Alpa Girls: Perempuan yang Menemukan Kepemimpinan Melalui Jejak Pendidikan dan Cerita Hidup - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Alpa Girls: Perempuan yang Menemukan Kepemimpinan Melalui Jejak Pendidikan dan Cerita Hidup

 


(Ilustrasi: Kawan Terdekat Penulis)

 

Sejak kecil, saya sering mendengar kalimat yang membuat langkah saya terasa lebih berat dari seharusnya:

“Mana mungkin kamu perempuan bisa memimpin dengan baik?”

“Perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi, nanti juga akhirnya di dapur.”

Saya tumbuh dengan suara-suara yang tidak hanya mempertanyakan kemampuan saya, tetapi juga meremehkan kapasitas perempuan untuk memimpin. Namun hidup saya mengarahkan ke jalan berbeda. Saya dibesarkan tanpa figur ayah, tetapi bukan tanpa arah.

 

Didikan Keras Ibu dan Lahirnya Seorang Alpa Girl

Ibu saya bukan tipe yang banyak bicara manis. Didikannya saya sebut sebagai didikan VOC—keras, tegas, disiplin, tapi penuh makna. Dari ibu, saya belajar bahwa:

·       Perempuan harus mandiri,

·       perempuan harus berani memimpin,

·       dan perempuan tetap harus memelihara kelembutan.

 

Didikan itu membentuk saya menjadi apa yang orang sekarang sebut sebagai alpa girl: perempuan yang tegas, punya pendirian, tetapi tidak kehilangan sisi lembut yang membuat saya tetap manusia.

 

Kampus, Organisasi, dan Proses Menempa Diri

Saat menginjak bangku kuliah, saya masuk ke dunia organisasi — bukan hanya yang ada di dalam kampus, tetapi juga yang di luar kampus.

 

Di kedua ruang itu, saya bertemu berbagai karakter: yang mendukung, yang meremehkan, yang meragukan, dan yang diam-diam memperhatikan cara saya bekerja.

 

Suatu hari, ketika saya sedang mengerjakan beberapa program yang cukup berat, salah satu teman laki-laki saya menatap saya dengan ekspresi sulit ditebak. Saya pikir dia akan mengomentari kerja saya, atau mungkin menyindir seperti sebagian yang lain. Tetapi ia justru tersenyum dan berkata:

“Kamu gila ya… iya gila dalam hal apa pun, tentunya positif.”

 

Ia mengatakannya sambil tertawa kecil, tapi ada ketulusan yang tidak bisa saya abaikan.

Gila, katanya.

Gila dalam arti mau mencoba hal-hal yang orang lain takut lakukan.

Gila dalam artian tidak takut memulai, memimpin, dan mengambil risiko.

 

Untuk pertama kalinya, ada laki-laki yang tidak melihat keberanian saya sebagai sesuatu yang “berlebihan”, melainkan sesuatu yang patut diapresiasi. Kalimat itu sederhana, tetapi ia menguatkan saya di tengah suara-suara meremehkan.

 

Membaca Riset Harvard: “Kelemahan” Perempuan Ternyata Fondasi Kepemimpinan

Di masa itu pula saya menemukan artikel Harvard Business Review yang mengubah cara saya melihat diri sendiri. Penelitian mereka menunjukkan bahwa perempuan justru unggul dalam:

 

·       kecerdasan emosional (EQ),

·       memahami dan mengatur emosi tim,

·       komunikasi dan empati,

·       kemampuan menangani konflik,

·       integritas dan ketelitian,

·       serta efektivitas kepemimpinan secara keseluruhan.

 

Semua “kelemahan” yang sering dituduhkan pada perempuan — sensitif, mudah peduli, terlalu lembut — ternyata adalah karakteristik yang membuat seorang pemimpin dihormati dan didengar.

Dan saat saya membaca riset itu, saya teringat komentar teman saya tadi:

“Gila positif.”

Ternyata saya memang “gila” dalam cara yang tepat.

 

Alpa Girls Juga Punya Ruang untuk Lelah

Namun perjalanan ini juga mengajarkan satu hal penting:

menjadi alpa girl bukan berarti selalu kuat, selalu tegas, atau selalu memimpin.

 

Ada hari-hari ketika saya lelah.

Ada malam-malam ketika saya ingin diam saja.

Ada waktu-waktu ketika saya harus berhenti untuk bernapas.

 

Lewat journaling, saya menumpahkan beban kepala yang sering terasa penuh.

Lewat membaca, saya belajar kenyataan bahwa banyak perempuan hebat di dunia juga tidak selalu kuat.

Lewat meditasi, saya menemukan bahwa jeda bukan kelemahan itu adalah kebutuhan manusia.

 

Perempuan boleh tegas, tetapi perempuan juga boleh lembut.

Perempuan boleh memimpin, tetapi perempuan juga berhak istirahat.

 

Penutup: Menjadi Alpa Girl Adalah Perjalanan yang Terus Hidup

Kini saya mengerti bahwa perjalanan saya bukan tentang membuktikan perempuan bisa memimpin.

Itu terlalu kecil untuk dijadikan tujuan.

 

Perjalanan saya adalah tentang menerima bahwa saya bisa menjadi keduanya:

tangguh dan rapuh, berani dan takut, maju dan berhenti.

 

Dan dari ruang-ruang organisasi kampus, ruang publik di luar kampus, dan ruang-ruang sunyi di antara keduanya — saya menemukan diri saya.

 

Seorang perempuan yang memimpin bukan karena harus, tetapi karena mampu.

Seorang perempuan yang kuat bukan karena tidak pernah jatuh, tetapi karena terus bangkit.

Seorang alpa girl  yang tahu kapan menerjang dunia, dan kapan memberi hatinya ruang untuk beristirahat.

 

Penulis: Oliviana Angelicha Effendy

Penyunting: Lathifah An Najla

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done