“Air Mata yang Tidak Terdengar” - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

“Air Mata yang Tidak Terdengar”

 

Ilustrasi: Oliviana Angelicha Effendy

 

Hujan turun dengan cara yang aneh malam itu—seolah ia membawa pesan yang terlalu berat untuk disampaikan. Rintiknya jatuh pelan, lalu deras, lalu berubah menjadi tirai air yang menyembunyikan wajah langit.

 

Di balik tirai itu, ada seseorang yang menangis.

Bukan manusia.

Bukan pula dewa.

 

Itu Ibu Pertiwi—dalam bentuk kiasan paling lembut – menangis dalam diam.

 

Tangisnya bukan jeritan, melainkan desir angin yang terdengar ragu.

Bukan cucuran air mata, melainkan sungai yang tiba-tiba meluap membawa tanah dan kayu yang seharusnya masih tertancap di bukit-bukit Sumatra.

 

 

Di sebuah desa yang kini berubah jadi lautan dangkal, seorang anak kecil berdiri memeluk anjing kampungnya yang basah dan ketakutan. Air sudah mencapai pinggangnya, dingin dan kelabu. Di sekitar mereka, rumah-rumah rebah seperti tubuh tua yang tak sanggup lagi berdiri.

 

“Hujannya marah ya, Bu?” tanya anak itu sambil menatap langit yang tak menjawab.

 

Ibunya menggenggam tangan anak itu—genggaman yang gemetarnya lebih terasa daripada dingin air.

 

“Bukan hujannya,” bisiknya.

“Tanahnya yang sedang menangis.”

 

Ia tak sanggup mengatakan bahwa air itu membawa jejak dari hutan yang direnggut. Bahwa banjir itu menyelinap lewat celah-celah tanah yang kehilangan akar untuk memeluknya. Bahwa suara Ibu Pertiwi terdengar paling jelas ketika manusia justru sibuk menutup telinga.

 

 

Di balik bukit yang gundul, Ibu Pertiwi menunduk. Ia tak perlu wujud tubuh, karena ia hadir dalam bentuk paling sunyi: aroma tanah basah yang patah hati, hembusan angin yang mengandung sesal, hujan yang jatuh tanpa irama.

 

Setiap batang pohon yang hilang adalah helai rambutnya yang tercabut.

Setiap lubang tanah adalah luka di kulitnya.

Setiap banjir adalah air matanya yang tidak sempat diseka.

 

Ia tidak marah.

Ia hanya sedih—sedih pada manusia yang lupa caranya menjaga, sedih pada tangan-tangan tak bertanggung jawab yang memotong pohon tanpa mendengar rintih makhluk lain.

 

Di antara puing-puing banjir, terlihat bangkai kijang kecil tersangkut di akar tumbang. Belum kering tubuhnya, belum habis nyawanya, tetapi dunia sudah terlanjur menelannya.

 

Ibu Pertiwi mengusapnya dengan angin lembut.

Hewan-hewan itu tak pernah meminta banyak—sekadar tempat tinggal yang tidak dijual oleh serakah yang sembunyi di balik seragam, tanda tangan, atau dalih.

 

Namun yang paling menyakitkan bagi Ibu Pertiwi bukanlah banjir itu sendiri.

Bukan juga hutan yang digunduli.

Bukan hewan yang hanyut.

 

Yang paling menyakitkan adalah ketika penderitaan itu tidak diakui sepenuhnya.

 

Ketika tempat yang porak-poranda belum dianggap cukup untuk disebut “bencana nasional.”

Ketika angka-angka lebih keras suaranya daripada jeritan yang tersisa di udara.

 

Air sungai yang meluap pun bergerak dengan getir, seakan berkata:

 

“Seberapa banyak lagi yang harus tenggelam agar kalian melihat kami?”

 

 

Malam itu, ketika hujan berhenti, desa tampak seperti lembaran puisi yang tumpah tinta. Pekat, berantakan, tetapi indah dalam kesedihan yang jujur.

 

Seorang lelaki tua berdiri di tepi sungai, memandangi potongan kayu besar yang tersangkut.

 

“Kau lihat itu?” katanya pada cucunya.

“Itu dulu rumah bagi burung-burung. Sekarang jadi rumah bagi banjir.”

 

Cucunya menatapnya, mata kecilnya bingung tapi basah.

 

“Kenapa pohonnya ditebang, Kek?”

 

Lelaki tua itu menarik napas panjang—napas yang mengandung seluruh kelelahan Sumatra.

 

“Karena ada orang-orang yang lupa bahwa bumi bukan warisan, tapi titipan.”

Ia tersenyum getir.

“Sangat pandai mereka menghitung uang, tapi buruk sekali menghitung risiko.”

 

Di kejauhan, angin membawa suara lirih, seperti gumaman perempuan yang kehilangan sesuatu yang sangat dicintai.

 

Itu suara Ibu Pertiwi—kiasan dari alam itu sendiri—yang masih menangis pelan.

 

Tangis yang halus namun menggetarkan

Tangis yang mengalir tanpa harus terlihat

Tangis yang menyimpan pesan paling sederhana:

 

“Jagalah aku…

Atau aku akan mengingatkan kalian dengan cara yang tak ingin kalian ingat.”

 

Dan malam itu, di antara tanah yang retak, rumah yang rusak, dan hewan yang kehilangan tempat pulang, tidak ada yang bisa membantah:

 

Banjir itu bukan sekadar air.

Ia adalah air mata Ibu Pertiwi yang akhirnya tak sanggup lagi ditahan.

 

Penulis: Oliviana Angelicha Effendy

Penyunting: Lathifah An Najla


Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done