(Ilustrasi:
Kawan Terdekat Penulis)
Sejak kecil, saya sering
mendengar kalimat yang membuat langkah saya terasa lebih berat dari seharusnya:
“Mana mungkin kamu perempuan
bisa memimpin dengan baik?”
“Perempuan itu tidak perlu
sekolah tinggi, nanti juga akhirnya di dapur.”
Saya tumbuh dengan suara-suara
yang tidak hanya mempertanyakan kemampuan saya, tetapi juga meremehkan
kapasitas perempuan untuk memimpin. Namun hidup saya mengarahkan ke jalan
berbeda. Saya dibesarkan tanpa figur ayah, tetapi bukan tanpa arah.
Didikan Keras Ibu dan Lahirnya
Seorang Alpa Girl
Ibu saya bukan tipe yang banyak
bicara manis. Didikannya saya sebut sebagai didikan VOC—keras, tegas,
disiplin, tapi penuh makna. Dari ibu, saya belajar bahwa:
·
Perempuan
harus mandiri,
·
perempuan
harus berani memimpin,
·
dan
perempuan tetap harus memelihara kelembutan.
Didikan itu membentuk saya
menjadi apa yang orang sekarang sebut sebagai alpa girl: perempuan yang
tegas, punya pendirian, tetapi tidak kehilangan sisi lembut yang membuat saya
tetap manusia.
Kampus, Organisasi, dan Proses
Menempa Diri
Saat menginjak bangku kuliah,
saya masuk ke dunia organisasi — bukan hanya yang ada di dalam kampus,
tetapi juga yang di luar kampus.
Di kedua ruang itu, saya bertemu
berbagai karakter: yang mendukung, yang meremehkan, yang meragukan, dan yang
diam-diam memperhatikan cara saya bekerja.
Suatu hari, ketika saya sedang
mengerjakan beberapa program yang cukup berat, salah satu teman laki-laki saya
menatap saya dengan ekspresi sulit ditebak. Saya pikir dia akan mengomentari
kerja saya, atau mungkin menyindir seperti sebagian yang lain. Tetapi ia justru
tersenyum dan berkata:
“Kamu gila ya… iya gila dalam
hal apa pun, tentunya positif.”
Ia mengatakannya sambil tertawa
kecil, tapi ada ketulusan yang tidak bisa saya abaikan.
Gila, katanya.
Gila dalam arti mau mencoba
hal-hal yang orang lain takut lakukan.
Gila dalam artian tidak takut
memulai, memimpin, dan mengambil risiko.
Untuk pertama kalinya, ada
laki-laki yang tidak melihat keberanian saya sebagai sesuatu yang “berlebihan”,
melainkan sesuatu yang patut diapresiasi. Kalimat itu sederhana, tetapi ia
menguatkan saya di tengah suara-suara meremehkan.
Membaca Riset Harvard:
“Kelemahan” Perempuan Ternyata Fondasi Kepemimpinan
Di masa itu pula saya menemukan
artikel Harvard Business Review yang mengubah cara saya melihat diri sendiri.
Penelitian mereka menunjukkan bahwa perempuan justru unggul dalam:
· kecerdasan emosional (EQ),
·
memahami
dan mengatur emosi tim,
·
komunikasi
dan empati,
·
kemampuan
menangani konflik,
·
integritas
dan ketelitian,
·
serta
efektivitas kepemimpinan secara keseluruhan.
Semua “kelemahan” yang sering
dituduhkan pada perempuan — sensitif, mudah peduli, terlalu lembut — ternyata
adalah karakteristik yang membuat seorang pemimpin dihormati dan didengar.
Dan saat saya membaca riset itu,
saya teringat komentar teman saya tadi:
“Gila positif.”
Ternyata saya memang “gila”
dalam cara yang tepat.
Alpa Girls Juga Punya Ruang
untuk Lelah
Namun perjalanan ini juga
mengajarkan satu hal penting:
menjadi alpa girl bukan berarti
selalu kuat, selalu tegas, atau selalu memimpin.
Ada hari-hari ketika saya lelah.
Ada malam-malam ketika saya
ingin diam saja.
Ada waktu-waktu ketika saya
harus berhenti untuk bernapas.
Lewat journaling, saya
menumpahkan beban kepala yang sering terasa penuh.
Lewat membaca, saya belajar
kenyataan bahwa banyak perempuan hebat di dunia juga tidak selalu kuat.
Lewat meditasi, saya menemukan
bahwa jeda bukan kelemahan itu adalah kebutuhan manusia.
Perempuan boleh tegas, tetapi
perempuan juga boleh lembut.
Perempuan boleh memimpin, tetapi
perempuan juga berhak istirahat.
Penutup: Menjadi Alpa Girl
Adalah Perjalanan yang Terus Hidup
Kini saya mengerti bahwa
perjalanan saya bukan tentang membuktikan perempuan bisa memimpin.
Itu terlalu kecil untuk
dijadikan tujuan.
Perjalanan saya adalah tentang
menerima bahwa saya bisa menjadi keduanya:
tangguh dan rapuh, berani dan
takut, maju dan berhenti.
Dan dari ruang-ruang organisasi
kampus, ruang publik di luar kampus, dan ruang-ruang sunyi di antara keduanya —
saya menemukan diri saya.
Seorang perempuan yang memimpin
bukan karena harus, tetapi karena mampu.
Seorang perempuan yang kuat
bukan karena tidak pernah jatuh, tetapi karena terus bangkit.
Seorang alpa girl yang tahu kapan menerjang dunia, dan kapan
memberi hatinya ruang untuk beristirahat.
Penulis: Oliviana Angelicha
Effendy
Penyunting: Lathifah An Najla