Negeri yang Tenggelam dalam Bayangan - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

Negeri yang Tenggelam dalam Bayangan

 

Sumber: Pinterest

Angin malam menyusup ke celah-celah kota yang mulai renta. Bau asap knalpot bercampur dengan debu jalanan, membentuk selimut pekat yang menyesakkan dada. Langit yang dulu membanggakan bintang-bintang kini hanya menampilkan kelam yang menindih. Di bawah jembatan layang, seorang bocah kecil menggigil, memeluk lututnya yang kurus. Matanya yang sayu menatap neon yang berkedip, seolah kehabisan tenaga seperti tubuhnya sendiri.

"Bu, kapan kita makan lagi?" suaranya nyaris tenggelam dalam kebisingan kendaraan yang melintas.

Seorang perempuan kurus dengan wajah yang penuh garis kepedihan menarik anaknya ke dalam pelukannya. "Sabar, Nak. Besok ibu akan coba mencari kerja lagi di pasar. Mungkin ada rezeki untuk kita."

Sementara itu, di balik gerbang besi berlapis emas, pesta berlangsung meriah. Gelas-gelas kristal berdenting, suara tawa bersahutan, memenuhi ruangan dengan kemewahan yang berlebihan. Seorang pria dengan jas mahal mengangkat gelasnya tinggi, seraya berucap, "Ekonomi kita tumbuh pesat! Tak ada yang perlu dikhawatirkan!"

Di luar sana, seorang lelaki tua dengan jaket lusuh berdiri di trotoar, menatap gedung itu dengan getir. "Lihat mereka..." suaranya bergetar kepada teman-temannya yang duduk di trotoar, menghangatkan tangan di atas bara api kecil. "Mereka pesta, sementara kita mengais sisa-sisa kehidupan."

Di pinggiran kota, sawah yang dulu menghijau kini menjadi hamparan beton yang dingin. Barisan pabrik berdiri dengan angkuh, menutupi matahari dengan asap pekat yang merayap ke langit. Seorang petani tua berdiri di tengah tanah yang merekah, menggenggam segenggam tanah kering yang jatuh di sela-sela jarinya.

"Sawah kita dijual, Pak?" seorang pemuda bertanya dengan suara gemetar.

Petani itu menghela napas panjang, menatap cakrawala yang makin sesak. "Kita hanya butiran debu di mata mereka. Tanah ini bukan milik kita lagi."

Di sebuah ruang rapat besar berlapis marmer, para pejabat duduk melingkar. Di hadapan mereka, layar besar menampilkan grafik dan angka-angka yang disusun rapi.

"Kita bisa meningkatkan pemasukan dengan menaikkan pajak dan menarik investasi asing," ujar seorang pria berkacamata dengan suara percaya diri.

"Tapi bagaimana dengan masyarakat kecil?" seorang lainnya bertanya.

"Mereka akan bertahan. Selama kita bisa menjaga stabilitas politik, protes-protes akan mereda. Kita buat program bantuan secukupnya untuk meredam kegelisahan mereka."

Di pasar, ibu-ibu saling berdesakan, mencoba mendapatkan makanan yang semakin mahal. "Harganya naik lagi?" seorang perempuan dengan kerudung lusuh bertanya dengan suara lirih.

"Pemerintah bilang, ini demi pembangunan," jawab seorang pedagang dengan nada lelah.

Di jalanan, kemarahan rakyat meledak. Ribuan orang turun ke jalan, membawa poster-poster bertuliskan tuntutan yang selama ini diabaikan. "Kami lapar! Kami butuh keadilan!" suara mereka membahana, mengguncang dinding-dinding kota yang dibangun di atas derita mereka.

Namun, tak butuh waktu lama sebelum suara itu dibungkam. Gas air mata dilemparkan ke kerumunan, jeritan bercampur dengan batuk-batuk sesak. Para demonstran berlarian, mencari perlindungan. Seorang pemuda jatuh tersungkur, darah merembes di aspal yang panas.

Di tengah kepanikan, seorang gadis kecil berdiri di sudut jalan, memeluk secarik kertas kusam. Puisi yang ditulisnya tentang harapan kini basah oleh air mata.

"Bu, fajar pasti datang, kan?" suaranya kecil namun menggenggam harapan yang besar.

Sang ibu tersenyum pahit, menghapus air mata anaknya dengan ujung selendang yang telah usang. "Ya, Nak. Meski langit gelap, fajar selalu punya caranya sendiri untuk kembali bersinar."


Penulis          : Oliviana Angelicha Effendy
Penyunting : Helga Lalita

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done