Di sebuah sekolah negeri di pinggir kota, pagi itu anak-anak berkumpul riang. Hari ini ada pembagian MBG—Makan Bergizi Gratis.
“Lihat, lauknya ayam goreng sama sayur sop!” seru seorang bocah dengan mata berbinar.
“Gratis! Lebih enak dari bekal rumah,” tambah temannya, sambil menatap bekal nasi kecapnya yang langsung ia tutup rapat.
Guru pun tersenyum bangga. “Ini bukti perhatian pemerintah pada generasi emas. Kita harus bersyukur.”
Piring-piring pun penuh, sendok-sendok menari. Anak-anak makan dengan lahap, seakan surga turun di meja makan sekolah.
Namun, satu jam kemudian, suasana berubah jadi film horor.
Seorang murid tiba-tiba muntah di atas meja.
Yang lain berteriak kesakitan, menggeliat di lantai.
Beberapa bahkan kejang-kejang, matanya mendelik seperti boneka rusak.
“Panggil bidan! Panggil ambulans!” teriak guru panik.
Tapi ambulans baru datang setelah beberapa jam, karena jalanan macet oleh baliho besar bertuliskan:
> “Makan Bergizi Gratis, Bangun Generasi Sehat!”
Media pun datang. Kamera menyorot anak-anak yang terkapar, sebagian masih berusaha bernapas di ruang UKS yang penuh sesak.
Seorang pejabat berdasi muncul, dengan wajah teduh. “Jangan salah paham. Ini bukan keracunan, tapi bukti anak-anak kita sensitif terhadap gizi berkualitas. Tubuh mereka sedang adaptasi.”
Wartawan buru-buru mencatat, takut kalau tak sesuai framing.
Esok harinya, berita nasional menulis:
> “Ratusan Anak di Sekolah Keracunan Makan Bergizi Gratis. Pemerintah Akan Evaluasi, Tapi Program Tetap Jalan.”
Di ruang kelas yang masih bau muntah, seorang anak kecil yang baru sadar dari pingsannya berbisik ke temannya:
“Kalau gini terus, aku lebih suka makan bekal nasi kecap, deh.”
Tapi besoknya, ketika MBG kembali datang dengan menu “nasi lauk protein tinggi”, semua anak tetap antre. Karena di negeri itu, gratis adalah surga, meski terkadang surga berisi racun.
Penulis: Oliviana Angelicha Effendy