Menguak Misteri Kepergian Mendiang Iko: Jejak Kejanggalan, Manipulasi Informasi, dan Tuntutan Usut Tuntas Bagian 1 - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Menguak Misteri Kepergian Mendiang Iko: Jejak Kejanggalan, Manipulasi Informasi, dan Tuntutan Usut Tuntas Bagian 1

 

   (Sumber: Suara Merdeka)        


Kasus meninggalnya mendiang Iko Julian Junior menyisakan ruang gelap yang belum pernah dijelaskan secara tuntas. Di balik duka mahasiswa UNNES, muncul rangkaian kejanggalan: penanganan yang lambat, ketidakselarasan keterangan saksi, dugaan hilangnya bukti penting, hingga kekhawatiran bahwa narasi resmi justru dibentuk oleh institusi yang berkepentingan. Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, BP2M UNNES menjadi salah satu pihak yang menelusuri apa yang tersembunyi di balik kepergian seorang mahasiswa yang dikenal ceria dan hangat tersebut.

Informasi awal tentang kasus ini tidak muncul dari polisi atau kampus, tetapi dari lapangan. Saat meliput aksi lanjutan pada bulan Agustus, BP2M mendapat kabar dari BEM FH mengenai kejanggalan. Jalur itu membawa mereka bertemu seorang pengacara di luar tim bantuan hukum resmi. Baru setelah itu PBH FH UNNES (Pusat Bantuan Hukum) dan Ikatan Alumni FH turut memberikan pendampingan. Namun sebagian besar informasi justru datang dari obrolan informal dan off the record, yang mengungkap adanya perbedaan keterangan antara sopir taksi dan polisi serta dugaan bahwa rekaman CCTV tidak diberikan oleh aparat padahal itu adalah bukti krusial yang semestinya diserahkan.

Menurut narasumber BP2M, kasus ini “sudah terlalu lama dan tidak menunjukkan perkembangan apa pun.” Penanganan yang stagnan ini menimbulkan pertanyaan: apakah keterlambatan ini sekadar ketidakmampuan, atau ada sesuatu yang sengaja dihambat? Ketika bukti tidak diberikan dan keterangan aparat tidak transparan, maka kecurigaan publik tidak bisa dihindari.

Dari sisi aparat, indikasi ketidakberpihakan sangat terlihat. Tidak diberikannya rekaman CCTV dapat dianggap sebagai hambatan langsung terhadap upaya menemukan kebenaran. Narasumber BP2M menilai bahwa pola ini memiliki potensi pelanggaran HAM, karena keluarga korban dan publik berhak menerima penjelasan. Namun, ada poin penting lain dari wawancara yang dilakukan secara online melalui zoom meeting ( 13/11/25) : kasus ini bukan pembungkaman kebebasan berekspresi , karena mendiang Iko tidak ikut demo. Justru yang disorot adalah dugaan bahwa Iko menjadi korban salah sasaran aparat sebuah pola yang bukan baru dalam penanganan kasus kekerasan negara terhadap warga sipil.

Selain itu, narasumber BP2M juga menegaskan perlunya publik berhati-hati terhadap narasi institusional: “Jangan mudah dimanipulasi. Dalam kasus seperti ini, bisa jadi pelakunya justru berasal dari institusi yang mengeluarkan narasi tersebut.”

Situasi semakin kompleks ketika melihat peran kampus. Ketika BP2M meminta keterangan resmi, kampus menolak memberi komentar. Dosen-dosen memang menunjukkan keprihatinan, tetapi menurut narasumber BP2M mereka “tidak bisa berbuat banyak karena kasus sudah ditangani oleh kepolisian.” Namun ada fakta yang jarang diketahui publik: PBH dan pihak kampus sudah meminta izin kepada keluarga untuk melakukan autopsi ulang, tetapi keluarga belum memberikan izin. Hal ini menunjukkan bahwa kampus sebenarnya telah melakukan pendampingan hukum, tetapi hasilnya terbentur pada keputusan keluarga yang tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena autopsi adalah keputusan berat bagi siapa pun.

Di tengah kaburnya posisi institusi, BP2M menegaskan independensinya. “Kami berpihak kepada publik, bukan institusi mana pun,” ujar narasumber BP2M, menegaskan bahwa seluruh liputan dilakukan melalui proses verifikasi ketat. BP2M terus mengawal isu ini melalui peliputan aksi Kamisan dan doa bersama karena mereka menyadari bahwa perhatian publik terhadap kasus Iko mulai menurun—dan ketika perhatian padam, sering kali keadilan ikut padam.

Dengan semakin banyaknya kejanggalan yang muncul, tuntutan usut tuntas menjadi hal yang tidak bisa dinegosiasikan. “Kasus ini harus diusut tuntas. Ini bukan soal viral atau tidak. Ini soal keadilan untuk seorang mahasiswa,” ujar salah satu narasumber BP2M.

Rasa kehilangan itu nyatanya sangat dekat. Seorang teman sekelas mendiang Iko berkata: “Kehilangan teman sekelas seperti Iko sangat berat. Ia orangnya ceria, dan kepergiannya membuat kelas sangat sepi.” Kehilangan itu bukan hanya luka personal, tetapi penegasan mengapa keadilan untuk Iko tidak boleh berhenti.

Pada akhir wawancara, narasumber BP2M mengingatkan publik: “Kita harus lebih peduli terhadap isu di sekitar kita. Jangan diam ketika terjadi pelanggaran HAM. Kita tidak boleh abai.” Ia menutup dengan kalimat dari rekannya di jurusan sejarah: “Sejarah itu akan berulang dengan gaya model baru.” Jika kasus Iko tidak diusut tuntas, pola serupa bisa terulang—dengan wajah berbeda, namun meninggalkan luka yang sama.

Pada akhirnya, kasus mendiang Iko bukan hanya tentang misteri yang belum diungkap, tetapi tentang bagaimana publik menolak dimanipulasi, bagaimana institusi memilih diam, dan bagaimana mahasiswa menolak berhenti bersuara. Selama suara itu masih menyala, harapan untuk keadilan bagi mendiang Iko akan tetap hidup.


Reporter : Oliviana, Adit ,Nafa, Nanda, Lusia
Penulis dan Penyunting : Oliviana          

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done