Ilustrasi: Pixabay |
Satu hal saja yang ingin kuceritakan padamu, ini bila kau merasa perlu saja, aku selalu ingin kau tutup mulut dan pergilah dengan urusanmu sendiri. Sudahlah. Tutup mulutmu untuk hal-hal nirmanfaat itu: obrolan warung kopimu jelang pemilu, koar-koarmu perihal LGBT, perihal perlindungan hak asasi yang kau bawa-bawa, feminisme yang kau kenakan sebagai jaket. Ujung-ujungnya satu saja, selalu pemerintah yang kau salahkan. Kau persis orang yang mabuk di bar murahan saja, ngobrol ngalor ngidul, lantas karena hidupmu tak sesuai bayanganmu ketika kecil dulu, kau menyalahkan pemerintah.
Tentu, harus ada sesuatu yang dibenahi. Ketika dibenahi, kelompok lain kontra akan perubahan yang terjadi. Semua tahu ini, bahwa sebuah kebijakan tak akan menyenangkan semua pihak. Dan kau, masih saja, berusaha kritis dengan menghadirkan data-data yang akurat, semua untuk tercapai maksut dan tujuanmu. Keinginanmu itu. Tak kau dengarkah nasihat ibumu dulu itu yang ia dapat saat menjelajahi belantara internet: ubahlah dirimu sendiri sebelum mengubah orang lain.
Aku memilih diam. Biar saja kalut dalam pikiranku. Tenggelam sendirian. Aku membungkam hak bicaraku sendiri. Pemerintah, biar saja dikawal oranglain yang masih sisa tenaga dan pikirannya. Aku tidak. Opiniku tak penting. Suaraku Rp. 100.000 saja kalau calon dewan ingin membelinya. Musim Pemilu esok dan setahun lagi, bolehlah politisi beli separuhnya. Kupikir satu suara saja tak akan banyak berpengaruh. Pemerintahan bagiku sama saja, tak banyak membantu. Kebijakannya, sebentar, pantaskah disebut kebijakan, minim sekali gaungnya dengan kehidupan. Gaung suaranya memang, sering kusimak di televisi, tapi secara praktis aku tak merasa apa-apa.
Kuingat betul, periode lalu, saat aku masih waras dimakan idealisme, kuhabiskan hari-hariku membaca buku-buku demokrasi, tidak kuhiraukan uang yang mungkin masuk bila ku memilih calon tanding presiden yang kupilih sekarang. Besar sekali nominalnya, Rp. 200.000, pamanku yang menawarkan karena ia simpatisan bayaran. Kupilih calon yang menurutku baik. Setelah membaca rekam jejak, dan mengikuti berjam-jam debatnya, dan berziarah ke masa lalunya melalui rekam jejak yang ia torehkan. Keputusan itu kutahu hanya mempersulitku saja, dan membuang-buang waktu. Aku tak perlu seserius itu. Kulihat kinerjanya sekarang, bagus. Bagus dalam standarku asal tidak rupiah itu turun saja nilainya.
Yang jelas, aku begini-begini saja.
Di televisi, entah berapa kali pemimpinku ini mengganti susunan menterinya. Pertama kali aku terpesona, jujur saja. Menteri-menteri dalam kabinet diisi oleh kalangan profesional. Bukan simpatisan partai koalisinya. Belum enam bulan, digantilah menteri-menteri itu jadi orang partai. Ah, cerdiknya. Di akhir masa jabatannya, di tahun pemilu esok, kulihat gelagat ia ingin maju lagi. Kubilang tadi, ia cerdik. Beberapa menteri digeser-gesernya saja semata untuk menggalang kekuatan maju sekali periode lagi.
Analis politik yang kupercayai argumennya, menuding itu untuk memperkuat basis partai politik pengusungnya untuk capres tahun depan. Sudah kubilang, aku tak perlu analis-analis itu. Jalan pikiran kita sama.
“Ram, melamun saja kerjaanmu.”
Revan, duduk di sebelahku. Ia memesan segelas es teh manis dan semangkuk soto. Aku masih melamun saja, menonton televisi gratis di kantin kampus. “Kupikir, tahun nanti, aku lebih mementingkan perutku daripada suaraku di politik. Tak ada gunanya memiliki idealisme kalau perutku bunyi minta makan.”
“Tak boleh begitu kau. Kau ini mahasiswa politik. Tak boleh kau ikut dalam pusaran kotor politik uang. Urusan makan, aku bayar. Kalau kau masuk dalam politik uang, sama saja kau nodai argumenmu di kelas tadi. Kau sendiri berkata, politik itu suci.” Revan menenggak sekali minumannya, lantas bicara macam-macam. “Di negeri yang demokrasinya belum matang ini, bahkan kudengar berita terkini tentang mahar politik, kita, mahasiswa, tak boleh terjual suara kita dengan uang yang tak seberapa.”
Oke, cukup. Bagimu tak seberapa.
Revan, untuk menuju kampus hanya butuh menempuh dua kilometer saja. Pun ia anak orang berada. Sementara aku, tujuh ratus kilometer kampung halamanku demi pendidikan ini. Keluargaku di rumah, buruh tani saja.
*
Kini, dengan suatu pemikiran baru, hasil seharian begadang, aku bermetamorfosa jadi manusia sederhana sekarang. Sederhana membuat hidup lebih bahagia, kata mutiara itu kutemukan di internet. Klise. Kucatat hasil kontemplasiku dalam catatan yang kutulis tangan. Kutempel di tembok kos pengap yang sudah kutinggali dua tahun.
Pertama, jika kau berpikir bahwa kita bisa hidup sejahtera saling beriringan, jawabannya itu hanya utopi. Tidak masuk akal. Jika kau percaya Tuhan misalnya, ia telah menciptakan manusia dengan akal. Apa yang kita buru, yang kita makan, yang menjadi kepentingan kita, terbatas jumlahnya. Manusia, milyaran. Kau tidak bisa berharap banyak kau bisa melalui hidupmu tanpa bersitegang dengan manusia lain. Apalagi hal-hal yang berbau politik. Ah, politik itu, kotor sekali rupanya.
Kedua, aku tak ingin menghabiskan waktuku untuk memikirkan segala sesuatu berhubungan dengan politik. Titik. Tanpa koma. Maka kuturuti saja ucapan pemimpinku yang cerdas, “Kerja. Kerja. Kerja.” Terdengar sangat kiri sekali ucapannya. Meski segala sesuatu adalah keputusan politik, tapi biarlah oranglain yang memikirkan. Aku akan jadi orang sederhana. Maka pajakku tak terlalu besar. Usaha yang kusiapkan nanti saat lulus tak perlu kena dampak krisis global karena kubuat berasaskan ekonomi kerakyatan.
Ketiga, sampai dunia ini berakhir, kita hanya akan berkonflik satu sama lain. Maka, tak perlu kusaksikan lagi debat capres – cawapres, politisi menampilkan opini, adu urat leher, para analis berargumen, para wartawan menggodok berita dan memberinya judul bombastis. Tak perlu lagi kusaksikan di televisi, kusaksikan langsung di kantor kabupaten, kudengar di radio, kusimak di warung-warung kopi, tak perlu. Nirmanfaat. Setidaknya buatku. Hal-hal seperti itu hanya buang-buang waktu saja.
“Kesimpulannya, para politisi bertujuan baik untuk membangun negeri ini.”
*
Malam ini, aku memutar lagu “Imagine” yang dikarang John Lennon yang terkenal itu. Meski lagu itu hanya karya karangan saja, tak kukira seseorang bisa berandai-andai sedemikian jauhnya. Mungkin banyak yang berandai sama dengan yang diandaikan John Lennon. Kubaca di internet berita dunia hari ini; Donald Trump memindahkan kedutaan AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, ISIS di Suriah, hulu ledak nuklir di Korea Utara, LGBT yang mulai diterima dunia internasional, Artificial Intelligent yang mengancam manusia, Brexit di Uni Eropa. Dalam negeri, telah bosan kusimak kasus korupsi megaproyek kartu tanda penduduk elektronik.
“Sisakan waktumu untuk memikirkan dirimu sendiri. Tak semua hal boleh jadi beban pikiranmu,” ucap dosenku mengakhiri kuliahnya siang tadi.
Kuturuti saja. Aku tidur tenang malam ini.
*
(Karya : Arie Susanto)