UNTUK RANIA - LPM Apresiasi | Kritis, Realistis, Demokratis
News Update
Loading...

UNTUK RANIA


Ilustrasi: Pixabay

Panggil saja aku Elka. Aku membuat catatan ini untuk seseorang yang sejak awal pertemuan membuatku tak bisa berpaling. Dia, Rania.
**
Pertemuanku denganmu membuatku penasaran. Gadis beralmamater merah maroon yang ceroboh menabrakku di trotoar saat aku meminum infused water pagi itu mengalihkan duniaku.
“Oh... Namanya Rania. Mahasiswi semester lima jurusan Hubungan Internasional. Sekian info dari Alfa, untuk kelanjutannya mohon menghubungi yang bersangkutan.” Alfa bergegas pergi setelah memberikan sekelumit info tentangmu.
Kau tahu, tidak begitu sulit untuk memasuki hidupmu. Cukup dengan meminta ganti infused water yang kamu tumpahkan pagi itu dan kini aku bisa mengenalmu dengan baik.
 “Tungguin 20 Menit. Dosen gue cerita rakyatnya gak kelar-kelar.”
“Sebel parah El ! walaupun gue gak ngerti sama apa itu phytagoras dan kawan-kawannya sampe tua juga gue gak akan kenapa-kenapa kan? Nyiksa otak !”
“Bentar ! tugas gue belum kelar. Yakali di suruh bikin essay tentang sejarah, yang ada gue isi semua tentang masa lalu gue nih !”
 Aku selalu tersenyum saat membaca pesan-pesan absurdmu. Hampir setiap hari kamu mengatakan hal yang lucu dan membuatku tambah tak bisa menjauh darimu.
Malam itu, pukul 12 malam. Aku masih menunggu di depan apartemenmu dengan perasaan khawatir yang tak kunjung padam. Puluhan panggilan kulayangkan ke ponselmu tanpa jawab. Kadang akupun tak mengerti kenapa aku bisa sebodoh ini ketika jatuh cinta. Kamu lebih sering mengabaikan panggilanku namun tetap saja aku tidak bisa tenang dan terus-terusan mencemaskanmu.
Tap...tap...tap...
Suara sepatu terdengar menaiki tangga. Aku sangat berharap itu kamu karena sudah dua jam penuh aku duduk di kursi plastik yang diberikan teman sekamarmu padaku. Dan benar, itu kamu, datang dengan tubuh sempoyongan sambil menenteng dua plastik berukuran besar. Kamu terlihat kacau.
“Ran ! Rania !” aku menghampirimu yang hampir jatuh. Aku langsung menutup hidungku setelah mencium bau bir yang keluar dari mulutmu. Yang benar saja? Kamu mabuk?
Kamu menjatuhkan kedua plastik di tanganmu kemudian menjatuhkan dirimu padaku.
  “Kenapa semuanya begitu kacau El? Ha? Kenapa uang kuliah sekarang mahal banget? Kenapa atasanku gak nerima konsep iklan yang udah gue bikin sebulan penuh? Lalu kenapa ibuku minta cerai?. Sebenarnya dimana Tuhan? Apa Dia gak dengar semua doa gue? Gak lihat semua usaha gue? Gue kecewa El !”
Aku tertegun sejenak mendengar semua ucapanmu.
“Apa aku harus membuatmu mabuk terlebih dahulu agar kamu menceritakan semua masalahmu padaku?” Ini adalah pertama kalinya kamu menceritakan masalah seriusmu, dan aku mulai paham dengan sikapmu yang suka menyendiri di malam hari yang gelap.
Mungkin teman sekamarmu mendengar suaramu hingga ia membuka pintu apartemen kemudian membantuku membawamu masuk.
“Kuharap dia tidak mengoceh lagi.” Ujarku pada Silvi, teman sekamarmu.
“Maaf ya El, Rania gak pernah separah ini sebelumnya.”
Aku mengangguk kemudian berlalu. Di kepalaku mulai berkecamuk tentangmu. Kadang-kadang aku memarahimu karena sibuknya dirimu sampai lupa makan dan tidur karena aku tidak pernah tahu betapa berat beban hidup yang harus kamu tanggung sendiri. Aku juga baru tahu bahwa selama ini kamu tidak pernah meminta sepeserpun uang kepada Ayah dan Ibumu untuk biaya hidupmu. Maafkan aku Rania, aku sama sekali tidak mengerti tentangmu.

Pagi harinya kamu terlihat lesu di kantin kampus. Menyesap jus alpukat dengan rasa malas dan tatapan kosong, bahkan kamu tidak sadar aku sudah duduk di depanmu.
“Ran... udah baikan?” tanyaku. Kamu terlonjak kaget, namun kemudian tersenyum paksa padaku sambil mengangguk.
“Ran... kumohon jangan seperti yang tadi malam ya. Tuhan selalu ada kok, kumohon jangan berprasangka buruk terhadapNya dan jangan mabuk lagi ya...”
Kamu menatapku sejenak kemudian mengangguk pelan sambil memalingkan muka. Itu bukan jawaban yang aku minta.
“Kamu tahu Ran, Tuhan itu mengikuti prasangka hambaNya. Apabila kita berprasangka baik kepada Tuhan, maka Dia juga akan baik kepada kita. Sebaliknya, apabila kita sering berprasangka buruk kepadaNya, Tuhan juga akan bersikap buruk kepada kita.”
Kamu menghentikan aktivitasmu menyesap jus alpukat di mejamu kemudian berdiri.
“Lo gak pernah jadi gue El ! jadi lo gak usah nasehatin gue.” Kamu pergi dengan kesal. Mahasiswa di sekitar kantin menatapku aneh.

Rancangan desainku diterima oleh sebuah perusahaan untuk desain minimalis sebuah kafe dan perusahaan tersebut juga memintaku untuk bertanggung jawab sebagai arsiteknya. Namun dampaknya, aku semakin kekurangan waktu untuk mengetahui keadaanmu setelah hari itu.
“Lo kemana El?”
“El? Lo sehat kan?”
“Ngilang mulu lo ah, mulai gak asyik !”
Aku hanya bisa tersenyum melihat berbagai pesan tentang rasa kehilanganmu padaku.
“El ! gue dikasih kesempatan buat revisi ulang konsep iklan gue yey !”
“Lo kapan-kapan musti jemput gue, atasan gue orang baru trus kumisnya lucu banget kaya chaplin. Hahahaha”
Berbagai pesan absurdmu masih saja menjadi teman dan semangatku dalam menjalani hari-hariku. Kuharap kamu tidak pernah berhenti melakukannya.
“Gimana persiapan skripsi lo El?” tanya Adnan. Teman sekamarku itu yang sangat memperhatikan penampilannya.
  “Skripsi udah mateng sih konsepnya, tinggal ketik doang sama nemuin dosen pembimbing. Akhir-akhir ini dosen pembimbingku gak banyak di kampus, aku sendiri juga masih sibuk ngurusin kafe.” Aku memang sudah memasuki semester ke tujuh meskipun baru 2 semester di kampus baru ini dan aku tidak ingin lebih lama lagi berada di bangku perkuliahan, jadi sebisa mungkin aku berusaha menuntaskannya di akhir semester ini.
“Semangat bro ! gue salut sama lo yang masih bisa jadi mahasiswa teladan meskipun lo lagi ada kerjaan berat. Padahal lo juga anak orang kaya, lo ngapain sih kerja keras kaya gini?”
“Heleh. Yang kaya kan bokap, bukan aku. Aku ya harus nyari kekayaanku sendiri dong Nan...”
“Iya juga sih. Oh iya, gimana sama Rania ? lo sekarang jarang banget ya ketemu dia?”
“Iya.” Jawabku sambil menghembuskan nafas panjang.
Kesibukanku semakin menjadi. Kafe yang deadlinenya udah mepet dan persiapan pendadaran benar-benar menguras waktuku hingga aku tak mengerti banyak hal telah berubah dari dirimu.
Silvi dan Adnan seringkali menasehatiku. Adnan selalu ingin aku menyelesaikan urusanku terlebih dahulu, sedangkan Silvi ingin aku segera mengatakan perasaanku padamu.
 “Gue kan udah bilang jangan terlalu berharap. Berharap pada cintanya manusia Cuma bikin lo jadi tambah pusing dan mental lo tergerogoti. Lo hidupin aja dulu dia dalam doa. Berharap itu sama Tuhan ! gak ada jaminan Rania akan mencintai lo balik sebelum lo berani ngungkapin semuanya. Lo Cuma punya hak atas dia di dalam doa. Udahlah lo fokus dulu sama skripsi lo, sama kafe lo. Abis itu baru deh lo beraniin diri dengan semua bekal yang udah lo siapin.” Adnan menceramahiku panjang lebar.
“Tapi El ! gak ada jaminan juga kalau pada hari lo ngungkapin perasaan lo ke Rania, dia masih single. Lo harus gerak cepet El !” Silvi mengatakan hal yang sebaliknya.
“Udah. Sekarang aku jadi bingung kalau kalian mengatakan hal-hal yang bersebarangan kaya gini.” Jawabku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“El please jawab panggilan gue El !”
Aku membuka pesan darimu dan beberapa panggilan tak terjawab. Aku baru saja bertemu dengan pemilik kafe untuk menyelesaikan kontrak kerja yang kami buat. Setelah kafe pertama rancanganku ini berhasil, ia ingin aku membuat kafe baru di luar kota dan itu amat menggembirakan untukku.
Aku menelepon balik tapi tak ada jawaban meskipun telah berulang kali aku menghubungimu. Seperti biasa, aku mengayuh sepedaku menuju apartemenmu yang kebetulan tak jauh dari tempatku berdiri saat ini.
Belum sempat aku masuk, Silvi sudah membuka pintu.
“Sil ! mau kemana?” tanyaku penasaran saat melihat ia membawa sebuah ransel yang aku tahu itu milikmu.
“Ayah Rania masuk rumah sakit, gue mau nganterin baju gantinya Rania.” Jawab Silvi sambil mengunci pintu.
Silvi bergegas pergi. Aku merasa bodoh dan tak berguna, namun akan lebih tak berguna lagi jika aku tak mengikuti Silvi menuju rumah sakit.
Aku tidak melihatmu di depan ruang UGD. Hanya ada seorang Laki-laki dan dua orang perempuan yang terlihat cemas. Silvi menghampiri mereka untuk menanyakan keadaan ayahmu dan aku berlari menuju mushola. Aku yakin kamu ada disana.
Iya. Kamu menatap sajadah dengan tatapan kosong. Air matamu jatuh dan membuatku runtuh. Ingin rasanya aku memelukmu erat, memintamu membagi rasa sakit dan khawatir yang kamu punya padaku. Aku rela kamu memukul, menendang, dan melakukan apa saja padaku asalkan rasa sakitmu berkurang, rasa cemasmu hilang. Namun apalah dayaku, kamu masih belum bisa aku rengkuh sama sekali.
Mungkin kamu mendengar derap langkahku hingga matamu kini tertuju padaku. Mata sayu, lelah, namun tetap dengan senyum merekah.
“Akhirnya lo datang.” Kalimat itu seperti menikamku. Menjatuhkanku.
“Maaf.”
“Gak apa-apa El, setidaknya gue udah ngerasa ada temen. Thanks karena udah meluangkan waktu diantara waktu sibukmu itu.” Katamu sambil duduk di sampingku.
Malam semakin malam dan dingin semakin dingin. Ayahmu masih belum sadarkan diri dan kini tinggal aku dan kamu yang menjaga Ayahmu.
“Kamu belum makan nasi Ran, sana makan dulu, aku yang ganti jaga ayah kamu.”
Kamu menggeleng. Tanganmu masih setia menggenggam jemari ayahmu sambil terus-terusan mengucap ayat-ayat alqu’an yang kamu baca melalui ponsel.
“Kalau kamu sakit, siapa yang jaga ayah kamu? Ayolah makan dulu Ran !”
Mungkin kamu berpikir aku benar hingga akhirnya kamu mau keluar untuk makan. Ayahmu masih begitu muda. Wajahnya terlihat segar dan indah dilihat.
“Pak... Ijinkan saya untuk menjaga anak Bapak sebagaimana Bapak menjaganya. Beritahu segala hal yang belum saya paham tentangnya agar saya tak salah menuntunnya. Saya mohon beritahu segala permintan Bapak terlebih dahulu, maka dari itu tetaplah ada untuk Rania Pak, saya mohon pada Bapak untuk bangun dan melihat Rania bahagia. Saya mohon Pak. Saya perlu restu Bapak.” Ujarku lirih di dekat telinga kanan Ayahmu. Entah magnet apa yang membuatku berani mengatakannya walaupun aku tetaplah pecundang karena mengatakan pada orang yang tak sadarkan diri.
 “Uhk !” buru-buru aku mendekati Ayahmu setelah kudengar suara batuk darinya.
“Bapak udah sadar? Alhamdulillah.” Aku merasa tenang saat melihat ayahmu membuka mata. Ia tersenyum padaku kemudian menanyakanmu.
“Sebentar ya Pak.” Aku bergegas memanggilmu.
Melihat kebahagiaan tersirat di wajahmu membuatku merasa baikan dari rasa sakit yang aku timbulkan sendiri. Rasa sakit yang aku buat karena timbunan harapanku padamu. Aku paham Rania, aku yang salah karena terlalu berharap pada sebuah cinta semu yang bahkan aku tidak tahu jawabnya sama sekali. Aku hanya takut kehilanganmu. Aku takut kamu menjauh apabila aku mengatakan hal yang sejujurnya sedang kurasakan. Sepertinya aku tidak punya pilihan kecuali mengutarakannya. Namun, ketahuilah bahwa semua itu butuh tempat, waktu, dan suasana yang tepat. Aku masih akan berusaha memberanikan diri, berusaha mempertanggungjawabkan semua rasa yang kupunya, dan aku harap aku masih belum terlambat.
 “Kamu tadi bilang apa?” tanya Ayahmu.
“Ha? Maaf. Yang mana ya Pak?” aku bingung dengan pertanyaan ayahmu.
“Tadi lo, yang kamu bisikkan itu..”
“Bapak tadi dengar?” aku benar-benar kaget. Ayahmu mengangguk sambil tersenyum.
“Terima kasih nak, entah siapapun namamu, saya salut dengan keberanianmu. Saya selalu mendukung apa yang Rania inginkan. Saya merestui apa-apa yang Rania inginkan. Jadi saya menyetujui permintaan kamu apabila Rania juga setuju.”
“Saya masih berusaha untuk memberikan yang terbaik Pak, oleh karena itu sampai saat ini saya masih diam padanya. Ijinkan saya menuntaskan apa yang saya mulai. Saya tidak ingin memberi harapan palsu dan masa depan suram bagi anak tercinta Bapak. Anak yang Bapak jaga sejak kecil hingga saat ini. Anak yang selalu bapak jamin kebahagiaannya, saya tidak berani melukainya Pak.”
“Masya Allah Nak. Betapa beruntungnya saya.” Air mata ayahmu menetes. Sungguh. Baru pertama kali aku melihat seorang Ayah menangis.
Dalam hatiku berjanji tak akan pernah mengecewakanmu. Aku akan segera memenuhi janjiku pada Ayahmu, Rania. Aku akan datang kepadamu dengan segala hal yang aku pertaruhkan. Persahabatan dan penolakan. Aku siap dengan semuanya. Tunggu aku sebentar saja, karena bekalku hampir siap.(Penulis Sukma )

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done