merah jambu itu masuk, semuanya jadi berubah. Pelan, halus, tapi mematikan. Orang-orang mulai sibuk dengan perasaan sendiri. Ambisi yang awalnya lurus berubah jadi melengkung ke arah yang entah. Keputusan organisatoris yang seharusnya tegas, malah jadi lembek karena mempertimbangkan “hubungan personal”.
Ada yang tiba-tiba merasa paling berpengaruh. Ada yang mendadak jadi prioritas. Ada pula yang dengan polosnya jadi toksik karena mengira kedekatan adalah tiket untuk mengendalikan. Dan yang paling lucu? Semua ini terjadi sambil mereka tetap berkoar-koar tentang profesionalisme. Ironis, kan?
Aku dulu ikut terjebak dalam pusaran itu. Tanpa sadar, fokusku ikut bergeser. Aku sibuk memikirkan hal-hal yang bukan inti organisasi. Sibuk menjaga perasaan seseorang. Sibuk menimbang apa kata orang, siapa dekat dengan siapa, dan siapa yang diam-diam ingin “naik kelas” lewat jalur perasaan. Dan dari situ aku sadar: bukan cuma organisasi yang dirugikan. Diriku sendiri juga ikut terkikis.
Nasihat ibuku yang dulu rasanya klise, sekarang menusuk tepat sasaran:
"Kalau kamu masuk organisasi, fokus. Ingat tujuanmu. Jangan terkecoh dengan hal kecil—termasuk virus merah jambu itu. Karena dia bisa merugikan kamu dan teman-temanmu."
Dulu aku cuma senyum-senyum, merasa itu lebay. Tapi setelah melihat sendiri bagaimana sebuah organisasi bisa remuk perlahan gara-gara dinamika perasaan yang tak diatur, aku baru tahu betapa bijaknya ucapan itu. Tidak ada badai besar. Tidak ada konflik dahsyat. Yang ada hanya retakan kecil yang dibiarkan tumbuh, disiram dengan perhatian buta, dipupuk oleh ambisi pribadi, dan ditutup dengan alasan “kami hanya manusia”. Ya, manusia memang punya hati. Tapi manusia juga diberi otak untuk memisahkan mana yang pantas dibawa ke ruang organisasi dan mana yang seharusnya disimpan untuk kehidupan pribadi.
Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah organisasi yang kehilangan arah. Mimpi yang dulu dibangun bersama runtuh pelan-pelan. Orang-orang baik mundur satu per satu, bukan karena mereka buruk, tapi karena mereka muak.
Nah… sekarang aku pengen tahu, menurut kamu gimana?
Pernah lihat virus merah jambu merusak organisasi? Atau jangan-jangan kamu juga pernah kena, sama seperti aku dulu?
Penulis: Oliviana Angelicha Effendy
