Ku Kira Aku Waras - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Ku Kira Aku Waras

 

 Foto: id.depositphotos.com

Mendekati umur layak dewasa, aku dipaksa hidup dibawah payung orang tua yang hobi mengoleksi wanita di sisa hidupnya. Walaupun dimasa kecilku wajah semringah hanya sebatas hayalan. Duduk dibangku 3 SD aku berkenalan dengan patahnya kaki kursi, merangkak sekolah pertengahan aku bersahabat dengan tali dan pohon jambu dekat rumah, serta di SMA aku berkeluarga poligami. Setiap ingin meninggalkan satpam di perumahanku, pernah sekali rencanaku hampir berhasil namun Pak Melvin menyadari wajahku saat hendak melompat kesungai. Sekali lagi, di rumah seakan-akan penyambutanku seperti anak bangsawan, berbanding terbalik ketika pintu sudah ditutup.

Hari ini bertepatan dengan acara pensi di sekolah, untuk ukuran acara yang besar aku ikut andil bagian dikegiatan ini, yah… walaupun terpaksa juga. Aku yang berbadan ceking tinggi diunjuk paksa sebagai seksi keamanan, dalam jobdesk dikatakan aku harus stand by dari sebelum acara sampai acara itu usai, itupun aku harus tunggu pula kawan-kawan aku pulang. Ayah yang punya sejuta aturan di rumah tak siap aku harus pamit pulang telat hari ini.

“Ayah hari ini aku pulang agak malam ya?” kuingat kala aku hendak bertanya saat itu, wajahnya sudah saja mengerut kusut, padahal yang diminum bukan kopi. Aneh!
“Hendak kemana?”
“Aydan jadi seksi keamanan pensi di SMA, yah”
“Kenapa harus kau? Teman-temanmu gak bisa?”
“Aydan dipercaya jadi koordinatornya, yah”
“Kok kamu terima?”
“Aku dipaksa”
“Gak bisa!”

Lama kami berdebat tentang hal sepele, sampai pada jam mengingatkan kalau acara akan dimulai 30 menit lagi. Ponsel yang tiada lelah berdering sudah saja meminta untuk diangkat, namun belum juga kami usai berdebat. Aku yang tak ingin dibuli hari ini, dipaksa berbohong pada Ayah aku sendiri.

“Yah, kalau aku gak ikut dikegiatan hari ini bakalan dapat nilai merah dirapot nantinya”
“Demi apa aku harus percaya ucapanmu itu?” Ingat sekali aku waktu itu ketika Ayah sudah berbicara formal, disaat itu pula tidak boleh ada satupun kebohongan dari mulut ini
“……..”
“Kenapa kau diam? Apa hendak kau mencoba menipu aku?”
“Tidak Ayah, namun memang faktanya demikian bunyinya”
“Baiklah, Ayah akan percaya. Bila apa yang kau ucapkan demikian adalah kebohongan siapkan dirimu untuk pertiap kesalahanmu nantinya”
“Baik Ayah, Aydan pamit dulu”

Perjalanan yang harus kutempuh sebenarnya tidak lama dikarenakan aku diberi fasilitas motor Astuti bekas saat itu, bukan memang kami orang kaya namun karena Ayahku tak ingin selalu mengantar aku dia beri itu, berhubung juga istri ketiga Ayahku adalah orang kaya. Aku yang sudah mulai agak kencang mulai ketakutan akan ujianku disekolah nanti, bagiamana besarnya tangan Diknal yang akan mendarat dimuka ini, bagaimana sepatu beralas lumpur kepunyaan Igna yang selalu tepat dipungguku, “ah sialan, belum yang lainnya. Namun aku harap ada dia di sana yang bisa melerai.” Seketika mukaku merasa panas membanyangkan dia membela aku kalau itu sudah terjadi.

Belum aku sampai dipelataran sekolah, sudah saja Yohana berdiri sembari memanggil namaku,

Bersama dengan Mima, dia berteriak “Aydannnn, cepat”
“Kenapa Han (adalah panggilan pada Yohana)” dengan sudahnya aku memarkirkan motor busuk ini, aku langsung menghampiri dia.
“Kenapa kau amat lama sampainya? Darah Diknal dan yang lainnya sudah keburu mendidih kala menunggumu”
“Maaf sebelumnya aku telat Han, aku harus mencari banyak cara agar diijinin Ayah aku sendiri. Tau kau kan bagimana Ayahku kan?”

-

Ingat sekali saat itu aku diantar pulang Yohana. Sebenarnya alasan terkuat kenapa Ayah memberi aku motor Astuti adalah karena aku pernah pulang dengan muka lebam dan Yohana merasa iba dengan aku dan hendak paksa diantarkan olehnya. Harapan dari motor itu sendiri agar tidak ada satupun yang tau bagaimana keadaan dan situasi rumahku. Sesampainya dirumah tidak dapat aku rangkai lagi bagaimana layungnya wajah Ayahku sendiri.

“Sialan, anak setan! Ada badai apa yang membuatmu membekam bengkak seperti itu? Dengan siapa kau hendak cari masalah. Dan satu hal lagi, ada hubungan kau dengan wanita ini, anjing?!” banyangkan saja makian itu? Bukankanlah lebih pantas mulutnya yang disebut dengan kebun binatang ketimbang kebun binatang itu sendiri?
Ah maaf om, aku Yohan-“ belum Yohana menyelesaikan ucapannya, sudah saja Ayahku memotong lagi. (Doaku bagimu pembaca, Ayahku tidaklah bertindak demikian padamu. Bilamana kau demikian kejadiannya, hendak lah mulai untuk berani)
“Pulang kau Anjing”
Hanya ucapan itu selesai dia layangkan, untuk pertama kalinya aku membentak Ayahku sendiri “Ayah!!!!! Jaga mulutmu! Tak ada hak atasmu untuk menghina dia!”
“Jaga mulutmu anak haram, tak ada aturan bagimu baik itu Tuhan sendiri untuk memberi kehendak buatmu untuk menghina aku. Emangnya akan jadi seperti apa dirimu sendiri bila tidak aku yang mendidik engkau?”
“Om..”
“Sudah Han, kau pulang saja”
“Baik. Aku pamit undur diri, Om”
“Pulang saja kau dengan mobil tuamu itu anak lonte”

Seketika Yohana ingin mencuarkan kemarahannya namun aku gelengkan kepala pertanda untuk tidak berbuat lebih. Kepergian Yohana bukanlah akhir cerita hari ini.

“Masuk kau!” teriaknya lagi (Tetangga-tetangga hendak anggap kejadian hari itu, sudah menjadi makanan sehari-hari)

Pembaca izinkan aku mendeskripsikan bagaimana Ayahku yang menghukumku dan Ibu tiriku yang hanya asik dengan setrika arangnya. Sesaat pintu sudah ditutup dan horden yang sudah mentupi matahari, pertanyaan yang dilayangkan akan apa yang terjadi pada mukaku selalu diakhiri dengan selang tebal yang kena pertiap lapisnya. Semakin berat bahasa dan pertanyaan semakin pula keras pukulan itu. Belum lagi bila aku mencoba menangkis. Alhasil apa? Dudukku dibangku kelas 2 SMA itu harus diisi dengan ketidakhadiranku selama 1 bulan. Tidak ada satupun yang mau mencoba mengobatiku baik itu Ibu tiriku, serta saudara tiri tak ada satupun yang mau. Sebulan lebih!

-

“Iya aku tau, sekarang lekas bersiap dan laksanakan segala jobdeskmu” perintah Yohana agar aku lebih cepat
“Baiklah. Omong-omong anggotaku yang lainnya dimana?”
“Kamu ini, mereka ada dikelas 3 IPA-C”
“OK!”

Sampai disana kulihat anggota-anggotaku tiba-tiba beranjak seolah sedang repot “Apa perintah kak?”
“Hufff…. Kenapa kalian malah bersantai-santai? Rasanya kalian senang bila aku dipukuli Ketua Diknal”
“Bukan begitu kak, namun kami juga takut dengan Kak Diknal”
“Begitu ya… Sekarang lakuin apa yang sudah kita rencanakan sebelumnya”

Baru kami akan keluar, Diknal tiba-tiba lewat dan berucap “tunggu jatahmu anjing!”
“Kena lagi” hanya itu yang dapat diucap batin ini.

Berjalan pula acara ini dengan lancar sesuai rencana, harusnya. Dari ibadah sampai menjumpa jam makan siang tidak ada kendala sama sekali, hingga menyentuh pembagian jatah anak-anak kelas 1 tiba-tiba rusuh. Apa dan kenapa bisa terjadi, kami hanya dapat melerai dan mulai memisahkan bangku mereka, dengan harapan tidak terjadi apa-apa.

“Anjing!!!!!” pria berparas muka kotak itu samar-samar dari balik keramaian berteriak. Melayanglah batu satu persatu
aku berteriak “Berhenti!!!!” tak ada satupun yang mendengar.
“Bajingan!!!” dari seorang guru panutan kami semua, laki-laki totok dari Sumatera Utara.
“Kenapa harus rusuh?” berakhir kata itu, entah kenapa situasi menjadi selesai.
“Seperti batu yang tak pernah diasah kalian ini. (tumpul, tiada guna. Ditujukan untuk anak-anak yang bandal) Acara ini diperuntukan untuk kalian, namun mengapa rusuh? Apa tidak malu batang hidungmu kalau tamu istimewa kita datang?”

Habis dari insiden singkat itu, pensi kembali pada rodanya. Sebelum manyapa Senja tamu istimewa kami datang. Dari keramaian “Kaka Slank” berteriak seorang wanita yang mungkin sudah jatuh hati padanya. Mulai kami seksi keamanan yang bekerja sama dengan bodygard agar mereka dapat masuk keruang tunggu.

“SLANK… SLANK…SLANK”

Hanya itu kata yang selalu diteriakkan. Dan mereka naik.

Saat lirik dari lagu Anyer 10 Maret dikumandangkan, sela-sela keramaian kuperhatikan Yohana, kegiatan serasa tidak menggoyah rambutnya. Aku si  tak pernah pede mendekati wanita, memberanikan diri untuk mendekat

“Aydan, kerjaanmu sudah beres?”
“Sudah, Han.”
“Baguslah”
Entah mengapa mukaku panas kala bahu kami bertabrakan, seyumnya yang menghayutkan aku merasa dunia sudah kehilangan makna “Kekerasan” padanya saat itu yang kurasa adalah “Nyaman.” Tiba-tiba berucap pada diriku doa “Tuhan bilamana hendak kau mencabut nyawaku, setidaknya cabut saat mataku sedang memandang matanya, setidaknya ucapan cintaku sudah mendarat mulus padanya, dan setidaknya dia tahu kalau cinta dia walau aku tak layak baginya”
“Mukamu kenapa memerah?”
Tanya yang tiba-tiba aku reflek “Kurasa aku suka dirimu.”

-

Namanya Yohana, gadis muda berdarah Belanda dari Ayahnya serta mengalir darah Batak dari Ibu nya kurasa dia adalah wanita tercantik kedua yang pernah kulihat. Pertama adalah Ibuku dan kedua adalah dirinya. Sedari awal kami sudah berjumpa pada kelas yang sama dari kelas 1. Aku yang tinggi ceking duduk disudut belakang kelas dan dia duduk paling depan kelas. Hari itu kami kenalan satu persatu pertanda kami sah satu kelas. “Haloo semuanya, kenalin aku Yohana Arabella Henzi. Kalian dapat memanggil aku Yohana ataupun Hana. Aku lahir pada tanggal 30 Desember 1979. Hobiku adalah baca buku dan bermain bola basket.” Perkenalan nama itu tak pernah kuingat sampai sekarang aku punya anak ketiga. Saat itu kupikir “Apa aku bisa mendapatinya?”

Tidak banyak aku bicara di kelas akibat perbuatan Diknal dan Igna kepadaku. Tiap hari aku disiksa dan dibuli dikarenakan tinggi dan cekingku. Berbeda dengan sekarang, beh… satu pukulan sudah dapat menumbangkan seseorang. Kala itu aku harus merelakan dipukul karena untuk membela diri aku juga tidak punya keberanian. Walau dibalik bulian itu akan satu mata yang menatap aku “Yohana Arabella Henzi.” Itulah dia.

“Kemana kau melihat brengsek?!” teriak Diknal
“Dia lihat Hana bro”
“Apa? Hana?” seketika Diknal berteriak ke Hana ”Hana Aydan suka kau..”
Kuingat jelas dia memiringkan wajah sembari seyum dengan mata menutup sedikit arahkan ke aku
Igna berteriak keras “Hana seyum ke Aydan”
“Cieeeeee” sekelas berteriak
Dan satu lagi berucap “Kalian beda Agama, goblok!”

Beranjak kelas 2 insiden yang aku pulang boyok adalah hal yang tak pernah kulupa. Aku yang tidak berprestasi dan sering di buli melihat dengan kepala mataku sendiri diganggu dan diperlakukan tidak baik oleh anak-anak kelas 3.

“Brengsek, jauhkan tanganmu dari wajahnya itu sialan!” sebenarnya aku tidak yakin melawan mereka semua, mereka saja sudah ada 5 orang, berisi pula badannya. Sedangkan aku? Oalah, kena hembus angin melayang.
“wah.. wah.. wah.. ada pahlawan nih” ucap seseorang kala itu, tak sudi aku tau dia siapa
Mereka ketawa terbahak-bahak melihat kebodohanku.
“Apa dia pacarmu?” tanya seorang lagi pada Hana sembari mendekati aku yang sudah gemetaran
“Sudah kemana keberanianmu tadi?”
“Segitu saja majunya mulutmu? Ha? Anjing…”
“Jawab! Apa laki-laki kurus tengkorak itu pacarmu?”
“Ia. Lantas kenapa anjing? Apa kau cemburu karena dirimu yang lebih tinggi dan lebih tampan dariku tak bisa mendapatkannya? Hahahaha…. Dasar Jomblo” entah malaikat apa yang masuk padaku saat itu sampai aku berani melayangkan ungkapan itu.
“Mau kau dengan laki-laki ini?” seorang lagi berucap
“…..” Hana aku selalu memberi kode agar dia tidak menjawab
“Sepertinya dia tidak mengakuimu kawan”
“Jadi apa enaknya kita apakan dia?”
“Pukul la…”
Saat belum habis pria itu berucap, langsung kuhantam mulutnya. Dan seperti yang pembaca tau, aku habis.

Samar-samar aku dengar Hana berteriak “Aydan apa kamu masih sadar?”
“aa a ii  aa Han”
“Sini aku antar balik naik mobil”
“Gak usah Han”
“Gak mau tau” habis dia ucap itu, aku sudah pingsan dan terbangun pada mobil yang sedang melaju nyaman pada jalan
“Hana?”
“Kamu tidak  usah banyak bicara, entah apa yang membuat kau membela aku” ucapnya sembari menangis
“Kau kenapa menangis? Apa mereka berbuat senonoh padamu?”
“Gak Dan, sehabis mereka memukuli mereka pergi tanpa berucap satu kata pun”
“Baguslah” sembari aku berucap aku mencoba meraih tisu Dashboard mobilnya guna menyeka air matanya “Perihal sakitku kau tak usah risau, setidaknya dirimu selamat tak ternodai”
“Tapi Dan, gara-gara aku kau begini”
“Kamu ini, masih saja cantik saat nangis” setidaknya aku tetap mencoba menghibur dia walau untuk melihat jalan kecil rasanya.
“Sekali lagi jangan diulang”
“Gak!”
“Kenapa? Kita gak pernah kompak dan jarang bicara”
Dengan nada pelan aku tanya”Han aku mau tanya”
“Apa”
“Coba sebutkan alasanmu ketika orang yang kau rasa sayang padanya ada yang mencoba menyakitinya?”
“Gak ada alasan”
“Itulah jawabanku”

Lepas dari hari itu, kami mulai lebih kompak dari hari biasanya. Namun bukan berakhir masa pembulianku, malah lebih parah. Terlebih ketika mereka tahu aku dan Hana mulai dekat dan satu hal lagi, ketika aku mulai  punya motor Astrea mulai pula mereka membuli lebih ekstrem. Namun dari itu semua, ketika ada Hana para pembuli itu berhenti dan berucap “bersyukur kau hari ini.”

Menuju penghujung kelas 2 aku membeli ponsel bermerek Nokia secara diam-diam dengan uang tabunganku selama ini. Saat Hana kuberi tau akan hal itu dia sangat senang dan mulai bertukar nomor dengan dia. Bilamana seumuranku yang lainnya menghiasi masa muda nya dengan surat yang ditulis semalaman, berbeda aku yang sudah punya ponsel kala itu. Mulai kami berkomunikasi setiap malamnya, bercerita hal-hal yang penting dan tidak penting sampai hal tolol.

Beranjak kelas 3 entah kenapa aku dan dia semakin erat hubungan tanpa punya kepastian.

-

“Apa suka aku?” Tanya berlebiihan Hana.
Seketika lirik “Tanpa dirimu ada di sisiku aku bagai ikan tanpa air tanpa dirimu dekat di mataku aku bagai hiu tanpa taring…” sudah mulai berkumandang.
Kuberanikan diri “Han”
Balasnya hanya dengan mengangguk
“Kalau semisal dari lirik ini aku mengubah jadi “dengan dirimu ada disisiku aku sudah serasa jadi ikan dengan airnya, dan dengan dirimu sedang bersanding malu saat ini aku serasa sudah menjadi hiu terganas diantara kawanan lainnya, sudikah dirimu mau jadi kekasihku?” Bila aku mengingat kata itu, aku tidak pernah malu akan hal itu, kenapa? Ya apalagi kalau bukan aku yang berani mengucap kalimat puitis sedemikian disamping orang yang kau sayang
“Tapi aku takut dengan Ayahmu Dan”
“Ayahku? Laki-laki bodoh seperti dia tidak pantas kau takuti Han”
“Keyakinan kita bagaimana? Aku sendiri Kristen Katolik sedangkan dirimu adalah Islam”
“Bila itu adalah ketakutanmu sesungguhnya, sedari sekarangpun aku mau pindah aliran. Bukan berarti aku hendak menghianati Allahku sendiri namun aku percaya; tidak ada satupun Agama yang membawa kehancuran, semua Agama mengajarkan kedamaian biar para penganut Pohon sendiri pun mereka pasti anggap dengan mempercaya benda begitu jadi merasa tenang, guna apa kita marah? Sekarang darimu Han, terimakah kau akan diriku serta sudikah kau jawab pertanyaanku?”
“Aku akan jamah dengan baik segala keyakinanmu, jawabku ya.”
Langsung kupeluk dia dan ikut menyanyikan sama lagu-lagu lainnya.

Acara usai jam 9 malam, kami semua panitia dikumpul oleh ketua untuk rapat evaluasi serta makan malam kami dan ditambah dengan mengeluarkan curahan hati dari awal dibentuk kepanitiaan ini sampai ke hari itu.

Mulai Diknal berseru “Semua kumpul di kelas IPA-A”
“Apa semua sudah berkumpul” ucap Wakil pada kami.
Serentak semua ucap “Sudah…”

Mulai Diknal membuka rapat tersebut, dimulai dari koreksi acara sampai dengan dana-dana. Pun dengan segala laporan yang ada pertiap seksinya juga. Sebelum merangkak acara curahan hati, perut yang sudah menggebu-gebu menanti makanan, kami santap hidangan itu dengan lahap. Tawa saat makan tak lupa hadir dimalam itu.

“Kelihatannya semua sudah usai makan, jadi kali ini adalah sesi curahan hati yang dimulai dari aku…….” Panjang dia bercerita dari kekeselan, kesenangan, sampai penyesalan Diknal ke aku.
“Teruntuk Aydan, ini bukan waktu yang pas namun aku ucap maaf. Teman-teman sekalian mungkin pernah lihat perbuatanku kepada Aydan serta perbuatan yang lain juga. Setelah melihat kinerjamu hari ini aku rasa perbuatanku selama ini adalah hal terbodoh yang pernah aku perbuat. Aku disadarkan ketika kau menembak Hana tadi saat Slank sedang asik menyanyi.”
“ha.. “ aku dan Hana tersipu malu dirapat itu
“Dasar 2 orang tolol, aku dibelakang kalian tadi” seketika semua tertawa lepas. Dan dengan mengacuhkan ketua semua mengucapkan selamat pada kami dan mereka otodidak pintah kami duduk bersebelahan.
“Awas kau sakiti dia, kupukul kau ANJING” dengan nada tertawa Igna berkata demikian, mengingat Igna dan Hana masih ada hubungan keluarga.
“Ok broo” balasku sambil seyum.

Selepas tawa beri ucapan padaku dan Hana, satu persatu mulai ungkap perasaannya, ada yang kesal, ada pula yang sampai menangis. Sampai pada giliranku berbicara.

“Pertama-tama aku ucap terimakasih atas paksaan kalian untuk masuk kepengurusan pensi kali ini. Maaf bila diri ini sering diam dan jarang memberi masukan pertiap rapat kita. Menambah akan itu pula, sekiranya kebersamaan tak habis dari sini saja, paling tidak ketika hari biasa dikegiatan kita dapat tetap tertawa bersama dan menghibur yang menangis pilu pada masalahnya. Teruntuk Diknal, Ignal dan lain-lain yang pernah buli aku. Jujur aku marah, kesal. Kenapa harus aku? Ada salah apa aku dengan kalian?” air mataku mulai bergerak keluar “dari rumah aku tak pernah mendapat perlakuan bagus dari Ayahku, sampai disekolah aku kalian buli, kenapa Nal? Kenapa Na (panggilan Igna)..”
“Ay..” Diknal coba memotong, tapi tak kuberi ijin
“Jangan potong pembicaraanku dulu Nal, kali ini biar aku membantahmu dulu. Alasan kenapa kalian buli cukup pada kalian serta Tuhan yang kalian percaya saja yang urus itu. Dengan kalian mengakui salah hari ini sudah lebih dari cukup bagiku. Harapku tidak seperti tulisanku yang kucipta; Jika kita gagal menjadi pemimpin hari ini, apa alasan yang tepat bagi kita untuk tidak mencoba lagi dimasa depan? Bilamana kita gagal menjadi dewasa dihari esok, apa ia kita akan bersikap yang sama sampai kita mati? Tidak bukan? Kejadian kali ini biar aku yang tanggung, pada kalian harapnya jangan pernah alami yang kurasa serta jangan pernah membuat org lain mengalaminya. Dan yang terakhir, Yohana Arabella Henzi” sembari kutatap matanya “aku ucap terimakasih atas malam yang spesial kali ini, terimakasih menerima aku , terima kasih pula telah mewarnai malam ini. Bilamana waktu tetap berkenan, sudinya kau menginjinkan dipertiap kesempatan aku yang menghiasinya.

-

-

-

Hasil dari kesempatan menangis dan tertawa tak terasa waktu menunjukkan sudah pantas disebut tengah malam. Yang semula ada tawa pada bibir ini, seketika kembali pada posisinya terdiam. Belum lama aku berpikir senang sudah diterima Hana, laju motor butut itu sudah saja sampai dipelataran rumah. Kaki lima yang hampir selesai dirombak demi kesenangan Ibu ketiga ini, sudah saja menyambut berteman Ayah yang asik bermain ayun dengan batang kayu bekas patah bertahun silam. Tidakkah aneh itu bisa utuh walau sudah berkali-kali mendapati tiruannya pada diri ini?

“Kenapa baru pulang jam segini?”
“Baru pula kelar acaranya Yah”
“Jam sembilan tadi asik sudah keluyuran anak-anak dari SMA mu berpulangan, hendak pergi kemana kau?” Turut kayu itu sudah tepat diatas kepalaku yang hendak pula akan kutahan. “Matamu? Ada apa dengan itu? Kenapa bengkak? Apa yang kau amini sehingga berani mencari ulah lagi?”
“Tidak Yah, mataku kelilipan debu saat hendak pulang tadi.” Salah satu cara agar selamat adalah berbohong kembali.
“Sudah kasih masuk saja anak itu, tengah malam pun masih asik kau cari masalah dengannya.” Suara itu tidak asing ditelinga ini, aku yang perlahan diijinin masuk melihat sosok yang bertahun-tahun tidak aku lihat. Ibu kandungku.

-

Jika pada Yohana lahir pada 30 Desember 1997, perkenalkan namaku Baadil Aydan. Konon Baadil bermakna; yang terlihat nyata, gurun             yang tenang, Sedangkan Aydan sendiri bermakna; api kecil. Saat aku masih kecil aku bertanya iseng pada Omaku “Oma apapula arti namaku?” dengan nada suara apa adanya dia jawab “pada ketenangan yang hampir menyerupai surga ada sebuah tempat bernama gurun. Dalam kesepian kan ada satu fenomena yang tak diduga layaknya api kecil. Harapannya dirimu adalah api dan ketenangan itu sendiri, bukan menjadi besar dan bukan pula mati, tapi tetap pada ukurannya. Bilamana nantinya harus membakar seusatu, cari seseorang yang dapat memadamkannya. Jika nanti hendak mati, cari seseorang yang dapat meniup api itu kembali ataupun yang dapat menghidupkan api itu kembali.” Kala itu kuanggap hanya ocehan belaka, sekarang aku sadar “mungkin api itu belum mengamuk ataupun mati, namun perilaku api itu apa tetap sesperti api api lainya? Mungkin hari ini atau esok aku tak dapat marah, atau aku yang besok baik hari ini belum disimpulkan mati. Namun apa aku sewaras orang lain? Atau kewarasanku hanya sebatas perkiraan?

Kalau tak salah saat itu aku berumur enam tahun, samar-samar aku dengar piring pecah. Kalau yang pecah cuma sebiji masih dapat aku maklumi; mungkin kesenggol atau apalah. Namun bila berkelanjutan tak kenal henti dapatkah disebut kesenggol?

“Nanti Aydan dengar bagaimana? Masihlah rapuh dirinya mendengar suara kita ini.” Ucapan Ibu pada Ayah yang sudah setinggi dengan dengkup Ayahku.
“Peduli apa aku Lonte?” Lonte? Sebuah pertanyaan besar yang menggrogotiku saat itu. Apa itu sejenis makanan atau apa? Megapa itu keluar dari mulu Ayahku sendiri?
“Jaga mulut Saiful! (sebut saja nama Ayahku itu demikian, adapun namanya tidak mencerminkan kelakuannya)”
“Arwa Suhana Darakhshan seorang lonte yang tidak tahu diri. Tidakkah kau pergunakan dengan adil kaca itu? Apa guna hidupmu dan anak haram itu bila aku tak rawat kalian?” Sekali lagi, Ibu berdarah.

Aku yang tak mau menjadi bagian dalam pertengakaran itu, kembali aku pada pelukan selimutku sampai mata kakiku buta. Teriakan demi teriakan beterbangan, piring dan segala bentuk yang dapat dimainkan lama-kelamaan sirna dari bentuk aslinya. Ibu yang semakin kuat berteriak kesakitan kian hilang pula kegagahan nya. “Apa Ibu mati?” Itu yang aku pikirkan.

Perlahann suara Ibu semakin dekat dengan kamar, sisa tangisnya masih ada. Dipeluknya aku.

“Cih….. tau akan begini hasilnya, lebih baik kubuh saja kau saat itu.” Saat kata itu usai, menghilanglah Ayah tak tau kemana. Mendapati sebulan ada pula itu.

Hilangnya keberadaan Ayah dirumah, medapati senyum yang tak pernah kutampak dari Ibu kusendiri, sedangkan aku? Semakin erat hubungannya dengan Ibuku sendiri. Namun sayang seribu sayang, jika umur jagung dapat menghasilkan pada hari ke 60, kebahagiaan senyum Ibuku dimakan suasana yang tak diminta.

Datang bergerombol tanpa kutahu siapa mereka semua, namun pasti ada seorang wanita lagi yang menopang 2 orang anak, terlihat satunya sedikit lebih tua dari aku, dan satu lagi masih balita. Tanpa kami pinta penjelasan Ayah, sudah pula dia haturkan; ini Ibu barumu Aydan, dan kau pergi sekarang juga! Diam….. hanya itu yang terjadi padaku dan Ibu.

“Tunggu apalagi?”
“Apa pula kau punya pinta untuk menghusirku? Yang punya rumah ini adalah aku, keturunan ke-2 dari keluarga besarku, lantas siapa kau hendak menghusirku?”
Kala itu aku belum tau apa maksud dari pembicaraan mereka, yang terpenting Ayahku sudah kehilangan akalnya.
Dengan dikeluarkannya seutas kertas “nama kepemilikan rumah sudah pindah hak milik jadiku, dan aku akan tinggal bersama istri baruku. Ia kan sayang?” menangguk pula wanita sialan itu. “Dan mengenai hak kemipilikan Aydan dengan persetujuan tokoh masyarakat dan kepala sidang, dia menjadi hak milikku, bukan punyamu”
“Bagaimana teganya dirimu merebut anak semata wayangku?”
“Lantas guna apa kau bertanya demikian? Bukankah lebih baik dirimu lekas bersiap dan pergi dari sini?”

Itulah untuk terakhir kalinya aku melihat Ibu, pergi dengan tangis yang tak tertahan dia titipkan pesan “jaga dirimu dengan baik anakku.”

Berjalannya waktu tak dapat aku menemukan kesesuaian dengan Ibu tiri ini, pun begitu dengan kedua anaknya. Paksaan demi paksaan dari Ayahku rasanya percuma. Sampai pada aku sudah kelas enam SD dia meninggal dengan naas. Ibu tiri yang hendak menyebrang diseruduk tak terduga oleh mobil yang cukup besar, syukur hanya badannya saja yang tertabrak tidak dengan kedua anaknya.

Ketika ada empat orang di rumah dengan tidak satupun yang tau berbuat apa dipaksa mandiri, dengan ketidakakbranku dengan saudara tiriku tidak kunjung berbuah apa-apa. Sejatinya hanya kami tiga saja, Ayah sibuk bermain judi dan ketika pulang sudah hanyut dalam mabuk serta teriakannya. Seolah sudah terencana, pertiap malam dari kami bertiga akan selalu bergantian untuk menopang dan menghantarkan pada kasur busuk itu. Selalu dan selalu.

-

“Dasar lonte, pfff… masuk sana sambut Ibu mu”
“Aydan… sudahlah besar anakku ini.” Pakaiannya kok gitu?
“Pakaiannya Ibu kok begini, bukankah untuk dikatakan pantas saja tidak?”
“Ada salah apa dengan pakaiannya ini anakku?” sembari dengaan senyum keriputnya itu.
“Ayolah Ibu, dengan pakaian Ibu ini masuk Taman Pak Gurbermen saja mungkin sudah akan ditolak.”
“Bukanlah itu pengandaian yang berlebihan Aydan anakku? Bahkan jika Ibu pakai gaun termahal tidak juga kita akan dapat masuk kedalamnya. Mengesampingkan itu” cobanya itu mengubah alur pembicaraan “sudah bagaimana keadaaanmu? Tampak sehat seih kelihatannya, namun apa itu sudah sesuai dengan dalam dirimu ini?”
“Tidak Ibu…”
“Kapan kalian akan berhenti dengan omong kosong ini semua?” Pria bodoh memotong kembali “tidak ada dalam janji kita kalau bole kau menginap.”
“Kali ini saja Ayah, ijinkan aku tidur dengan Ibu.”
“Sekali tidak, tetap akan tidak.”
“Aih… keributan macama apa pula ini?” Istri ketiga, manusia yang sedikit lagi akan bikin aku gila saat itu.

-

Meninggalnya istri ke-2 Ayah tidak habis buat kapok dirinya. Selang setelah anak angkatnya coba membunuh Ayah, dia tak kepikiran akan itu malah asik mencari wanita-wanita yang pikir akan terpikat kembali dengannya.

*Sore, tlah duduk aku dibangku SMP yang mana lebam sudah menjadi tato dan kakak tiriku sudah kelas tiga SMA.

“Ayah hari ini aku pinta ijin untuk adakan acara kecil-kecilan perpisahan kelas kami.”
“Gak bisa! Siapa kau dapat merayakan pesta? Apa kau yang punya rumah ini?”
“Namun suara sudah terlanjur bulat Yah, tak enak diri ini untuk menolak. Mohon pengertiannya Ayah.”
“Sekali tidak, ya tidak.”

Apa pikirmu pembaca kalau acara itu batal? Tidak! Dia bersikukuh untuk tetap melaksanakannya. Lupa aku hari apa itu, namun dia melaksanakan acara itu pada malam hari. Pada hari itu Ayah sudah pergi dari rumah beda dari hari biasanya. Siang… dan kesempatan itu dia ambil untuk melasanakan kegiatan itu. Persiapan demi persiapan usai, satu persatu mulai berdatangan dan makanan perlahan disiapkan. tertawa ketiwi meraka rasakan tanpa mereka tau malapetaka akan datang.

Meletus pistol itu melukai udara “semua diam!”
Mereka yang semula tertawa seketika bisu
“Siapa diantara kalian yang bernama Gali?”
“Saya Om” Kakak tiriku.
“Dimana Bapakmu?”
“Ada pergi keluar, Om…”
“Jangan bohong anjing! Suruh bajingan itu keluar.”
Salah seorang dari kawan ini diketahui cukup ahli dalam beladiri hendak melawan pria pemegang pistol. Mungkin pikrinya ilmunya lebih kuat dari ini pistol.
Dengan mencoba tenang “ayolah Om bukankah teman saya ini sudah jujur?”
“Tidak ada sangkutpaut perkara ini padamu, lebih baik kau diam.”
“Om ini acara kami, dengan bertanya baikpun bisa lantas guna marah dan pakai pistol apa guna?”
“Ahh… bising”
Kakinya mulai mengeluarkan darah.

---

“Ada kejadian apa yang menimpa kalian? Bukankah kalian harus hepi dan berpersta?” Ayah sudah balik dengan botol kosong pada genggamannya dan pastinya sudah mabuk.
“Ayah lebih baik masuk kedalam, Ci (nama adiknya yang dimana merangkap jadi adik tiriku) gotong Ayah kedalam.”
“Aihhhh… anakku yang paling ganteng, jangan galak-galak gitu dong”
“Yah malam ini sejatinya terang, namun hatiku sedang berkabung. Alangkah baiknya Ayah masuk kedalam dan tidur.” Tampak jelas wajahnya sudah mulai mendidih.
“Anakku yang tamp…..” melayang sudah botol kosong itu kekepala Ayahku sendiri.
“Kau ada utang apalagi? Temanku kena tembak, kau pulang mabuk dan banyak gaya. Anjing, jika bukan karena kau Ibu sekarang pasti sedang baik-baik saja.”
“Ternyata sudah beranai melawan Ayahnya sendiri.”
“Kau bukan Ayahku anjing!!!”
Tak dapat dihindari perkelahian mereka, teman-temannya pun tidak. Tak lama Kak Gali menancapkan pisau bekas potong daging tadi tepat diperutnya. Dan Ayah lupa cara membuka matanya walau pada nafasnya masih berjalan.

Lepas dari kejadian itu Kak Gali harus mendekam dipenjara sesuai aturan yang berlaku, dan Ayah harus menjadikan Rumah Sakit jadi kosannya. Namun seorang wanita itu selalu datang walau aku yang menjaga Ayahku (sejatinya aku tidak ingin menemani Ayah, apapula alasanku untuk merawat dia? Toh aku juga trauma oleh dia. Bukankah bagus kalau dia mati lebih cepat?) perawakan tidak menyentuh umur empat puluh tahun. Setiap wanita itu keluar dari ruangan dia akan selalu membenarkan sesuatu dari pakaianya.

Aku yang curiga akan hal itu perlahan-lahan mulai mencari tau. Tepat dihari dia baru datang dan aku pikir “ini waktunya.” Dia cantik seperti biasanya. Kuintip perlahan dari jendela ternyata mereka bercinta seolah meraka masih umur kepala dua dan sedang dipenginapan. Tak sanggup kumelihat hal itu, mulai aku hari itu tidak menjenguk dia lagi. Dan usai Ayah siuman, menikah lagi pria itu.

---

Tidak ada kecurigaan atas kehadiran wanita itu dirumah, pun karena dia juga belum punya keturunan rasanya bersyukur tidak ada lagi namanya usaha untuk mencoba kompak. Namun melewati satu kalender dia mulai berulah, ditambah kepulangan Kak Gali kegilaannya menjadi-jadi. Dia mulai meninggalkan tugas kesehariannya dan dilimpah semaunya kepada kami berdua; aku dan Ci. Kak Gali asik dengan dunia sendiinya dikamar sampai hanya Ci saja yang dapat masuk dikamar itu.

“He anak lonte, kenapa rumah tak kunjung kau sapu?”
“Apa? Aku?” sebenarnya aku tau yang dimaksud adalah aku, tapi guna apa aku punya pemberian Ibuku lantas harus mendengar panggilan dia? Toh dia bukan Ibu kandungku.
“Siapa lagi dirumah ini hasil buah dari seorang lonte?” menyahut pula Ayah.
“Namaku Baadil Aydan, anak dari Arwa Suhana Darakhshan. Tak ada hakmu memanggilku demikian. Pun dengan kau Yah. Jika memang aku anak lonte lantas bajingan gila mana yang melakukan itu? Bukankah dirimu?”
“Jaga ucapanmu! Pikirmu sudah sekuat apa dirimu melawan aku”
“Oh… begini hasil anak lonte? Dapat dimaklumilah” wanita kurang ajar itu semakin jadi dia mengkompori kami.

Entah mengapa keberanianku hanya bisa sebatas mulut saja, padahal kalau dipikir-pikir bisa saja badannya hancur kubuat apalagi dia punya bekas tusukan pada perutnya, padahal saat itu aku sudah sedikit lebih tinggi dari dia. Pun pubertasku cukup pas untuk takaran anak kelas satu SMA. Ayah memukuli sampai berdarah, pada betisku dipukul tiada henti oleh gagang kursi itu, sembari dipukuli wanita itu selalu berucap “pantas dia mendapatkan itu, pun sejatinya dia tak layak hidup di bumi ini baik itu negeri ini.” Teriakan demi teriakan aku lantangkan berbarengan dengan pukulan yang kian makin kuat. Tak dapat aku ingat berapa lama aku dipukuli, intinya ketika mataku terbuka sudah masih tergeletak diruang tamu dengan bekas darah. Marah, kesal, dendam, tak tau aku harus urutkan bagaimana kekesalanku yang pasti “suatu saat akan kubunuh kau.”

-

“Diam kau sialan…” tatapku ganas pada wanita itu
“Huss… tak boleh ucap begitu. Bagaimana bila Ibumu ini yang seandainya sasaran ucapan itu?”
“Akan kucari dia sampai mati Ibu.”
“Aydan, bila hendak ada orang yang kau benci, sudahkah setara kau dengan Tuhan sampai kau ada hak untuk membunuh dia…”
Tak tau kenapa Ayah memotong pembicaraan Ibu “aih basi sekali pembicaraan kalian, sudah sana kalian tidur satu kamar, tak mau aku masuk penjara karena menelantarkan wanita lonte sepertimu keluar sana.

Masuk aku kekamar berbarengan dengan Ibu, dia tak henti termakan kagum degan kerapian kamarku.

“ayoyooo anakku inilah, bila ada semut permisi masuk kamar ini rasanya berjalan muluspun tak sanggup karena sangkin mengkilapnya kamar ini.”
“Ibu berlebihan, dulukan Ibu selalu aku perhatikan bersih-bersih juga aku sebagai anakmu mengikutinya.”
“Memang lah anakku ini. Sungguh rindu sekali denganmu” diusap pula tangan rapuh itu dirambutku. Dan air mata ini tumpah
“Ibu kenapa baru pulang sekarang? Ingin kusebut kau jahat karena tak kunjung kau kulihat, namun aku tak sanggup Ibu”
Ibu merangkul aku “nak, bukan tak mau Ibumu ini berjumpa denganmu, bilamana Ibu punya kekusaaan sudah kurebut kau dari rumah ini. Namun sudah sekuat apa aku dapat merebut kau?”
“Paham aku Ibu.”
“Sekarang jujur nak, apa yang terjadi selama ini padamu? Tak mau Ibu kau melewatkan satu ceritapun. Juga besok adalah hari pekan, bangun lama juga tak jadi persoalan.”

Kumulai ceritaku dari aku yang kena dipukul Ayah sampai berdarah, perbuatan istri kedua ayah, aku yang dibuli disekolah sampai tadi mereka minta maaf, perlakuan istri ketiga, aku yang mencari cara untuk kabur dari rumah dan cerita aku pula tentang Yohana. Dari semua cerita itu sedih itu, Ibu sumringah mendengar nama kekasihku. Kuceritakan kenapa kami dapat saling kenal dan sampai kami tadi jadian.

“Apa? Anakku sudah punya pacar”
“Sudah Ibu.” Terseyum pula akau menceritakannya.
“Lantas apa Agamannya?”
“Kristen Katolik Ibu”
Ibuku adalah seorang yang taat pada Agama, masih pula diberpikir saat itu kalau jodoh berbeda agama takkan bagus ujungnya.
“Tahu betulkan dirimu kalau ketika dua Agama yang berbeda menjalin hubungan akan jarang menemukan kebahagiaan.”
Aku yang cukup dikatakan dewasa mulai menjealskan satu persatu alasan aku suka padanya sampai aku suka, peralahan perlahan.
“Ibu memang kusudah janji bila kami sampai dijenjang pernikahan, aku yang akan pindah ke Agama dia. Namun aku berjanji pada Ibu takkan kulupa wujudmu.” Bersujud aku pada Ibu dan mencium kakinya yang tampak mulai berkeriput “aku harap Ibu percaya padaku.”
“Baiklah, bila itu keputusanmu guna apa aku mebantah lagi? Toh kau sudah dewasa.”

Kami lelap dalam tidur sehabis pembicaraan malam itu, ketika aku bangun Ibu sudah tidak lagi disampingku namun meninggalakan alamat dan tulisan “Ibu pergi pulang nak, jaga dirimu baik-baik. Ibu sengaja pergi sebelum Ayahmu bangun. Jika kau ingin datang, hampiri alamat ini. Dan harapku dapat kau menghubungi aku, sudah punya ponsel kan?”

.

Hari ini adalah kelulusan angkatan kami, sedih? Tentu tidak! Bagaiman tidak, aku mendapatkan seorang kekasih berdekatan dengan kelulusan kami. Senang? Tidak seutuhnya? Bagaiman mau senang, dalam kelulusan kami kali ini orang tua kami turut andil bagian dalamnya. Bila yang lain membawa keluarga yang harmonis, aku malah membawa keluaraga yang seolah-olah malapetaka. Harusnya itu hanya berlaku pada bayangku saja. Nyatanya......

Rangkaiann demi rangkaian acara terlewati, kali ini yang mengisi hiburan dan yang mengatur acara adalah anak kelas dua, jadi kami cukup duduk tenang menikmati acara juga menikmati makanan, serta canitknya Yohana hari itu. Pembaca… bila Yohana dimasamu, mungkin kau akan merasa paling bodoh karena wanita secantik dia dapat jatuh digenggamanku. Hahahahaha… angkuhku memang. Satu persatu pula nama disebutkan pertanda kami sah lulus, dan harus maju kedapan bersama orang tua kami masing-masing. Kala itu wanita Ayahku berpakaian sangat seksi, berbanding terbalik dengan ibu-ibu lainnya yang berdandan biasa, juga dia jadi arah pandangan mata karena badannya itu. “Baadil Aydan” namaku sudah dipanggil kepala sekolah “bawa serta kedua orang tua mu.” Majulah kami berbarengan dengan aku yang memaksa mimik ini terseyum, dan mata tertuju pada wanita Ayahku (tak sudi dia kupanggil Ibu, selayaknya dirimu pembaca yang mungkin ada salah satu dari kalian yang punya keluarga tak harmoni. Tenang! Kau tak sendirian). Entah mengapa dibalik khalayak rame itu semua, Ibuku turut hadir. Betapa senangnya aku yang awalnya memaksa terseyum jadi tulus dikarenakan kehadirannya. Ku tersenyum saat mata kami berpapasan. Ahh… hari yang indah, rasanya.

Saat hendak akan duduk dibangku seluruh mata tertuju pada kami dengan sinisnya, entah apa penyebabnya akupun tak tau. Setelah kami dudukpun mata-mata itu tak kunjung redup malah semakin menjadi-jadi. Semula hanya mata mereka yang berbicara, sekarang malah mulut mereka yang berulah. Aku acuh sampai akhir acara, toh pikirku karena pakaian wanita ini. Selesainya acara itu ditutup dengan foto bersama antar siswa dan aku tak ketinggalan berfoto berdua dengan Yohana. Kebetulan mereka ada kamera, pada masa itu keluarga yang punya kamera tidak seramai masa sekarang. Aku juga tak lupa utuk menumpang foto pada mereka untuk dapat berfoto berdua dengan Ibuku. Kupanggil dia dan kukenalkan pula Yohana kalau dia ini adalah Ibu kandungku yang selama ini aku ceritakan padanya.

“Apakah kau yang bernama Aydan? Cukup tampan kau kelihatannya.” Dari seorang pria yang cukup berbadan lebar namun tak buncit, bersuara bass pula.
“Ya pak, saya Aydan. Salam kenal sebelumnya.” Kami pun berjabat tangan dan Hana datang.
“Aydan ini Ayahku, dan ini Ibuku” kujabat tangan Ibunya yang terseyum ikhlas memandangku. “Ayah, Ibu ini Aydan yang pernah Hana ceritakan pada kalian.”
Malu semalunya aku ketika tahu Hana menceritakan aku pada kedua orang tuanya, tapi biarlah bukannkah ini langkah yang bagus?
Dengan kerudung dan berpakaian tertutup kupanggil dia “Ibu sini aku perkenalkan Yohana, yang kemarin aku ceritakan sampai pagi”
Memerah wajah Hana “apa sih Aydan”
“Buat apa kau malu? Bukankah kamu menceritakan Aydan pada kami?” Ayah terbaik memang beliau ini.
“Assalamualaikum Pak, Bu, Hana” seyumnya lebar pada Hana. Ha… sudah seperti mau nikah saja kami ini pikirku saat itu “saya Ibu dari Aydan. Salam kenal.”
“Waalaikumsalam Ibu” serentak Hana dan kedua orang tuanya menjawab.
“Halo Ibu. Ibu cantik sekali dengan pakaian ini.” Tak disangka Ibu Hana tak kalah ramah dari Ibuku.

Kami menepi demi menikmati obrolan kami, Ibu yang sedikit terkejut perbedaan keyakinan kami yang tak menjadi penghalang pengikat saudara tak menimbulkan rasa tak nyaman. Malah kami ini seolah-olah sudah berkenalan bertahun-tahun lamanya.

Bunyi Pistol mengaungkan suaranya. Sontak semua berteriak dan berlarian,  kami pun turut mencari tempat yang aman. Kulihat dari keributan itu ternyata Ayahku berulah kembali dan wanitanya tidak tau lenyap kemana. - Dimasa kebebasanku kala itu aku mencari tau akar kejadian saat itu. Ternyata mata yang kala itu tlah menjadi sinis disebabkan bocornya salah dua orang ke telinga dia, yang mengatakan keburukan dia, lalu hancurnya keluarga dan sudah tiga kali dia berganti istri. Sontak dia emosi dan memukul dua orang tersebut serta mengeluarkan pistol dari belakang celananya. Lantas dia mencari kami dan hendak untuk membunuh Ibuku saat itu.-

“Dimana kau lomte???” Merah pada matanya sudah menggebu-gebu mecari Ibuku.
“Ayo semuanya lari.” Pintaku kemereka semua “Pak, Bu nanti aku ceritakan kenapa bisa terjadi ini semua. Untuk pertama kalinya aku meminta kalian, tolong percaya padakau.”
Ayah menemukan kami “hendak lari kemana kalian anjing???” bersuara sekali pistol itu. Tak disangka-sangka lari dia cukup laju. “Stop! Jangan ada yang gerak, selangkah pun tidak!”
Kami selayaknya mayat hidup. “Apa sih Yah, kegilaan macam apa lagi ini?”
“Diam kau anak haram!”
Ibu sudah memerah malu atas kebodohan mantan suaminya “mulutmu, tidakkah kau malu atas perbuatanmu?”
“Ah diam!” Sekali lagi udara menjadi imbas tembakan itu.

Banyak dia berceloteh akan yang dialami dia, padahal apa yang diperbuat adalah hasil kebodohan dia sendiri.

“Ayolah pak, bukannya lebih nyaman bila kita membicarakan ini secara kekeluagaan?” Ayah Hana coba membela kami saat itu.
“Siapa hendak dirimu ini coba melarang aku berbicara? Ha?”
“Aku adalah Ayah dari teman anakmu.”
“Ayah dari teman anakku?” Matanya sudah nyaman memandang Yohana “oh… ternyata kau anak anjing kemarin? Dan kau? Adalah induk dari Anjing ini? HAHAHAHA… buah tidak jauh jatuh dari pohonnya memang. Mengurusi sesuatu yang bukan urusannya adalah budaya kalian.” Sekali lagi dia melukai udara.
Mendengar ucapan itu, Ayah Hana kehilangan wajah normalnya namun tetap dia menahan amarah. “Pak bukankah buruk rasamu bila kesan pertama kita dimulai dengan kalimatmu barusan?”
“Peduli setan.”
Ketika akan hendak memulai ucapannya, dia memberi arahan kode untuk memanggil polisi dengan nomor darurat karena dekat SMA ku ada kantor polisi, “Pak… sudahlah, tiada guna pula kau marah.” Dia melihat Ibu yang sudah takut menggigil yang tepat disampingnya itu “lihatlah Ibu sudah ketakutan begini, tidakkah kau kasihan?”
Ayah melihat sekelilingnya hanya Ayah Hana yang berani bicara padanya, teramasuk kepala sekolah diam seolah tak bernyawa. Sembari dia semakin mendekat dan arah pistol menghadap kami “Wanita ini……”

Dia menceritkan apa yang tak patut diceritakan dengan pendengar sebegitu banyaknya. “Dan wanita ini harus mati hari ini!”
Saat Ayah akan menembak, Ayah Hana sontak melindungi Ibu. Yah… peluru sudah sudah gagal mengenai Ibu dan Ayah Hana sebagai tamengnya tepat dipundak. Hana dan Ibunya juga sontak teriak.
“Anjing!!!” Meledak sudah amarahku dan berlari aku kedia. Tak peduli dengan mata yang melihat tindakan ku dan aku juga seketika acuh dengan Yohana beserta dengan Ibu. Kujatuhkan dia ketanah dengan pistol masih ditangannya. Kupukul mukanya berkali-kali. Entah kenapa polisi amat lama datangnya kala itu.
“Berani kau memukul Ayahmu?”
“Ah… diam kau setan! Bila aku dianggap gila hari ini, berarti itu disebabkan olehmu.” Kupukuli dia tiada henti, tangan ini pun sudah penuh darah yang bersalah dari hidung dan mulutnya.
“Kau minta mati juga?”
Mulai terdengar suara sirine mobil polisi, dalam hatiku; usai sudah ini. “Yang pantas mati kau, anjing!!!”
Tak tau kenapa dia dapat mencampakkan aku dan coba menembakku “mati kau!!!”

Saat hendak menembak, aku habiskan tenaga untuk melawan dan reflek ambil pistol.

Ayah mati. Semua terkejut Hana, kedua orang tua nya, juga Ibu dan terkhusus aku. Dua lobang ada pada tubuhnya kala itu. Hanya terdiam aku dengan darah ditanganku, dan polisi datang dengan pinta untuk kami semua diam.

Atas kejadian itu aku dijatuhi hukuman lima tahun penjara atas tuduhan pembunuhan berencana. Sejatinya lima belas tahun, namun dikompensasi karena aku dibawah umur saksi mata yang mengatakan tindakan itu bukan karena atas nama kesengajaan. Juga peran bantu besar dari keluaga Hana. Dan Ibu hanya dapat menangisi anaknya yang harus mendekam dalam sel tahanan, serta Hana yang sudah dipelukan Ibunya kala itu.

Lima tahun aku dalam penjara, banyak kejadian buruk dan baik (tak dapat aku ceritkan padamu pembaca apa yang kualami saat itu). Aku juga melatih badanku serta aku belajar semua Agama, dan kutemukan adalah hal buruk bila berganti pasangan apalagi cerai dan menikah lagi bila tidak dipisahkan oleh kematian. Kuyakinkan juga diriku saat itu, bila keluar dari jeruji ini aku harus mencari pekerjaan dan menikahi Yohana turut menyenangkan Ibuku pula.

30 Maret 2002 aku keluar dari penjara. Ibu, Hana serta kedua orang tuanya menyambutku. Melihat badanku yang menjadi bagus tak dapat tertahan pujian mereka sera isak tangis menjadi awal bagiku dan Ibu. Kusalam orang tua Hana dan kulihat Hana yang semakin cantik, diceritkan pula Hana sudah mendapat gelar sarjananya dan bekerja disalah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang ekonomi.

Mendengar itu aku semakin membulatkan tekadku tak ingin kalah dari Hana. Kala itu kudengar bahwa; akan malu bila gelar istri ketimbang dari suaminya.
Tak lama dari keluarnya aku. Tiga tahun kemudian atas kegigihanku, aku lulus dari perkuliahaan. Tak dapat tertahan senangnya Hana dan Ibuku atas kelulusanku saat itu. Selepas itu aku bekerja disalah satu bidang pertanian dan masih satu daerah dengan Hana. Perlahan demi perlahan pula aku dan Hana semakin erat hubungannya dan Ibu juga semakin kuat ikatannya dengan orang tua Hana. Aku juga mulai belajar ajaran Agama Katolik demi menepati janjiku ke Hana bertahun-tahun silam.

30 Mei 2007 aku melamar Hana. Kuberanikan diri untuk datang langsung kekediaman orang tua Hana, kusampaikan pula apa janji kami serta berjanji pula akan menjaga anak wanitanya segenap hati sebagaiamana aku mencintai Ibuku. Tentang aku yang akan pindah Agama sudah juga mereka meng-acc hal itu. Disaksikan Ibu, dia menangis dalam dekapannya. Tak disangka dia anaknya akan menikah, mungkin seperti itulah.

20 Agustus 2007 kami menikah. Diberkati oleh seorang Pastor yang sudah cukup lama pengalamannya. Kata yang tidak pernah kulupa hingga saat ini adalah; Yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, hendaklah tidak dipisahkan oleh manusia. Kami dipersilahkan untuk menyalam kedua orang tua kami.

Kuhampiri Ibuku dengan berlutut dihadapannya “Ibu… Aydan pamit untuk menjadi kepala keluarga.”
Hanya tangis dan anggukan yang dia berikan. Hana juga berlutut dan memeluk Ibu dengan haru.
Kuhampiri Orang tua Hana, Ayahnya langsung menepok pundakku “jaga anakku dengan baik, jika tidak aku beseta kedua saudara Hana akan menghajarmu.” Dengan dia terseyum aku menganggap; Hana harus kujaga dengan baik.
Begitu juga dengan Ibunya “nak, dalam keluarga sebagai laki-laki kau adalah seorang kepala, bilamana kepala itu rusak, rusak pula anggota tubuh lainnya.”
“Ia Bu,” sambil kepala mengangguk mengiyakan.
Dan ketika Hana berhadapan dengan kedua orang tuanya, untuk pertama kali Ayah Hana menangis untuk pertama kalinya.

….

Dan sekarang kami dikaruniai tiga orang anak; anak pertama laki-laki, kedua laki-laki, dan ketiga perempuan. Satu hal yang kukagumi dari anak-anakku adalah tidak diwarisinya sifat Ayahku dulu. Ketika adik perempuannya menangis, mereka berdua sebagai abangnya akan selalu berebutan untuk menenangkan adiknya.
Syukurlah demikian.-

 

“Waras… bukan hanya mati dalam hubungan arti gila. Namun ketika dirimu/ku menyikapinya. Apakah dapat kau me-wajar-kan keadaaan ketika terjadi sesuatu dan ke-waras-an-mu yang diperjuangkan? Atau apa dapat kau me-waras-kan dirimu atas kejadian yang memaksamu untuk me-wajar-kan-nya?”




Penulis                  : Lumaterasi

Penyunting           : Riyadi

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done