Angin malam menyusup ke celah-celah kota yang mulai renta. Bau asap knalpot bercampur dengan debu jalanan, membentuk selimut pekat yang menyesakkan dada. Langit yang dulu membanggakan bintang-bintang kini hanya menampilkan kelam yang menindih. Di bawah jembatan layang, seorang bocah kecil menggigil, memeluk lututnya yang kurus. Matanya yang sayu menatap neon yang berkedip, seolah kehabisan tenaga seperti tubuhnya sendiri.
"Bu, kapan kita makan lagi?" suaranya nyaris tenggelam dalam kebisingan kendaraan yang melintas.
Seorang perempuan kurus dengan wajah yang penuh garis kepedihan menarik anaknya ke dalam pelukannya. "Sabar, Nak. Besok ibu akan coba mencari kerja lagi di pasar. Mungkin ada rezeki untuk kita."
Sementara itu, di balik gerbang besi berlapis emas, pesta berlangsung meriah. Gelas-gelas kristal berdenting, suara tawa bersahutan, memenuhi ruangan dengan kemewahan yang berlebihan. Seorang pria dengan jas mahal mengangkat gelasnya tinggi, seraya berucap, "Ekonomi kita tumbuh pesat! Tak ada yang perlu dikhawatirkan!"
Di luar sana, seorang lelaki tua dengan jaket lusuh berdiri di trotoar, menatap gedung itu dengan getir. "Lihat mereka..." suaranya bergetar kepada teman-temannya yang duduk di trotoar, menghangatkan tangan di atas bara api kecil. "Mereka pesta, sementara kita mengais sisa-sisa kehidupan."
Di pinggiran kota, sawah yang dulu menghijau kini menjadi hamparan beton yang dingin. Barisan pabrik berdiri dengan angkuh, menutupi matahari dengan asap pekat yang merayap ke langit. Seorang petani tua berdiri di tengah tanah yang merekah, menggenggam segenggam tanah kering yang jatuh di sela-sela jarinya.
"Sawah kita dijual, Pak?" seorang pemuda bertanya dengan suara gemetar.
Petani itu menghela napas panjang, menatap cakrawala yang makin sesak. "Kita hanya butiran debu di mata mereka. Tanah ini bukan milik kita lagi."