Angin malam menusuk
tulang, menyapu jalanan ibu kota yang dipenuhi lautan manusia. Ribuan mahasiswa
berkumpul di depan gedung pemerintahan, poster-poster mencuat ke udara, suara
mereka menggema menembus kebisuan beton.
"Kami menuntut
keadilan! Pendidikan bukan barang mewah!" teriak seorang mahasiswa
berjaket almamater lusuh, wajahnya menyala dalam semangat.
Di barisan depan, seorang
gadis dengan mata berbinar menatap lurus aparat di hadapannya. "Pak, kami
hanya ingin belajar. Mengapa harus sulit? Mengapa dana pendidikan
dikorbankan?" suaranya bergetar, namun tak ada jawaban.
Di sisi lain negeri,
hujan deras menghantam desa kecil. Tanah yang letih tak lagi mampu menahan
derita, longsor menelan rumah-rumah yang rapuh. Jerit tangis mengudara, seorang
ibu menggali lumpur dengan tangan kosong, berharap menemukan anaknya yang terperangkap.
"Tolong! Anak saya
ada di sana!" suaranya pecah, bergema bersama suara hujan yang jatuh
seperti tangisan langit.
Di sebuah sekolah reyot,
seorang guru tua menghela napas, menatap anak-anak didiknya yang berdesakan di
ruang kelas yang hampir rubuh. "Pak,
kapan buku kami datang?" tanya seorang bocah dengan mata penuh harapan. Sang
guru tersenyum pahit. "Mungkin nanti, Nak. Mungkin nanti."
Di gedung megah yang
berkilauan, orang-orang berdasi mengangkat gelas kristal, merayakan proyek baru
yang menguras anggaran rakyat. "Kita perlu membangun sesuatu yang
besar!" seru salah satu dari mereka, diiringi tawa puas.
Di jalanan ibu kota,
suara gas air mata memecah protes. Mahasiswa terbatuk, berlari, namun tak
menyerah. Seorang pemuda tersungkur, tangannya meraih poster yang kini
tercabik, bertuliskan, "Pendidikan adalah hak, bukan kemewahan!"
Langit menatap dengan muram. Negeri ini menangis, luka menganga, namun masih ada yang berjuang. Di suatu sudut desa, seorang anak kecil masih membaca buku dengan cahaya lilin, berharap esok lebih baik dari hari ini.
Penulis : Oliviana Angelicha Effendy
Penyunting : Luthfia Fanyna Amanda