Mendekati
umur layak dewasa, aku dipaksa hidup dibawah payung orang tua yang hobi
mengoleksi wanita di sisa hidupnya. Walaupun dimasa kecilku wajah semringah
hanya sebatas hayalan. Duduk dibangku 3 SD aku berkenalan dengan patahnya kaki
kursi, merangkak sekolah pertengahan aku bersahabat dengan tali dan pohon jambu
dekat rumah, serta di SMA aku berkeluarga poligami. Setiap ingin meninggalkan
satpam di perumahanku, pernah sekali rencanaku hampir berhasil namun Pak Melvin
menyadari wajahku saat hendak melompat kesungai. Sekali lagi, di rumah
seakan-akan penyambutanku seperti anak bangsawan, berbanding terbalik ketika
pintu sudah ditutup.
Hari
ini bertepatan dengan acara pensi di sekolah, untuk ukuran acara yang besar aku
ikut andil bagian dikegiatan ini, yah… walaupun terpaksa juga. Aku yang
berbadan ceking tinggi diunjuk paksa sebagai seksi keamanan, dalam jobdesk
dikatakan aku harus stand by dari sebelum acara sampai acara itu usai, itupun
aku harus tunggu pula kawan-kawan aku pulang. Ayah yang punya sejuta aturan di rumah
tak siap aku harus pamit pulang telat hari ini.
“Ayah
hari ini aku pulang agak malam ya?” kuingat kala aku hendak bertanya saat itu,
wajahnya sudah saja mengerut kusut, padahal yang diminum bukan kopi. Aneh!
“Hendak kemana?”
“Aydan jadi seksi keamanan pensi di SMA, yah”
“Kenapa harus kau? Teman-temanmu gak bisa?”
“Aydan dipercaya jadi koordinatornya, yah”
“Kok kamu terima?”
“Aku dipaksa”
“Gak bisa!”
Lama
kami berdebat tentang hal sepele, sampai pada jam mengingatkan kalau acara akan
dimulai 30 menit lagi. Ponsel yang tiada lelah berdering sudah saja meminta
untuk diangkat, namun belum juga kami usai berdebat. Aku yang tak ingin dibuli
hari ini, dipaksa berbohong pada Ayah aku sendiri.
“Yah,
kalau aku gak ikut dikegiatan hari ini bakalan dapat nilai merah dirapot
nantinya”
“Demi apa aku harus percaya ucapanmu itu?” Ingat sekali aku waktu itu ketika
Ayah sudah berbicara formal, disaat itu pula tidak boleh ada satupun kebohongan
dari mulut ini
“……..”
“Kenapa kau diam? Apa hendak kau mencoba menipu aku?”
“Tidak Ayah, namun memang faktanya demikian bunyinya”
“Baiklah, Ayah akan percaya. Bila apa yang kau ucapkan demikian adalah
kebohongan siapkan dirimu untuk pertiap kesalahanmu nantinya”
“Baik Ayah, Aydan pamit dulu”
Perjalanan
yang harus kutempuh sebenarnya tidak lama dikarenakan aku diberi fasilitas
motor Astuti bekas saat itu, bukan memang kami orang kaya namun karena Ayahku
tak ingin selalu mengantar aku dia beri itu, berhubung juga istri ketiga Ayahku
adalah orang kaya. Aku yang sudah mulai agak kencang mulai ketakutan akan
ujianku disekolah nanti, bagiamana besarnya tangan Diknal yang akan mendarat
dimuka ini, bagaimana sepatu beralas lumpur kepunyaan Igna yang selalu tepat
dipungguku, “ah sialan, belum yang lainnya. Namun aku harap ada dia di sana
yang bisa melerai.” Seketika mukaku merasa panas membanyangkan dia membela aku
kalau itu sudah terjadi.
Belum
aku sampai dipelataran sekolah, sudah saja Yohana berdiri sembari memanggil
namaku,
Bersama
dengan Mima, dia berteriak “Aydannnn, cepat”
“Kenapa Han (adalah panggilan pada Yohana)” dengan sudahnya aku memarkirkan motor
busuk ini, aku langsung menghampiri dia.
“Kenapa kau amat lama sampainya? Darah Diknal dan yang lainnya sudah keburu
mendidih kala menunggumu”
“Maaf sebelumnya aku telat Han, aku harus mencari banyak cara agar diijinin Ayah
aku sendiri. Tau kau kan bagimana Ayahku kan?”
-
Ingat
sekali saat itu aku diantar pulang Yohana. Sebenarnya alasan terkuat kenapa
Ayah memberi aku motor Astuti adalah karena aku pernah pulang dengan muka lebam
dan Yohana merasa iba dengan aku dan hendak paksa diantarkan olehnya. Harapan
dari motor itu sendiri agar tidak ada satupun yang tau bagaimana keadaan dan
situasi rumahku. Sesampainya dirumah tidak dapat aku rangkai lagi bagaimana
layungnya wajah Ayahku sendiri.
“Sialan,
anak setan! Ada badai apa yang membuatmu membekam bengkak seperti itu? Dengan
siapa kau hendak cari masalah. Dan satu hal lagi, ada hubungan kau dengan
wanita ini, anjing?!” banyangkan saja makian itu? Bukankanlah lebih pantas
mulutnya yang disebut dengan kebun binatang ketimbang kebun binatang itu
sendiri?
“Ah maaf om, aku Yohan-“ belum Yohana menyelesaikan ucapannya, sudah
saja Ayahku memotong lagi. (Doaku bagimu pembaca, Ayahku tidaklah bertindak
demikian padamu. Bilamana kau demikian kejadiannya, hendak lah mulai untuk
berani)
“Pulang kau Anjing”
Hanya ucapan itu selesai dia layangkan, untuk pertama kalinya aku membentak
Ayahku sendiri “Ayah!!!!! Jaga mulutmu! Tak ada hak atasmu untuk menghina dia!”
“Jaga mulutmu anak haram, tak ada aturan bagimu baik itu Tuhan sendiri untuk
memberi kehendak buatmu untuk menghina aku. Emangnya akan jadi seperti apa
dirimu sendiri bila tidak aku yang mendidik engkau?”
“Om..”
“Sudah Han, kau pulang saja”
“Baik. Aku pamit undur diri, Om”
“Pulang saja kau dengan mobil tuamu itu anak lonte”
Seketika
Yohana ingin mencuarkan kemarahannya namun aku gelengkan kepala pertanda untuk
tidak berbuat lebih. Kepergian Yohana bukanlah akhir cerita hari ini.
“Masuk
kau!” teriaknya lagi (Tetangga-tetangga hendak anggap kejadian hari itu,
sudah menjadi makanan sehari-hari)
Pembaca
izinkan aku mendeskripsikan bagaimana Ayahku yang menghukumku dan Ibu tiriku
yang hanya asik dengan setrika arangnya. Sesaat pintu sudah ditutup dan horden
yang sudah mentupi matahari, pertanyaan yang dilayangkan akan apa yang terjadi
pada mukaku selalu diakhiri dengan selang tebal yang kena pertiap lapisnya.
Semakin berat bahasa dan pertanyaan semakin pula keras pukulan itu. Belum lagi
bila aku mencoba menangkis. Alhasil apa? Dudukku dibangku kelas 2 SMA itu harus
diisi dengan ketidakhadiranku selama 1 bulan. Tidak ada satupun yang mau mencoba
mengobatiku baik itu Ibu tiriku, serta saudara tiri tak ada satupun yang mau.
Sebulan lebih!
-
“Iya
aku tau, sekarang lekas bersiap dan laksanakan segala jobdeskmu” perintah
Yohana agar aku lebih cepat
“Baiklah. Omong-omong anggotaku yang lainnya dimana?”
“Kamu ini, mereka ada dikelas 3 IPA-C”
“OK!”
Sampai
disana kulihat anggota-anggotaku tiba-tiba beranjak seolah sedang repot “Apa
perintah kak?”
“Hufff…. Kenapa kalian malah bersantai-santai? Rasanya kalian senang bila aku
dipukuli Ketua Diknal”
“Bukan begitu kak, namun kami juga takut dengan Kak Diknal”
“Begitu ya… Sekarang lakuin apa yang sudah kita rencanakan sebelumnya”
Baru
kami akan keluar, Diknal tiba-tiba lewat dan berucap “tunggu jatahmu anjing!”
“Kena lagi” hanya itu yang dapat diucap batin ini.
Berjalan
pula acara ini dengan lancar sesuai rencana, harusnya. Dari ibadah sampai
menjumpa jam makan siang tidak ada kendala sama sekali, hingga menyentuh
pembagian jatah anak-anak kelas 1 tiba-tiba rusuh. Apa dan kenapa bisa terjadi,
kami hanya dapat melerai dan mulai memisahkan bangku mereka, dengan harapan
tidak terjadi apa-apa.
“Anjing!!!!!”
pria berparas muka kotak itu samar-samar dari balik keramaian berteriak.
Melayanglah batu satu persatu
aku berteriak “Berhenti!!!!” tak ada satupun yang mendengar.
“Bajingan!!!” dari seorang guru panutan kami semua, laki-laki totok dari
Sumatera Utara.
“Kenapa harus rusuh?” berakhir kata itu, entah kenapa situasi menjadi selesai.
“Seperti batu yang tak pernah diasah kalian ini. (tumpul, tiada guna. Ditujukan
untuk anak-anak yang bandal) Acara ini diperuntukan untuk kalian, namun
mengapa rusuh? Apa tidak malu batang hidungmu kalau tamu istimewa kita datang?”
Habis
dari insiden singkat itu, pensi kembali pada rodanya. Sebelum manyapa Senja
tamu istimewa kami datang. Dari keramaian “Kaka Slank” berteriak seorang wanita
yang mungkin sudah jatuh hati padanya. Mulai kami seksi keamanan yang bekerja
sama dengan bodygard agar mereka dapat masuk keruang tunggu.
“SLANK…
SLANK…SLANK”
Hanya
itu kata yang selalu diteriakkan. Dan mereka naik.
Saat
lirik dari lagu Anyer 10 Maret dikumandangkan, sela-sela keramaian kuperhatikan
Yohana, kegiatan serasa tidak menggoyah rambutnya. Aku si tak pernah pede mendekati wanita,
memberanikan diri untuk mendekat
“Aydan,
kerjaanmu sudah beres?”
“Sudah, Han.”
“Baguslah”
Entah mengapa mukaku panas kala bahu kami bertabrakan, seyumnya yang
menghayutkan aku merasa dunia sudah kehilangan makna “Kekerasan” padanya saat
itu yang kurasa adalah “Nyaman.” Tiba-tiba berucap pada diriku doa “Tuhan
bilamana hendak kau mencabut nyawaku, setidaknya cabut saat mataku sedang
memandang matanya, setidaknya ucapan cintaku sudah mendarat mulus padanya, dan
setidaknya dia tahu kalau cinta dia walau aku tak layak baginya”
“Mukamu kenapa memerah?”
Tanya yang tiba-tiba aku reflek “Kurasa aku suka dirimu.”
-
Namanya
Yohana, gadis muda berdarah Belanda dari Ayahnya serta mengalir darah Batak
dari Ibu nya kurasa dia adalah wanita tercantik kedua yang pernah kulihat.
Pertama adalah Ibuku dan kedua adalah dirinya. Sedari awal kami sudah berjumpa
pada kelas yang sama dari kelas 1. Aku yang tinggi ceking duduk disudut
belakang kelas dan dia duduk paling depan kelas. Hari itu kami kenalan satu
persatu pertanda kami sah satu kelas. “Haloo semuanya, kenalin aku Yohana
Arabella Henzi. Kalian dapat memanggil aku Yohana ataupun Hana. Aku lahir pada
tanggal 30 Desember 1979. Hobiku adalah baca buku dan bermain bola basket.”
Perkenalan nama itu tak pernah kuingat sampai sekarang aku punya anak ketiga.
Saat itu kupikir “Apa aku bisa mendapatinya?”
Tidak
banyak aku bicara di kelas akibat perbuatan Diknal dan Igna kepadaku. Tiap hari
aku disiksa dan dibuli dikarenakan tinggi dan cekingku. Berbeda dengan
sekarang, beh… satu pukulan sudah dapat menumbangkan seseorang. Kala itu aku
harus merelakan dipukul karena untuk membela diri aku juga tidak punya
keberanian. Walau dibalik bulian itu akan satu mata yang menatap aku “Yohana
Arabella Henzi.” Itulah dia.
“Kemana
kau melihat brengsek?!” teriak Diknal
“Dia lihat Hana bro”
“Apa? Hana?” seketika Diknal berteriak ke Hana ”Hana Aydan suka kau..”
Kuingat jelas dia memiringkan wajah sembari seyum dengan mata menutup sedikit
arahkan ke aku
Igna berteriak keras “Hana seyum ke Aydan”
“Cieeeeee” sekelas berteriak
Dan satu lagi berucap “Kalian beda Agama, goblok!”
Beranjak
kelas 2 insiden yang aku pulang boyok adalah hal yang tak pernah kulupa. Aku
yang tidak berprestasi dan sering di buli melihat dengan kepala mataku sendiri
diganggu dan diperlakukan tidak baik oleh anak-anak kelas 3.
“Brengsek,
jauhkan tanganmu dari wajahnya itu sialan!” sebenarnya aku tidak yakin melawan
mereka semua, mereka saja sudah ada 5 orang, berisi pula badannya. Sedangkan
aku? Oalah, kena hembus angin melayang.
“wah.. wah.. wah.. ada pahlawan nih” ucap seseorang kala itu, tak sudi aku tau
dia siapa
Mereka ketawa terbahak-bahak melihat kebodohanku.
“Apa dia pacarmu?” tanya seorang lagi pada Hana sembari mendekati aku yang
sudah gemetaran
“Sudah kemana keberanianmu tadi?”
“Segitu saja majunya mulutmu? Ha? Anjing…”
“Jawab! Apa laki-laki kurus tengkorak itu pacarmu?”
“Ia. Lantas kenapa anjing? Apa kau cemburu karena dirimu yang lebih tinggi dan
lebih tampan dariku tak bisa mendapatkannya? Hahahaha…. Dasar Jomblo” entah
malaikat apa yang masuk padaku saat itu sampai aku berani melayangkan ungkapan
itu.
“Mau kau dengan laki-laki ini?” seorang lagi berucap
“…..” Hana aku selalu memberi kode agar dia tidak menjawab
“Sepertinya dia tidak mengakuimu kawan”
“Jadi apa enaknya kita apakan dia?”
“Pukul la…”
Saat belum habis pria itu berucap, langsung kuhantam mulutnya. Dan seperti yang
pembaca tau, aku habis.
Samar-samar
aku dengar Hana berteriak “Aydan apa kamu masih sadar?”
“aa a ii aa Han”
“Sini aku antar balik naik mobil”
“Gak usah Han”
“Gak mau tau” habis dia ucap itu, aku sudah pingsan dan terbangun pada mobil
yang sedang melaju nyaman pada jalan
“Hana?”
“Kamu tidak usah banyak bicara, entah
apa yang membuat kau membela aku” ucapnya sembari menangis
“Kau kenapa menangis? Apa mereka berbuat senonoh padamu?”
“Gak Dan, sehabis mereka memukuli mereka pergi tanpa berucap satu kata pun”
“Baguslah” sembari aku berucap aku mencoba meraih tisu Dashboard mobilnya guna
menyeka air matanya “Perihal sakitku kau tak usah risau, setidaknya dirimu
selamat tak ternodai”
“Tapi Dan, gara-gara aku kau begini”
“Kamu ini, masih saja cantik saat nangis” setidaknya aku tetap mencoba
menghibur dia walau untuk melihat jalan kecil rasanya.
“Sekali lagi jangan diulang”
“Gak!”
“Kenapa? Kita gak pernah kompak dan jarang bicara”
Dengan nada pelan aku tanya”Han aku mau tanya”
“Apa”
“Coba sebutkan alasanmu ketika orang yang kau rasa sayang padanya ada yang
mencoba menyakitinya?”
“Gak ada alasan”
“Itulah jawabanku”
Lepas
dari hari itu, kami mulai lebih kompak dari hari biasanya. Namun bukan berakhir
masa pembulianku, malah lebih parah. Terlebih ketika mereka tahu aku dan Hana
mulai dekat dan satu hal lagi, ketika aku mulai
punya motor Astrea mulai pula mereka membuli lebih ekstrem. Namun dari
itu semua, ketika ada Hana para pembuli itu berhenti dan berucap “bersyukur kau
hari ini.”
Menuju
penghujung kelas 2 aku membeli ponsel bermerek Nokia secara diam-diam dengan
uang tabunganku selama ini. Saat Hana kuberi tau akan hal itu dia sangat senang
dan mulai bertukar nomor dengan dia. Bilamana seumuranku yang lainnya menghiasi
masa muda nya dengan surat yang ditulis semalaman, berbeda aku yang sudah punya
ponsel kala itu. Mulai kami berkomunikasi setiap malamnya, bercerita hal-hal
yang penting dan tidak penting sampai hal tolol.
Beranjak
kelas 3 entah kenapa aku dan dia semakin erat hubungan tanpa punya kepastian.
-
“Apa
suka aku?” Tanya berlebiihan Hana.
Seketika lirik “Tanpa dirimu ada di sisiku aku bagai ikan tanpa air tanpa
dirimu dekat di mataku aku bagai hiu tanpa taring…” sudah mulai berkumandang.
Kuberanikan diri “Han”
Balasnya hanya dengan mengangguk
“Kalau semisal dari lirik ini aku mengubah jadi “dengan dirimu ada disisiku aku
sudah serasa jadi ikan dengan airnya, dan dengan dirimu sedang bersanding malu
saat ini aku serasa sudah menjadi hiu terganas diantara kawanan lainnya,
sudikah dirimu mau jadi kekasihku?” Bila aku mengingat kata itu, aku tidak
pernah malu akan hal itu, kenapa? Ya apalagi kalau bukan aku yang berani
mengucap kalimat puitis sedemikian disamping orang yang kau sayang
“Tapi aku takut dengan Ayahmu Dan”
“Ayahku? Laki-laki bodoh seperti dia tidak pantas kau takuti Han”
“Keyakinan kita bagaimana? Aku sendiri Kristen Katolik sedangkan dirimu adalah
Islam”
“Bila itu adalah ketakutanmu sesungguhnya, sedari sekarangpun aku mau pindah
aliran. Bukan berarti aku hendak menghianati Allahku sendiri namun aku percaya;
tidak ada satupun Agama yang membawa kehancuran, semua Agama mengajarkan
kedamaian biar para penganut Pohon sendiri pun mereka pasti anggap dengan
mempercaya benda begitu jadi merasa tenang, guna apa kita marah? Sekarang
darimu Han, terimakah kau akan diriku serta sudikah kau jawab pertanyaanku?”
“Aku akan jamah dengan baik segala keyakinanmu, jawabku ya.”
Langsung kupeluk dia dan ikut menyanyikan sama lagu-lagu lainnya.
Acara
usai jam 9 malam, kami semua panitia dikumpul oleh ketua untuk rapat evaluasi
serta makan malam kami dan ditambah dengan mengeluarkan curahan hati dari awal
dibentuk kepanitiaan ini sampai ke hari itu.
Mulai
Diknal berseru “Semua kumpul di kelas IPA-A”
“Apa semua sudah berkumpul” ucap Wakil pada kami.
Serentak semua ucap “Sudah…”
Mulai
Diknal membuka rapat tersebut, dimulai dari koreksi acara sampai dengan
dana-dana. Pun dengan segala laporan yang ada pertiap seksinya juga. Sebelum
merangkak acara curahan hati, perut yang sudah menggebu-gebu menanti makanan,
kami santap hidangan itu dengan lahap. Tawa saat makan tak lupa hadir dimalam
itu.
“Kelihatannya
semua sudah usai makan, jadi kali ini adalah sesi curahan hati yang dimulai
dari aku…….” Panjang dia bercerita dari kekeselan, kesenangan, sampai
penyesalan Diknal ke aku.
“Teruntuk Aydan, ini bukan waktu yang pas namun aku ucap maaf. Teman-teman
sekalian mungkin pernah lihat perbuatanku kepada Aydan serta perbuatan yang
lain juga. Setelah melihat kinerjamu hari ini aku rasa perbuatanku selama ini
adalah hal terbodoh yang pernah aku perbuat. Aku disadarkan ketika kau menembak
Hana tadi saat Slank sedang asik menyanyi.”
“ha.. “ aku dan Hana tersipu malu dirapat itu
“Dasar 2 orang tolol, aku dibelakang kalian tadi” seketika semua tertawa lepas.
Dan dengan mengacuhkan ketua semua mengucapkan selamat pada kami dan mereka
otodidak pintah kami duduk bersebelahan.
“Awas kau sakiti dia, kupukul kau ANJING” dengan nada tertawa Igna berkata
demikian, mengingat Igna dan Hana masih ada hubungan keluarga.
“Ok broo” balasku sambil seyum.
Selepas
tawa beri ucapan padaku dan Hana, satu persatu mulai ungkap perasaannya, ada
yang kesal, ada pula yang sampai menangis. Sampai pada giliranku berbicara.
“Pertama-tama
aku ucap terimakasih atas paksaan kalian untuk masuk kepengurusan pensi kali
ini. Maaf bila diri ini sering diam dan jarang memberi masukan pertiap rapat
kita. Menambah akan itu pula, sekiranya kebersamaan tak habis dari sini saja,
paling tidak ketika hari biasa dikegiatan kita dapat tetap tertawa bersama dan
menghibur yang menangis pilu pada masalahnya. Teruntuk Diknal, Ignal dan
lain-lain yang pernah buli aku. Jujur aku marah, kesal. Kenapa harus aku? Ada
salah apa aku dengan kalian?” air mataku mulai bergerak keluar “dari rumah aku
tak pernah mendapat perlakuan bagus dari Ayahku, sampai disekolah aku kalian
buli, kenapa Nal? Kenapa Na (panggilan Igna)..”
“Ay..” Diknal coba memotong, tapi tak kuberi ijin
“Jangan potong pembicaraanku dulu Nal, kali ini biar aku membantahmu dulu.
Alasan kenapa kalian buli cukup pada kalian serta Tuhan yang kalian percaya
saja yang urus itu. Dengan kalian mengakui salah hari ini sudah lebih dari
cukup bagiku. Harapku tidak seperti tulisanku yang kucipta; Jika kita gagal
menjadi pemimpin hari ini, apa alasan yang tepat bagi kita untuk tidak mencoba
lagi dimasa depan? Bilamana kita gagal menjadi dewasa dihari esok, apa ia kita
akan bersikap yang sama sampai kita mati? Tidak bukan? Kejadian kali ini
biar aku yang tanggung, pada kalian harapnya jangan pernah alami yang kurasa
serta jangan pernah membuat org lain mengalaminya. Dan yang terakhir, Yohana
Arabella Henzi” sembari kutatap matanya “aku ucap terimakasih atas malam yang
spesial kali ini, terimakasih menerima aku , terima kasih pula telah mewarnai
malam ini. Bilamana waktu tetap berkenan, sudinya kau menginjinkan dipertiap
kesempatan aku yang menghiasinya.”
-
-
-
Hasil
dari kesempatan menangis dan tertawa tak terasa waktu menunjukkan sudah pantas
disebut tengah malam. Yang semula ada tawa pada bibir ini, seketika kembali
pada posisinya terdiam. Belum lama aku berpikir senang sudah diterima Hana,
laju motor butut itu sudah saja sampai dipelataran rumah. Kaki lima yang hampir
selesai dirombak demi kesenangan Ibu ketiga ini, sudah saja menyambut berteman
Ayah yang asik bermain ayun dengan batang kayu bekas patah bertahun silam.
Tidakkah aneh itu bisa utuh walau sudah berkali-kali mendapati tiruannya pada
diri ini?
“Kenapa
baru pulang jam segini?”
“Baru pula kelar acaranya Yah”
“Jam sembilan tadi asik sudah keluyuran anak-anak dari SMA mu berpulangan,
hendak pergi kemana kau?” Turut kayu itu sudah tepat diatas kepalaku yang
hendak pula akan kutahan. “Matamu? Ada apa dengan itu? Kenapa bengkak? Apa yang
kau amini sehingga berani mencari ulah lagi?”
“Tidak Yah, mataku kelilipan debu saat hendak pulang tadi.” Salah satu cara
agar selamat adalah berbohong kembali.
“Sudah kasih masuk saja anak itu, tengah malam pun masih asik kau cari masalah
dengannya.” Suara itu tidak asing ditelinga ini, aku yang perlahan diijinin
masuk melihat sosok yang bertahun-tahun tidak aku lihat. Ibu kandungku.
-
Jika
pada Yohana lahir pada 30 Desember 1997, perkenalkan namaku Baadil Aydan. Konon
Baadil bermakna; yang terlihat nyata, gurun yang
tenang, Sedangkan Aydan sendiri bermakna; api kecil. Saat aku masih kecil aku
bertanya iseng pada Omaku “Oma apapula arti namaku?” dengan nada suara apa
adanya dia jawab “pada ketenangan yang hampir menyerupai surga ada sebuah
tempat bernama gurun. Dalam kesepian kan ada satu fenomena yang tak diduga
layaknya api kecil. Harapannya dirimu adalah api dan ketenangan itu sendiri,
bukan menjadi besar dan bukan pula mati, tapi tetap pada ukurannya. Bilamana
nantinya harus membakar seusatu, cari seseorang yang dapat memadamkannya. Jika
nanti hendak mati, cari seseorang yang dapat meniup api itu kembali ataupun
yang dapat menghidupkan api itu kembali.” Kala itu kuanggap hanya ocehan
belaka, sekarang aku sadar “mungkin api itu belum mengamuk ataupun mati,
namun perilaku api itu apa tetap sesperti api api lainya? Mungkin hari ini atau
esok aku tak dapat marah, atau aku yang besok baik hari ini belum disimpulkan
mati. Namun apa aku sewaras orang lain? Atau kewarasanku hanya sebatas
perkiraan?”
Kalau
tak salah saat itu aku berumur enam tahun, samar-samar aku dengar piring pecah.
Kalau yang pecah cuma sebiji masih dapat aku maklumi; mungkin kesenggol atau
apalah. Namun bila berkelanjutan tak kenal henti dapatkah disebut kesenggol?
“Nanti
Aydan dengar bagaimana? Masihlah rapuh dirinya mendengar suara kita ini.”
Ucapan Ibu pada Ayah yang sudah setinggi dengan dengkup Ayahku.
“Peduli apa aku Lonte?” Lonte? Sebuah pertanyaan besar yang menggrogotiku saat
itu. Apa itu sejenis makanan atau apa? Megapa itu keluar dari mulu Ayahku
sendiri?
“Jaga mulut Saiful! (sebut saja nama Ayahku itu demikian, adapun namanya
tidak mencerminkan kelakuannya)”
“Arwa Suhana Darakhshan seorang lonte yang tidak tahu diri. Tidakkah kau
pergunakan dengan adil kaca itu? Apa guna hidupmu dan anak haram itu bila aku
tak rawat kalian?” Sekali lagi, Ibu berdarah.
Aku
yang tak mau menjadi bagian dalam pertengakaran itu, kembali aku pada pelukan
selimutku sampai mata kakiku buta. Teriakan demi teriakan beterbangan, piring
dan segala bentuk yang dapat dimainkan lama-kelamaan sirna dari bentuk aslinya.
Ibu yang semakin kuat berteriak kesakitan kian hilang pula kegagahan nya. “Apa
Ibu mati?” Itu yang aku pikirkan.
Perlahann
suara Ibu semakin dekat dengan kamar, sisa tangisnya masih ada. Dipeluknya aku.
“Cih…..
tau akan begini hasilnya, lebih baik kubuh saja kau saat itu.” Saat kata itu
usai, menghilanglah Ayah tak tau kemana. Mendapati sebulan ada pula itu.
Hilangnya
keberadaan Ayah dirumah, medapati senyum yang tak pernah kutampak dari Ibu
kusendiri, sedangkan aku? Semakin erat hubungannya dengan Ibuku sendiri. Namun
sayang seribu sayang, jika umur jagung dapat menghasilkan pada hari ke 60,
kebahagiaan senyum Ibuku dimakan suasana yang tak diminta.
Datang
bergerombol tanpa kutahu siapa mereka semua, namun pasti ada seorang wanita
lagi yang menopang 2 orang anak, terlihat satunya sedikit lebih tua dari aku,
dan satu lagi masih balita. Tanpa kami pinta penjelasan Ayah, sudah pula dia
haturkan; ini Ibu barumu Aydan, dan kau pergi sekarang juga! Diam….. hanya itu
yang terjadi padaku dan Ibu.
“Tunggu
apalagi?”
“Apa pula kau punya pinta untuk menghusirku? Yang punya rumah ini adalah aku,
keturunan ke-2 dari keluarga besarku, lantas siapa kau hendak menghusirku?”
Kala itu aku belum tau apa maksud dari pembicaraan mereka, yang terpenting
Ayahku sudah kehilangan akalnya.
Dengan dikeluarkannya seutas kertas “nama kepemilikan rumah sudah pindah hak
milik jadiku, dan aku akan tinggal bersama istri baruku. Ia kan sayang?”
menangguk pula wanita sialan itu. “Dan mengenai hak kemipilikan Aydan dengan
persetujuan tokoh masyarakat dan kepala sidang, dia menjadi hak milikku, bukan
punyamu”
“Bagaimana teganya dirimu merebut anak semata wayangku?”
“Lantas guna apa kau bertanya demikian? Bukankah lebih baik dirimu lekas
bersiap dan pergi dari sini?”
Itulah
untuk terakhir kalinya aku melihat Ibu, pergi dengan tangis yang tak tertahan
dia titipkan pesan “jaga dirimu dengan baik anakku.”
Berjalannya
waktu tak dapat aku menemukan kesesuaian dengan Ibu tiri ini, pun begitu dengan
kedua anaknya. Paksaan demi paksaan dari Ayahku rasanya percuma. Sampai pada
aku sudah kelas enam SD dia meninggal dengan naas. Ibu tiri yang hendak
menyebrang diseruduk tak terduga oleh mobil yang cukup besar, syukur hanya
badannya saja yang tertabrak tidak dengan kedua anaknya.
Ketika
ada empat orang di rumah dengan tidak satupun yang tau berbuat apa dipaksa
mandiri, dengan ketidakakbranku dengan saudara tiriku tidak kunjung berbuah
apa-apa. Sejatinya hanya kami tiga saja, Ayah sibuk bermain judi dan ketika
pulang sudah hanyut dalam mabuk serta teriakannya. Seolah sudah terencana,
pertiap malam dari kami bertiga akan selalu bergantian untuk menopang dan
menghantarkan pada kasur busuk itu. Selalu dan selalu.
-
“Dasar
lonte, pfff… masuk sana sambut Ibu mu”
“Aydan… sudahlah besar anakku ini.” Pakaiannya kok gitu?
“Pakaiannya Ibu kok begini, bukankah untuk dikatakan pantas saja tidak?”
“Ada salah apa dengan pakaiannya ini anakku?” sembari dengaan senyum keriputnya
itu.
“Ayolah Ibu, dengan pakaian Ibu ini masuk Taman Pak Gurbermen saja mungkin
sudah akan ditolak.”
“Bukanlah itu pengandaian yang berlebihan Aydan anakku? Bahkan jika Ibu pakai
gaun termahal tidak juga kita akan dapat masuk kedalamnya. Mengesampingkan itu”
cobanya itu mengubah alur pembicaraan “sudah bagaimana keadaaanmu? Tampak sehat
seih kelihatannya, namun apa itu sudah sesuai dengan dalam dirimu ini?”
“Tidak Ibu…”
“Kapan kalian akan berhenti dengan omong kosong ini semua?” Pria bodoh memotong
kembali “tidak ada dalam janji kita kalau bole kau menginap.”
“Kali ini saja Ayah, ijinkan aku tidur dengan Ibu.”
“Sekali tidak, tetap akan tidak.”
“Aih… keributan macama apa pula ini?” Istri ketiga, manusia yang sedikit lagi
akan bikin aku gila saat itu.
-
Meninggalnya
istri ke-2 Ayah tidak habis buat kapok dirinya. Selang setelah anak angkatnya
coba membunuh Ayah, dia tak kepikiran akan itu malah asik mencari wanita-wanita
yang pikir akan terpikat kembali dengannya.
*Sore,
tlah duduk aku dibangku SMP yang mana lebam sudah menjadi tato dan kakak tiriku
sudah kelas tiga SMA.
“Ayah
hari ini aku pinta ijin untuk adakan acara kecil-kecilan perpisahan kelas
kami.”
“Gak bisa! Siapa kau dapat merayakan pesta? Apa kau yang punya rumah ini?”
“Namun suara sudah terlanjur bulat Yah, tak enak diri ini untuk menolak. Mohon
pengertiannya Ayah.”
“Sekali tidak, ya tidak.”
Apa
pikirmu pembaca kalau acara itu batal? Tidak! Dia bersikukuh untuk tetap
melaksanakannya. Lupa aku hari apa itu, namun dia melaksanakan acara itu pada
malam hari. Pada hari itu Ayah sudah pergi dari rumah beda dari hari biasanya.
Siang… dan kesempatan itu dia ambil untuk melasanakan kegiatan itu. Persiapan
demi persiapan usai, satu persatu mulai berdatangan dan makanan perlahan
disiapkan. tertawa ketiwi meraka rasakan tanpa mereka tau malapetaka akan
datang.
Meletus
pistol itu melukai udara “semua diam!”
Mereka yang semula tertawa seketika bisu
“Siapa diantara kalian yang bernama Gali?”
“Saya Om” Kakak tiriku.
“Dimana Bapakmu?”
“Ada pergi keluar, Om…”
“Jangan bohong anjing! Suruh bajingan itu keluar.”
Salah seorang dari kawan ini diketahui cukup ahli dalam beladiri hendak melawan
pria pemegang pistol. Mungkin pikrinya ilmunya lebih kuat dari ini pistol.
Dengan mencoba tenang “ayolah Om bukankah teman saya ini sudah jujur?”
“Tidak ada sangkutpaut perkara ini padamu, lebih baik kau diam.”
“Om ini acara kami, dengan bertanya baikpun bisa lantas guna marah dan pakai
pistol apa guna?”
“Ahh… bising”
Kakinya mulai mengeluarkan darah.
---
“Ada
kejadian apa yang menimpa kalian? Bukankah kalian harus hepi dan berpersta?”
Ayah sudah balik dengan botol kosong pada genggamannya dan pastinya sudah
mabuk.
“Ayah lebih baik masuk kedalam, Ci (nama adiknya yang dimana merangkap jadi
adik tiriku) gotong Ayah kedalam.”
“Aihhhh… anakku yang paling ganteng, jangan galak-galak gitu dong”
“Yah malam ini sejatinya terang, namun hatiku sedang berkabung. Alangkah
baiknya Ayah masuk kedalam dan tidur.” Tampak jelas wajahnya sudah mulai
mendidih.
“Anakku yang tamp…..” melayang sudah botol kosong itu kekepala Ayahku sendiri.
“Kau ada utang apalagi? Temanku kena tembak, kau pulang mabuk dan banyak gaya.
Anjing, jika bukan karena kau Ibu sekarang pasti sedang baik-baik saja.”
“Ternyata sudah beranai melawan Ayahnya sendiri.”
“Kau bukan Ayahku anjing!!!”
Tak dapat dihindari perkelahian mereka, teman-temannya pun tidak. Tak lama Kak
Gali menancapkan pisau bekas potong daging tadi tepat diperutnya. Dan Ayah lupa
cara membuka matanya walau pada nafasnya masih berjalan.
Lepas
dari kejadian itu Kak Gali harus mendekam dipenjara sesuai aturan yang berlaku,
dan Ayah harus menjadikan Rumah Sakit jadi kosannya. Namun seorang wanita itu
selalu datang walau aku yang menjaga Ayahku (sejatinya aku tidak ingin menemani
Ayah, apapula alasanku untuk merawat dia? Toh aku juga trauma oleh dia.
Bukankah bagus kalau dia mati lebih cepat?) perawakan tidak menyentuh umur
empat puluh tahun. Setiap wanita itu keluar dari ruangan dia akan selalu
membenarkan sesuatu dari pakaianya.
Aku
yang curiga akan hal itu perlahan-lahan mulai mencari tau. Tepat dihari dia
baru datang dan aku pikir “ini waktunya.” Dia cantik seperti biasanya. Kuintip
perlahan dari jendela ternyata mereka bercinta seolah meraka masih umur kepala
dua dan sedang dipenginapan. Tak sanggup kumelihat hal itu, mulai aku hari itu
tidak menjenguk dia lagi. Dan usai Ayah siuman, menikah lagi pria itu.
---
Tidak
ada kecurigaan atas kehadiran wanita itu dirumah, pun karena dia juga belum
punya keturunan rasanya bersyukur tidak ada lagi namanya usaha untuk mencoba
kompak. Namun melewati satu kalender dia mulai berulah, ditambah kepulangan Kak
Gali kegilaannya menjadi-jadi. Dia mulai meninggalkan tugas kesehariannya dan
dilimpah semaunya kepada kami berdua; aku dan Ci. Kak Gali asik dengan dunia
sendiinya dikamar sampai hanya Ci saja yang dapat masuk dikamar itu.
“He
anak lonte, kenapa rumah tak kunjung kau sapu?”
“Apa? Aku?” sebenarnya aku tau yang dimaksud adalah aku, tapi guna apa aku
punya pemberian Ibuku lantas harus mendengar panggilan dia? Toh dia bukan Ibu
kandungku.
“Siapa lagi dirumah ini hasil buah dari seorang lonte?” menyahut pula Ayah.
“Namaku Baadil Aydan, anak dari Arwa Suhana Darakhshan. Tak ada hakmu
memanggilku demikian. Pun dengan kau Yah. Jika memang aku anak lonte lantas
bajingan gila mana yang melakukan itu? Bukankah dirimu?”
“Jaga ucapanmu! Pikirmu sudah sekuat apa dirimu melawan aku”
“Oh… begini hasil anak lonte? Dapat dimaklumilah” wanita kurang ajar itu
semakin jadi dia mengkompori kami.
Entah
mengapa keberanianku hanya bisa sebatas mulut saja, padahal kalau dipikir-pikir
bisa saja badannya hancur kubuat apalagi dia punya bekas tusukan pada perutnya,
padahal saat itu aku sudah sedikit lebih tinggi dari dia. Pun pubertasku cukup
pas untuk takaran anak kelas satu SMA. Ayah memukuli sampai berdarah, pada
betisku dipukul tiada henti oleh gagang kursi itu, sembari dipukuli wanita itu
selalu berucap “pantas dia mendapatkan itu, pun sejatinya dia tak layak hidup
di bumi ini baik itu negeri ini.” Teriakan demi teriakan aku lantangkan
berbarengan dengan pukulan yang kian makin kuat. Tak dapat aku ingat berapa
lama aku dipukuli, intinya ketika mataku terbuka sudah masih tergeletak diruang
tamu dengan bekas darah. Marah, kesal, dendam, tak tau aku harus urutkan
bagaimana kekesalanku yang pasti “suatu saat akan kubunuh kau.”
-
“Diam
kau sialan…” tatapku ganas pada wanita itu
“Huss… tak boleh ucap begitu. Bagaimana bila Ibumu ini yang seandainya sasaran
ucapan itu?”
“Akan kucari dia sampai mati Ibu.”
“Aydan, bila hendak ada orang yang kau benci, sudahkah setara kau dengan Tuhan
sampai kau ada hak untuk membunuh dia…”
Tak tau kenapa Ayah memotong pembicaraan Ibu “aih basi sekali pembicaraan
kalian, sudah sana kalian tidur satu kamar, tak mau aku masuk penjara karena
menelantarkan wanita lonte sepertimu keluar sana.
Masuk
aku kekamar berbarengan dengan Ibu, dia tak henti termakan kagum degan kerapian
kamarku.
“ayoyooo
anakku inilah, bila ada semut permisi masuk kamar ini rasanya berjalan muluspun
tak sanggup karena sangkin mengkilapnya kamar ini.”
“Ibu berlebihan, dulukan Ibu selalu aku perhatikan bersih-bersih juga aku
sebagai anakmu mengikutinya.”
“Memang lah anakku ini. Sungguh rindu sekali denganmu” diusap pula tangan rapuh
itu dirambutku. Dan air mata ini tumpah
“Ibu kenapa baru pulang sekarang? Ingin kusebut kau jahat karena tak kunjung
kau kulihat, namun aku tak sanggup Ibu”
Ibu merangkul aku “nak, bukan tak mau Ibumu ini berjumpa denganmu, bilamana Ibu
punya kekusaaan sudah kurebut kau dari rumah ini. Namun sudah sekuat apa aku
dapat merebut kau?”
“Paham aku Ibu.”
“Sekarang jujur nak, apa yang terjadi selama ini padamu? Tak mau Ibu kau
melewatkan satu ceritapun. Juga besok adalah hari pekan, bangun lama juga tak
jadi persoalan.”
Kumulai
ceritaku dari aku yang kena dipukul Ayah sampai berdarah, perbuatan istri kedua
ayah, aku yang dibuli disekolah sampai tadi mereka minta maaf, perlakuan istri
ketiga, aku yang mencari cara untuk kabur dari rumah dan cerita aku pula
tentang Yohana. Dari semua cerita itu sedih itu, Ibu sumringah mendengar nama
kekasihku. Kuceritakan kenapa kami dapat saling kenal dan sampai kami tadi
jadian.
“Apa?
Anakku sudah punya pacar”
“Sudah Ibu.” Terseyum pula akau menceritakannya.
“Lantas apa Agamannya?”
“Kristen Katolik Ibu”
Ibuku adalah seorang yang taat pada Agama, masih pula diberpikir saat itu kalau
jodoh berbeda agama takkan bagus ujungnya.
“Tahu betulkan dirimu kalau ketika dua Agama yang berbeda menjalin hubungan
akan jarang menemukan kebahagiaan.”
Aku yang cukup dikatakan dewasa mulai menjealskan satu persatu alasan aku suka
padanya sampai aku suka, peralahan perlahan.
“Ibu memang kusudah janji bila kami sampai dijenjang pernikahan, aku yang akan
pindah ke Agama dia. Namun aku berjanji pada Ibu takkan kulupa wujudmu.”
Bersujud aku pada Ibu dan mencium kakinya yang tampak mulai berkeriput “aku
harap Ibu percaya padaku.”
“Baiklah, bila itu keputusanmu guna apa aku mebantah lagi? Toh kau sudah
dewasa.”
Kami
lelap dalam tidur sehabis pembicaraan malam itu, ketika aku bangun Ibu sudah
tidak lagi disampingku namun meninggalakan alamat dan tulisan “Ibu pergi pulang
nak, jaga dirimu baik-baik. Ibu sengaja pergi sebelum Ayahmu bangun. Jika kau
ingin datang, hampiri alamat ini. Dan harapku dapat kau menghubungi aku, sudah
punya ponsel kan?”
.
Hari
ini adalah kelulusan angkatan kami, sedih? Tentu tidak! Bagaiman tidak, aku
mendapatkan seorang kekasih berdekatan dengan kelulusan kami. Senang? Tidak
seutuhnya? Bagaiman mau senang, dalam kelulusan kami kali ini orang tua kami
turut andil bagian dalamnya. Bila yang lain membawa keluarga yang harmonis, aku
malah membawa keluaraga yang seolah-olah malapetaka. Harusnya itu hanya berlaku
pada bayangku saja. Nyatanya......
Rangkaiann
demi rangkaian acara terlewati, kali ini yang mengisi hiburan dan yang mengatur
acara adalah anak kelas dua, jadi kami cukup duduk tenang menikmati acara juga
menikmati makanan, serta canitknya Yohana hari itu. Pembaca… bila Yohana
dimasamu, mungkin kau akan merasa paling bodoh karena wanita secantik dia dapat
jatuh digenggamanku. Hahahahaha… angkuhku memang. Satu persatu pula nama
disebutkan pertanda kami sah lulus, dan harus maju kedapan bersama orang tua
kami masing-masing. Kala itu wanita Ayahku berpakaian sangat seksi, berbanding
terbalik dengan ibu-ibu lainnya yang berdandan biasa, juga dia jadi arah
pandangan mata karena badannya itu. “Baadil Aydan” namaku sudah dipanggil
kepala sekolah “bawa serta kedua orang tua mu.” Majulah kami berbarengan dengan
aku yang memaksa mimik ini terseyum, dan mata tertuju pada wanita Ayahku (tak
sudi dia kupanggil Ibu, selayaknya dirimu pembaca yang mungkin ada salah satu
dari kalian yang punya keluarga tak harmoni. Tenang! Kau tak sendirian). Entah
mengapa dibalik khalayak rame itu semua, Ibuku turut hadir. Betapa senangnya
aku yang awalnya memaksa terseyum jadi tulus dikarenakan kehadirannya. Ku tersenyum
saat mata kami berpapasan. Ahh… hari yang indah, rasanya.
Saat
hendak akan duduk dibangku seluruh mata tertuju pada kami dengan sinisnya,
entah apa penyebabnya akupun tak tau. Setelah kami dudukpun mata-mata itu tak
kunjung redup malah semakin menjadi-jadi. Semula hanya mata mereka yang
berbicara, sekarang malah mulut mereka yang berulah. Aku acuh sampai akhir
acara, toh pikirku karena pakaian wanita ini. Selesainya acara itu ditutup
dengan foto bersama antar siswa dan aku tak ketinggalan berfoto berdua dengan
Yohana. Kebetulan mereka ada kamera, pada masa itu keluarga yang punya kamera
tidak seramai masa sekarang. Aku juga tak lupa utuk menumpang foto pada mereka
untuk dapat berfoto berdua dengan Ibuku. Kupanggil dia dan kukenalkan pula
Yohana kalau dia ini adalah Ibu kandungku yang selama ini aku ceritakan padanya.
“Apakah
kau yang bernama Aydan? Cukup tampan kau kelihatannya.” Dari seorang pria yang
cukup berbadan lebar namun tak buncit, bersuara bass pula.
“Ya pak, saya Aydan. Salam kenal sebelumnya.” Kami pun berjabat tangan dan Hana
datang.
“Aydan ini Ayahku, dan ini Ibuku” kujabat tangan Ibunya yang terseyum ikhlas
memandangku. “Ayah, Ibu ini Aydan yang pernah Hana ceritakan pada kalian.”
Malu semalunya aku ketika tahu Hana menceritakan aku pada kedua orang tuanya,
tapi biarlah bukannkah ini langkah yang bagus?
Dengan kerudung dan berpakaian tertutup kupanggil dia “Ibu sini aku perkenalkan
Yohana, yang kemarin aku ceritakan sampai pagi”
Memerah wajah Hana “apa sih Aydan”
“Buat apa kau malu? Bukankah kamu menceritakan Aydan pada kami?” Ayah terbaik
memang beliau ini.
“Assalamualaikum Pak, Bu, Hana” seyumnya lebar pada Hana. Ha… sudah seperti mau
nikah saja kami ini pikirku saat itu “saya Ibu dari Aydan. Salam kenal.”
“Waalaikumsalam Ibu” serentak Hana dan kedua orang tuanya menjawab.
“Halo Ibu. Ibu cantik sekali dengan pakaian ini.” Tak disangka Ibu Hana tak
kalah ramah dari Ibuku.
Kami
menepi demi menikmati obrolan kami, Ibu yang sedikit terkejut perbedaan
keyakinan kami yang tak menjadi penghalang pengikat saudara tak menimbulkan
rasa tak nyaman. Malah kami ini seolah-olah sudah berkenalan bertahun-tahun
lamanya.
Bunyi
Pistol mengaungkan suaranya. Sontak semua berteriak dan berlarian, kami pun turut mencari tempat yang aman.
Kulihat dari keributan itu ternyata Ayahku berulah kembali dan wanitanya tidak
tau lenyap kemana. - Dimasa kebebasanku kala itu aku mencari tau akar kejadian
saat itu. Ternyata mata yang kala itu tlah menjadi sinis disebabkan bocornya
salah dua orang ke telinga dia, yang mengatakan keburukan dia, lalu hancurnya
keluarga dan sudah tiga kali dia berganti istri. Sontak dia emosi dan memukul
dua orang tersebut serta mengeluarkan pistol dari belakang celananya. Lantas
dia mencari kami dan hendak untuk membunuh Ibuku saat itu.-
“Dimana
kau lomte???” Merah pada matanya sudah menggebu-gebu mecari Ibuku.
“Ayo semuanya lari.” Pintaku kemereka semua “Pak, Bu nanti aku ceritakan kenapa
bisa terjadi ini semua. Untuk pertama kalinya aku meminta kalian, tolong
percaya padakau.”
Ayah menemukan kami “hendak lari kemana kalian anjing???” bersuara sekali pistol
itu. Tak disangka-sangka lari dia cukup laju. “Stop! Jangan ada yang gerak,
selangkah pun tidak!”
Kami selayaknya mayat hidup. “Apa sih Yah, kegilaan macam apa lagi ini?”
“Diam kau anak haram!”
Ibu sudah memerah malu atas kebodohan mantan suaminya “mulutmu, tidakkah kau
malu atas perbuatanmu?”
“Ah diam!” Sekali lagi udara menjadi imbas tembakan itu.
Banyak
dia berceloteh akan yang dialami dia, padahal apa yang diperbuat adalah hasil
kebodohan dia sendiri.
“Ayolah
pak, bukannya lebih nyaman bila kita membicarakan ini secara kekeluagaan?” Ayah
Hana coba membela kami saat itu.
“Siapa hendak dirimu ini coba melarang aku berbicara? Ha?”
“Aku adalah Ayah dari teman anakmu.”
“Ayah dari teman anakku?” Matanya sudah nyaman memandang Yohana “oh… ternyata
kau anak anjing kemarin? Dan kau? Adalah induk dari Anjing ini? HAHAHAHA… buah
tidak jauh jatuh dari pohonnya memang. Mengurusi sesuatu yang bukan urusannya
adalah budaya kalian.” Sekali lagi dia melukai udara.
Mendengar ucapan itu, Ayah Hana kehilangan wajah normalnya namun tetap dia
menahan amarah. “Pak bukankah buruk rasamu bila kesan pertama kita dimulai
dengan kalimatmu barusan?”
“Peduli setan.”
Ketika akan hendak memulai ucapannya, dia memberi arahan kode untuk memanggil
polisi dengan nomor darurat karena dekat SMA ku ada kantor polisi, “Pak…
sudahlah, tiada guna pula kau marah.” Dia melihat Ibu yang sudah takut
menggigil yang tepat disampingnya itu “lihatlah Ibu sudah ketakutan begini,
tidakkah kau kasihan?”
Ayah melihat sekelilingnya hanya Ayah Hana yang berani bicara padanya, teramasuk
kepala sekolah diam seolah tak bernyawa. Sembari dia semakin mendekat dan arah
pistol menghadap kami “Wanita ini……”
Dia
menceritkan apa yang tak patut diceritakan dengan pendengar sebegitu banyaknya.
“Dan wanita ini harus mati hari ini!”
Saat Ayah akan menembak, Ayah Hana sontak melindungi Ibu. Yah… peluru sudah
sudah gagal mengenai Ibu dan Ayah Hana sebagai tamengnya tepat dipundak. Hana
dan Ibunya juga sontak teriak.
“Anjing!!!” Meledak sudah amarahku dan berlari aku kedia. Tak peduli dengan
mata yang melihat tindakan ku dan aku juga seketika acuh dengan Yohana beserta
dengan Ibu. Kujatuhkan dia ketanah dengan pistol masih ditangannya. Kupukul
mukanya berkali-kali. Entah kenapa polisi amat lama datangnya kala itu.
“Berani kau memukul Ayahmu?”
“Ah… diam kau setan! Bila aku dianggap gila hari ini, berarti itu disebabkan
olehmu.” Kupukuli dia tiada henti, tangan ini pun sudah penuh darah yang
bersalah dari hidung dan mulutnya.
“Kau minta mati juga?”
Mulai terdengar suara sirine mobil polisi, dalam hatiku; usai sudah ini. “Yang
pantas mati kau, anjing!!!”
Tak tau kenapa dia dapat mencampakkan aku dan coba menembakku “mati kau!!!”
Saat
hendak menembak, aku habiskan tenaga untuk melawan dan reflek ambil pistol.
Ayah
mati. Semua terkejut Hana, kedua orang tua nya, juga Ibu dan terkhusus aku. Dua
lobang ada pada tubuhnya kala itu. Hanya terdiam aku dengan darah ditanganku,
dan polisi datang dengan pinta untuk kami semua diam.
Atas
kejadian itu aku dijatuhi hukuman lima tahun penjara atas tuduhan pembunuhan
berencana. Sejatinya lima belas tahun, namun dikompensasi karena aku dibawah
umur saksi mata yang mengatakan tindakan itu bukan karena atas nama
kesengajaan. Juga peran bantu besar dari keluaga Hana. Dan Ibu hanya dapat
menangisi anaknya yang harus mendekam dalam sel tahanan, serta Hana yang sudah
dipelukan Ibunya kala itu.
Lima
tahun aku dalam penjara, banyak kejadian buruk dan baik (tak dapat aku ceritkan
padamu pembaca apa yang kualami saat itu). Aku juga melatih badanku serta aku
belajar semua Agama, dan kutemukan adalah hal buruk bila berganti pasangan
apalagi cerai dan menikah lagi bila tidak dipisahkan oleh kematian. Kuyakinkan
juga diriku saat itu, bila keluar dari jeruji ini aku harus mencari pekerjaan
dan menikahi Yohana turut menyenangkan Ibuku pula.
30
Maret 2002 aku keluar dari penjara. Ibu, Hana serta
kedua orang tuanya menyambutku. Melihat badanku yang menjadi bagus tak dapat
tertahan pujian mereka sera isak tangis menjadi awal bagiku dan Ibu. Kusalam
orang tua Hana dan kulihat Hana yang semakin cantik, diceritkan pula Hana sudah
mendapat gelar sarjananya dan bekerja disalah satu perusahaan yang bergerak dalam
bidang ekonomi.
Mendengar
itu aku semakin membulatkan tekadku tak ingin kalah dari Hana. Kala itu
kudengar bahwa; akan malu bila gelar istri ketimbang dari suaminya.
Tak lama dari keluarnya aku. Tiga tahun kemudian atas kegigihanku, aku lulus
dari perkuliahaan. Tak dapat tertahan senangnya Hana dan Ibuku atas kelulusanku
saat itu. Selepas itu aku bekerja disalah satu bidang pertanian dan masih satu
daerah dengan Hana. Perlahan demi perlahan pula aku dan Hana semakin erat
hubungannya dan Ibu juga semakin kuat ikatannya dengan orang tua Hana. Aku juga
mulai belajar ajaran Agama Katolik demi menepati janjiku ke Hana bertahun-tahun
silam.
30
Mei 2007 aku melamar Hana. Kuberanikan diri untuk
datang langsung kekediaman orang tua Hana, kusampaikan pula apa janji kami
serta berjanji pula akan menjaga anak wanitanya segenap hati sebagaiamana aku
mencintai Ibuku. Tentang aku yang akan pindah Agama sudah juga mereka meng-acc
hal itu. Disaksikan Ibu, dia menangis dalam dekapannya. Tak disangka dia
anaknya akan menikah, mungkin seperti itulah.
20
Agustus 2007 kami menikah. Diberkati oleh seorang
Pastor yang sudah cukup lama pengalamannya. Kata yang tidak pernah kulupa
hingga saat ini adalah; Yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, hendaklah tidak
dipisahkan oleh manusia. Kami dipersilahkan untuk menyalam kedua orang tua
kami.
Kuhampiri
Ibuku dengan berlutut dihadapannya “Ibu… Aydan pamit untuk menjadi kepala
keluarga.”
Hanya tangis dan anggukan yang dia berikan. Hana juga berlutut dan memeluk Ibu
dengan haru.
Kuhampiri Orang tua Hana, Ayahnya langsung menepok pundakku “jaga anakku dengan
baik, jika tidak aku beseta kedua saudara Hana akan menghajarmu.” Dengan dia
terseyum aku menganggap; Hana harus kujaga dengan baik.
Begitu juga dengan Ibunya “nak, dalam keluarga sebagai laki-laki kau adalah
seorang kepala, bilamana kepala itu rusak, rusak pula anggota tubuh lainnya.”
“Ia Bu,” sambil kepala mengangguk mengiyakan.
Dan ketika Hana berhadapan dengan kedua orang tuanya, untuk pertama kali Ayah
Hana menangis untuk pertama kalinya.
….
Dan
sekarang kami dikaruniai tiga orang anak; anak pertama laki-laki, kedua
laki-laki, dan ketiga perempuan. Satu hal yang kukagumi dari anak-anakku adalah
tidak diwarisinya sifat Ayahku dulu. Ketika adik perempuannya menangis, mereka
berdua sebagai abangnya akan selalu berebutan untuk menenangkan adiknya.
Syukurlah demikian.-
“Waras…
bukan hanya mati dalam hubungan arti gila. Namun ketika dirimu/ku menyikapinya.
Apakah dapat kau me-wajar-kan keadaaan ketika terjadi sesuatu dan ke-waras-an-mu
yang diperjuangkan? Atau apa dapat kau me-waras-kan dirimu atas kejadian yang
memaksamu untuk me-wajar-kan-nya?”
Penulis :
Lumaterasi
Penyunting : Riyadi